Hubungan antara Uni Soviet dan China mencapai titik puncaknya saat kedua pemerintah terlibat dalam “pertengkaran” ideologis terkait masa depan komunisme. Hal ini bermula pada pertengahan 1963, ketika para pejabat dari Uni Soviet dan Republik Rakyat Tiongkok bertemu di Moskow untuk mencoba memperbaiki keretakan ideologis komunis mereka.
Pemerintah China secara terbuka mengkritik apa yang disebutnya sebagai “tren kontrarevolusioner” yang berkembang di Uni Soviet.[1] Secara khusus, China tidak senang dengan kebijakan kerja sama Uni Soviet dengan Barat. Menurut pernyataan publik yang dibuat oleh pemerintah China pada tanggal 14 Juni 1963, diperlukan kebijakan yang jauh lebih “militan dan agresif” untuk menyebarkan revolusi komunis ke seluruh dunia.
Sementara orang China secara nominal mendukung tesis hidup berdampingan secara damai, pada saat yang sama mereka bersikeras bahwa perang tidak dapat dihindari. Mereka tidak dapat memiliki keduanya. Entah kita berperang atau damai; tidak ada cara ketiga. “Uni Soviet tidak dapat membiarkan kaum kapitalis menghancurkan umat manusia.”[2] Dalam kata lain, tidak akan ada “koeksistensi damai” dengan kekuatan kapitalisme, dan pernyataan itu menegur Rusia karena mencoba mencapai pemahaman diplomatik dengan Barat, dan khususnya Amerika Serikat.
Tepat satu bulan kemudian, ketika pertemuan di Moskow terus memburuk dalam suasana saling curiga dan tuduh, pemerintah Soviet mengeluarkan sanggahan keras terhadap pernyataan China sebelumnya terkait bagaimana seharusnya ideologi mereka bekerja. Rusia setuju bahwa komunisme dunia masih menjadi tujuan akhir, tetapi diperlukan kebijakan baru.
“Koeksistensi damai” antara negara komunis dan kapitalis sangat penting dan pernyataan Soviet selanjutnya menyatakan bahwa, “Kami dengan tulus menginginkan perlucutan senjata.”[3] Pernyataan Soviet juga membahas kritik China terhadap krisis rudal Oktober 1962, di mana Rusia membantu pendirian pangkalan rudal nuklir di Kuba.
Kemudian, pada 14 Juli 1963, Wakil Menteri Luar Negeri A.S. W. Averell Harriman tiba di Moskow untuk merundingkan perjanjian larangan uji coba nuklir dan untuk membuat hotline Moskow-Washington yang disepakati oleh Amerika Serikat dan Uni Soviet pada sebulan sebelumnya.[4] Hal ini menjadi indikasi publik pertama yang jelas bahwa Rusia dan China sangat terpecah berbeda pandang atas masa depan komunisme.
Para pejabat Amerika Serikat menyambut perkembangan itu dengan kegembiraan karena mereka percaya bahwa perpecahan Sino-Soviet akan menguntungkan Amerika dalam hal membuat Rusia lebih setuju dengan negosiasi diplomatik mengenai berbagai masalah. Namun demikian, Amerika Serikat terus berusaha untuk menggunakan taktik “divide and conquer” ini hingga tahun 1970-an, ketika Amerika Serikat memulai pemulihan hubungan dengan China komunis untuk mendapatkan pengaruh dalam hubungannya dengan Uni Soviet.
Dari contoh ini, kita dapat melihat bagaimana argumen bahwa kerja sama cenderung terjadi bagi negara-negara dengan “identitas” (atau dalam konteks ini adalah ideologi) yang sama. Menurut Jost, Ideologi politik sebelumnya dikaitkan dengan variasi nilai yang dapat mempengaruhi kerja sama.[5] Argumen tersebut dapat dikatakan tidak sepenuhnya benar dan juga tidak sepenuhnya salah.
Pada kasus ini perbedaan cara penyampaian dan penyebaran menjadi inti masalah antara Uni Soviet dan China telah membuat hubungan keduanya benar-benar merenggang. Bahkan AS di sisi lain berusaha mendekatkan diri pada Uni Soviet, memperlihatkan perbedaan dari ideologi Uni Soviet dan AS yang sangat bertolak belakang itu ternyata berhasil membangun sebuah hubungan “kerja sama”. Motif dari hubungan AS-Soviet sendiri dapat dikatakan adalah karena adanya kepentingan nasional dari masing-masing negara.
Perbedaan cara penyampaian Soviet dan China sendiri juga kembali dapat dikaitkan dengan identitas yang mereka bawa. Mao Zedong pendiri Partai Komunis China tidak setuju dengan konsep revolusi pekerja karena mayoritas penduduk China adalah petani miskin dengan status sosial rendah, sehingga Mao memfokuskan kembali tujuan komunisme China ke konsep revolusi petani.[6]
Di sisi lain, Setelah Joseph Stalin meninggal pada tahun 1953, Nikita Khrushchev berkuasa di Uni Soviet. Khrushchev mulai segera mengubah kebijakan pemerintah, mencoba untuk membimbing negara menjauh dari penindasan ekstrim yang pernah ada di bawah Stalin. Pada tahun 1956, Khrushchev berpidato mencela mantan diktator itu dan memulai kampanye untuk menghilangkan jejak warisan Stalin dari negara tersebut, membuat Soviet bergerak ke arah koeksitensi dengan kapitalisme.[7]
[1] “Rupture between USSR and China grows worse”, History, 14 Juli, https://www.history.com/this-day-in-history/rupture-between-ussr-and-china-grows-worse
[2] Edward Crankshaw, “The Split Between Russia and China”, The Atlantic, Mei 1963, https://www.theatlantic.com/magazine/archive/1963/05/the-split-between-russia-and-china/658373/
[3] Op. Cit., History
[4] “July 1963”, Academic Accelerator, https://academic-accelerator.com/encyclopedia/july-1963
[5] J.T. Jost, “Ideological asymmetries and the essence of political psychology”, Polit. Psychol. 38, 2017, hlm 167-208, doi:10.1111/pops.12407
[6] “The Differences in Communism in Russia & China Handout”, Kennedale, https://www.kennedaleisd.net/cms/lib/TX21000356/Centricity/Domain/2120/China%20The%20Differences%20in%20Communism%20in%20Russia%20and%20China%20Handout%20.pdf
[7] G.F. Hudson, “Why Did Khrushchev Do It?De-Stalinization and the Manner of Stalin’s Death”, Commentary, Mei 1957, https://www.commentary.org/articles/g-hudson/why-did-khrushchev-do-itde-stalinization-and-the-manner-of-stalins-death/