Perserikatan Bangsa-Bangsa telah menunda keputusan tentang siapa yang harus mewakili pemerintah resmi Myanmar ketika Rusia kini terlihat semakin dekat dengan para pemimpin kudeta Myanmar, dapat menyabotase upaya untuk mencapai konsensus internasional tentang negara yang dilanda krisis tersebut.
Sebelumnya, Komite Kredensial PBB, yang terdiri dari sembilan negara anggota PBB, termasuk China, Rusia, dan Amerika Serikat, mulai bertemu pada 29 November untuk mempertimbangkan siapa yang harus mewakili Rusia antara Kyaw Moe Tun, Duta Besar Myanmar untuk PBB yang ditunjuk oleh pemerintahan Aung San Suu Kyi, atau calon jenderal yang melakukan kudeta yang menggulingkan pemerintahannya pada Februari 2021.
Kondisi politik di PBB sendiri kini digambarkan sebagai “dua kekuatan otoriter… beroperasi bersama” oleh Sekretaris Jenderal NATO Jens Stoltenberg. Kubu antara Rusia dan China akhir-akhir ini menguat dan memperlihatkan keengganan, baik oleh Putin maupun Xi Jinping untuk berkompromi dengan negara lainnya.
Kyaw Moe Tun, yang tetap menjabat setelah kudeta, memilih tahun ini untuk mengutuk invasi Rusia ke Ukraina dan menangguhkan keanggotaan Rusia di Dewan Hak Asasi Manusia PBB. Dia didukung oleh Pemerintah Persatuan Nasional Myanmar (NUG), yang didirikan oleh legislator terpilih dan sekarang dicopot dari negara itu.
Sedangkan Beijing maupun Moskow secara terbuka mendukung rezim para jenderal senior Min Aung Hlaing. Lebih dari 2.500 orang telah tewas dalam tindakan keras militer sejak merebut kekuasaan pada Februari 2021, menurut Asosiasi Bantuan untuk Tahanan Politik dilansir dari Al Jazeera.
Sekarang keputusan pemilihan itu telah ditunda, para kritikus khawatir bahwa itu membuka pintu bagi Rusia untuk berperang atas nama militer Myanmar yang terisolasi secara internasional. Kegagalan untuk mencapai konsensus di komite akan menghasilkan pemungutan suara di UNGA. Hal ini karena Moskow secara aktif mendukung militer, mengundang Min Aung Hlaing ke Rusia, melindungi rezim Hlaing dari sanksi Dewan Keamanan PBB, dan menyediakan senjata dan minyak bumi.
Kedekatan antara Pejabat Kudeta Myanmar dan Rusia juga terlihat semakin dekat, pada September lalu di sela-sela Forum Ekonomi Timur yang diselenggarakan Moskow di Vladivostok, Rusia, Min Aung Hlaing bertemu Putin untuk pertama kalinya sejak kudeta. Selain itu, delegasi dari Kementerian Sains dan Teknologi militer Myanmar bulan lalu mempelajari pembangkit listrik tenaga nuklir di Rusia dan menandatangani beberapa kesepakatan, menurut media Myanmar Than Lwin Times. Kesepakatan ini termasuk rencana untuk membangun “pusat teknologi” nuklir dengan reaktor kecil di Yangon.