Kerja sama harus saling menguntungkan
Kerja sama bilateral kerap dilakukan oleh Indonesia dengan banyak negara. Dari negara-negara besar seperti Amerika Serikat, Rusia, China, sampai negara-negara kecil seperti Afghanistan, Fiji, Suriname. Tentu, kerja sama merupakan sebuah aktifitas dari pihak-pihak terlibat untuk mencapai suatu tujuan yang menguntungkan pihak terlibat. Dari banyak kerja sama secara bilateral yang dilakukan Indonesia, beberapa di antaranya mengundang sentimen tersendiri di masyarakat. Contoh paling kontrasnya adalah kerja sama Indonesia dengan Arab Saudi dan China.
Survei yang diselenggarakan CSIS mengenai persepsi publik tentang kerja sama bilateral menunjukan kerja sama di bidang ekonomi dengan Arab Saudi dianggap menguntungkan sendangkan kerja sama dengan China dianggap merugikan bagi perekonomian Indonesia.[1] Dua negara ini memberikan banyak keuntungan dari kerja samanya dengan Indonesia, tetapi pandangan masyarakat terhadap kedua negara ini sangat bertentangan.
Kerja sama Dengan Arab Saudi
Dalam praktik bernegara, Indonesia dan Arab Saudi memiliki hubungan yang cukup erat terutama di sektor pariwisata terkait aktifitas haji dan umroh dan juga investasi di bidang ekonomi. Dari data CSIS berjudul “Orientasi Sosial, Ekonomi dan Politik Generasi Milenial” tahun 2017, partisipan dengan total poin 27.4 menyetujui bahwa kerja sama luar negeri dengan Arab Saudi menguntungkan. Dari grafik yang sama, hanya 1.9 poin yang menganggap kerja sama antara Indonesia dan Arab Saudi merugikan. Konjen RI, Dr. Mohamad Hery Saripudin, mengatakan bahwa rencana reformasi Saudi Vision 2030 dapat menjadi peluang untuk mengembangkan “kerja sama erat” antara keduanya di sektor sosial, budaya, dan ekonomi kedua negara.[2]
Hal ini juga dinyatakan oleh Sri Mulyani bahwa kerja sama Indonesia dan Arab Saudi dapat terjalin di banyak sektor yang berlandaskan kesamaan nilai antara keduanya, sebagai negara berkembang, dan negara dengan mayoritas beragama Islam. Di tingkat kerja sama ekonomi, pada tahun 2019 pebisnis dari Arab Saudi menandatangani kontrak bisnis dengan pihak Indonesia senilai $1.5 juta.[3] Pada 2021, Indonesia juga menawarkan Arab Saudi untuk berinvestasi di Bank Syariah Indonesia (BSI), bank syariah terbesar di Indonesia.[4]
Kerja sama dengan China
Secara umum, tidak banyak berita yang menggambarkan bahwa hubungan bilateral antara Indonesia dan Arab Saudi buruk. Berbanding terbalik dengan kerja sama Indonesia dengan China. China sendiri saat ini sedang gencar menyukseskan kepentingan nasionalnya lewat Belt and Road Initiatives (BRI). Bertolak belakang dengan hasil survei Arab Saudi, hasil survei CSIS menunjukan poin sebanyak 32.8 menyetujui bahwa kerja sama Indonesia dengan China merugikan, sedangkan 11.7 menganggap kerja sama ini menguntungkan.
Kerja sama Indonesia dan China umumnya berada di sektor infrastruktur, energi, sumber daya, manufaktur dan pertanian. Selain itu, kedua negara juga bekerja sama di bidang pertahanan maritim. Investasi China di Indonesia mulai melonjak sejak tahun 2016 di bidang manufaktur.[5] Pada 2015, investasi China hanya sebesar 0,63 miliar dollar AS dan menjadi 3,51 miliar dollar AS pada 2020.[6]
Lalu, mengapa China dianggap merugikan sedangkan Arab Saudi menguntungkan?
Sederhananya, ada kesamaan identitas antara Indonesia dan Arab Saudi, sedangkan tidak antara Indonesia dan China. Di Indonesia, sentimen terhadap China sebenarnya sudah tertanam cukup lama. Covid-19 yang pertama kali diketahui tersebar di China menjadi alasan tambahan semakin berkembangnya sentimen terhadap China.[7] Melansir dari The Conversation, stereotip China dan etnis China sebagai “orang luar” masih melekat di Indonesia, karena etnis China tidak memiliki keterikatan wilayah dan sejarah mengatakan bahwa etnis China datang untuk berdagang.[8]Definisi baru “nasionalisme modern” juga menciptakan ancaman baru dengan mengintensifkan sentimen anti-minoritas, pada kasus Indonesia adalah China dan etnisnya.[9]
Dalam kasus China, stereotip orang luar dan bukan bagian dari “nasionalisme” masyarakat Indonesia menjadikan masyarakat defensif ketika ada kerja sama antara Indonesia dan China. Padahal, Arab Saudi juga merupakan “orang luar” jika diartikan sebagai masyarakat di luar wilayah kedaulatan Republik Indonesia. Tetapi, ada kesamaan nilai antara Indonesia dan Arab Saudi; mayoritas agama.
Arab Saudi merupakan negara Islam, dan Indonesia merupakan negara yang mayoritas penduduknya beragama Islam. Identitas kolektif antara Indonesia dan Arab Saudi ini menjadi dasar dari minat yang diyakini oleh pendekatan konstruktivisme. Tidak heran mengapa masyarakat Indonesia lebih setuju atas kerja sama antara Indonesia dan Arab Saudi. Konsep identitas sendiri merupakan suatu nilai yang dikonstruksi dari pengetahuan bersama antar aktornya. Kesamaan nilai yang dibawa Arab Saudi dan Indonesia memudahkan masyarakat menerima aktifitas antara kedua negara. Adanya perbedaan antara identitas Indonesia dan China disini membuat rasa “nasionalisme” masyarakat terancam sehingga menganggap keberadaan China membahayakan.
Persepsi masyarakat Indonesia antara kerja samanya dengan Arab Saudi dan China merupakan contoh dari bagaimana identitas membentuk basis minat dan kecenderungan. Persamaan identitas di antara aktor cenderung membuat pengertian antara keduanya sehingga kerja sama yang dilakukan Indonesia dan Arab Saudi dapat lebih diterima masyarakat tanpa mempertimbangkan keuntungan dan kerugian secara nyata. Tentu, Indonesia sendiri akan bersedia bekerja sama bila mendapatkan keuntungan. Sedangkan perbedaan identitas menciptakan rasa kecurigaan dan tidak aman.
Untuk itu, diperlukan narasi dan pengetahuan baru mengenai China di Indonesia untuk membentuk “komunitas bersama” antara Indonesia dan China. Indonesia sendiri merupakan negara dengan suku yang beragam, masyarakat beretnis China juga merupakan salah satunya yang tetap menjadi satu kesatuan dengan masyarakat Indonesia lainnya. Selain itu, kerja sama Indonesia dengan China juga menguntungkan bagi kedua belah pihak. Walaupun terdapat perbedaan antara kepentingan nasional Indonesia dan China, kerja sama antara keduanya sama-sama memiliki keuntungan seperti kerja sama dengan Arab Saudi. China sendiri menjadi salah satu investor terbesar untuk Indonesia. Tidak hanya di bidang ekonomi tetapi juga maritim yang menjadi faktor penting bagi berlangsungnya kehidupan bernegara bagi Indonesia.
[1] Rilis dan Konferensi Pers “Survei Nasional CSIS 2017”. “Ada apa dengan Milenial? Orientasi Sosial, Ekonomi dan Politik”, Centre For Strategic And International Studies. 2 November 2017. https://www.csis.or.id/uploaded_file/event/ada_apa_dengan_milenial____paparan_survei_nasional_csis_mengenai_orientasi_ekonomi__sosial_dan_politik_generasi_milenial_indonesia__notulen.pdf
[2] Mohammed Al-Kinani, “Vision 2030: A ‘chance’ to boost Saudi, Indonesia cooperation”, Arab News, 28 September 2019, https://www.arabnews.com/node/1561211/saudi-arabia
[3] Ibid.
[4] “Indonesia explores investment cooperation with Saudi Arabia”, Antara News, 17 Juni 2021, https://en.antaranews.com/news/176854/indonesia-explores-investment-cooperation-with-saudi-arabia
[5] Oktiani Endarwati, “Investasi China di Indonesia Meningkat, Paling Banyak di Industri Logam dan Infrastruktur”, iNews, 2 November 2021, https://www.inews.id/finance/bisnis/investasi-china-di-indonesia-meningkat-paling-banyak-di-industri-logam-dan-infrastruktur
[6] Sri Noviyanti, “Mengupas Kerja Sama Investasi China di Indonesia”, Kompas, 13 Januari 2021, “https://money.kompas.com/read/2021/01/13/195028326/mengupas-kerja-sama-investasi-china-di-indonesia
[7] Irwan Santoso Suryo Basuki, “Mengapa Sentimen Negatif Terhadap Etnis Cina Mengakar Erat di Indonesia”, The Conversation, 21 Agustus 2020, https://theconversation.com/mengapa-sentimen-negatif-terhadap-etnis-cina-mengakar-kuat-di-indonesia-144673
[8] Ibid.
[9] René Goldman, “Reviewed Work: Essential Outsiders: Chinese and Jews in the Modern Transformation of Southeast Asia and Central Europe by Daniel Chirot, Anthony Reid”, Political Psychology, Vol. 20, No. 2 (Jun., 1999), hlm. 410-413, https://www.jstor.org/stable/3792085, hlm. 411