Sinyal Darurat Bagi Perubahan Iklim: The Production Gap Report 2021
Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) lewat United Nations Environment Programme (UNEP) merilis sebuah dokumen berjudul The Production Gap Report yang menjelaskan dan berisi data mengenai penggunaan bahan bakar fosil. Dari hasil penelitian pada dokumen tersebut dapat disimpulkan bahwa kebanyakan negara di dunia belum banyak melakukan usaha untuk mengurangi produksi bahan bakar fosil untuk membatasi pemanasan global agar hanya naik 1,5°C. Produksi bahan bakar fosil ini sendiri tidak banyak mengalami perubahan sejak dokumen pertama pada 2019. Penemuan ini menjadi masalah besar yang dapat menyebabkan kegagalan global untuk mencegah perubahan iklim yang lebih parah.
Menurut dokumen yang dirilis pada pertengahan Oktober tahun 2021, sebagian besar produsen minyak dan gas dunia berencana untuk meningkatkan produksi hingga 2030 atau lebih, dan beberapa produsen batu bara besar berencana untuk melanjutkan atau meningkatkan produksi. Hal ini bertentangan dengan keinginan para pemimpin negara yang berusaha berkomitmen untuk menurunkan emisi dari hasil bahan bakar fosil di tahun 2030 dan bebas emisi di tahun 2050. Lebih rinci, laporan tersebut juga menemukan bahwa negara-negara telah mengarahkan lebih dari $300bn (£217bn) untuk kegiatan bahan bakar fosil sejak awal pandemi Covid-19 yang lebih besar dari anggaran untuk energi bersih.
Pada satu kesempatan, Ploy Achakulwisut, seorang peneliti di Stockholm Environment Institute (SEI) dan penulis utama laporan ini menjelaskan efek dari kurangnya komitmen penurunan produksi bahan bakar fosil dan produksi yang sudah berada di atas batas aman, Achakulwisut mengatakan bahwa “Penelitiannya jelas: produksi batu bara, minyak dan gas global harus mulai menurun segera dan tajam agar konsisten dengan membatasi pemanasan jangka panjang hingga 1,5°C,”
Selain berdampak langsung ke perubahan iklim dan juga anggaran besar-besaran yang justru dikeluarkan untuk bahan bakar fosil, Dr. Jeremy Hess, seorang profesor kesehatan dan pengobatan darurat global di University of Washington mengatakan bahwa penggunaan bahan bakar kotor ini memiliki berbagai efek terhadap kesehatan secara langsung dan tidak langsung. Dilansir dari The Guardian, Dr. Hess mengatakan “Sayangnya ini adalah tahun pertama saya dapat mengatakan dengan yakin bahwa saya dan para pasien sangat jelas mengalami dampak perubahan iklim. Saya melihat paramedis yang telah luka bakar pada lutut mereka karena berlutut untuk merawat pasien dengan sengatan panas. Dan saya melihat terlalu banyak pasien meninggal di unit gawat darurat akibat paparan panas mereka tahun lalu,”
Untuk menyelamatkan iklim, laporan The Production Gap 2021 tersebut menyarankan pemerintah untuk mengambil peran utama dan memastikan bahwa transisi dari bahan bakar fosil adalah adil dan merata. Hal ini karena Badan Usaha Milik Negara (BUMN) menguasai lebih dari 50% produksi bahan bakar fosil dunia. Di sisi lain, Direktur Eksekutif UNEP, Inger Andersen juga mengatakan bahwa masih ada waktu untuk mencegah pemanasan global yang melebihi 2°C. Andersen kemudian mengingatkan bahwa pada Konferensi Iklim PBB, yang dikenal sebagai Conference of the Parties 26 (COP26) bahwa “pemerintah harus melangkah, mengambil langkah cepat dan segera untuk menutup kesenjangan produksi bahan bakar fosil dan memastikan transisi yang adil dan merata.
COP26 sendiri akan diselenggarakan di Glasgow pada akhir Oktober hingga awal November 2021. Tujuannya untuk memperkuat komitmen dan menjanjikan langkah-langkah pengurangan karbon yang akan menjaga harapan hidup untuk membatasi kenaikan pemanasan global hingga 1,5°C. Batas 1,5°C ini merujuk pada Perjanjian Paris pada tahun 2015 yang ditandatangani oleh hampir semua negara di dunia. Perjanjian Paris sendiri bertujuan untuk menjaga kenaikan suhu rata-rata secara global yang idealnya 1,5°C.