Exopolitics: Dulu Eksplorasi, Sekarang Militerisasi
Politik luar angkasa atau yang coba dipopulerkan oleh Salla sebagai exopolitics sudah sejak lama menjadi bagian dari politik global. Hal ini ditandai ketika luar angkasa menjadi domain persaingan politik antara Amerika Serikat dan Uni Soviet pada masa Perang Dingin. Keduanya bersaing dalam ilmu pengetahuan dan teknologi untuk menentukan siapa yang memimpin dan memiliki kapabilitas paling unggul untuk eksplorasi luar angkasa ketika itu. Penggunaan luar angkasa kemudian diatur dalam The Outer Space Treaty 1962 yang pada intinya menekankan penggunaan luar angkasa untuk tujuan damai dan kepentingan seluruh umat manusia. Seiring dengan perkembangan kepentingan negara, pengguna luar angkasa pun ikut berkembang dan sekali lagi memunculkan persaingan.
Akibat globalisasi, teknologi telah menjadi sangat krusial bagi ekonomi negara, salah satunya teknologi luar angkasa yang berupa satelit. Hal ini membuat negara semakin bergantung pada satelit untuk mencapai kepentingan ekonomi itu maupun kepentingan lainnya.[1] Oleh karena itu, negara-negara berupaya untuk melindungi satelit mereka dari potensi ancaman dan serangan di luar angkasa. Militerisasi di luar angkasa pun tidak terhindarkan karena hal ini.
Militerisasi di luar angkasa merujuk pada penempatan dan pengembangan senjata dan teknologi militer yang digunakan untuk tujuan militer di luar angkasa.[2] Militerisasi yang dilakukan oleh suatu negara di luar angkasa akan membuat politik global menjadi tidak menentu. Keberadaan satelit bersenjata di sana tentunya dianggap sebagai ancaman oleh negara lain. Negara-negara yang merasa terancam akan ikut melakukan hal yang sama dan hal ini akan membuat jumlah satelit bersenjata meningkat pesat. Selain itu, hal terburuknya ketika seluruh satelit memiliki senjata berpotensi menjadikan luar angkasa sebagai arena perang yang sebelumnya merupakan zona netral.
Kepemilikan dan pengembangan sistem dual-use yang dipakai oleh China membuatnya diklaim telah melakukan militerisasi dan terindikasi telah menempatkan senjata dalam satelitnya dipakai untuk menyerang satelit milik negara lain.[3] Hal ini dikarenakan dual-use membuat satu satelit bisa digunakan untuk kepentingan dan tujuan sipil-militer. China dianggap telah membuka kembali persaingan di luar angkasa, kali ini dengan unsur militer dan senjata. Tentu saja, dual-use China yang diduga telah menempatkan senjata di satelitnya mendapatkan respon dari negara-negara rivalnya seperti, AS dan Jepang. Tidak lagi merespon dengan menempatkan senjata pada satelit mereka, kedua negara tersebut membentuk angkatan bersenjata baru untuk menangani ancaman di luar angkasa yang berasal dari China
Dibawah pemerintahan Trump, AS resmikan US Space Force (USFF)sebagai cabang angkatan bersenjata baru pada tahun 2019. Cabang ini memiliki tugas utama untuk melindungi satelit AS dari ancaman maupun serangan satelit negara lain di luar angkasa, dalam hal ini China. Walaupun masa jabatan Trump telah berakhir, Joe Biden diperkirakan akan mempertahankan keberadaan USFF.[4] Hal ini memperlihatkan pentingnya keberadaan dan kelangsungan fungsi satelit bagi AS di luar angkasa dan jika satelit mereka bermasalah dapat mengganggu kepentingan nasional AS.
Sementara itu, Jepang yang memiliki hubungan konfliktif dengan China tentu saja melihat kapabilitas satelit China sebagai ancaman yang nyata dan membahayakan keamanannya. Bahkan di tengah krisis pandemi, Jepang meresmikan satu skuadron untuk self-defense satelit mereka dari potensi ancaman pada Mei 2020.[5] Selanjutnya, Jepang menjalin kerja sama bersama AS yang ditujukan untuk membangun kapabilitas luar angkasanya pada Agustus di tahun yang sama. Kerja sama antara AS dan Jepang ini menjadi aliansi pertama untuk domain luar angkasa sekaligus mengindikasikan keseriusan keduanya menghadapi ancaman dari China terhadap satelit mereka di luar angkasa.
Kondisi exopolitics saat ini seolah mengingatkan kembali pada persaingan masa Perang Dingin. Namun persaingan kali ini mungkin akan lebih intens dibanding sebelumnya. Bukan eksplorasi, kali ini militerisasi. Lalu, dengan adanya unsur militer dan senjata di luar angkasa, apakah kali ini kita akan bisa melihat Space War yang sebelumnya hanya bisa kita lihat di film saja? Walaupun luar angkasa kerap kali dikatakan sebagai Final Frontier, masih banyak yang meragukan perang akan terjadi di luar angkasa. Tentunya karena hal itu belum pernah terjadi dan terbayang sebelumnya, namun dengan perkembangan teknologi hal ini bisa terjadi.[6]
Cukup sulit memang untuk memberikan pandangan lain bagaimana hasil akhir dari persaingan ini, selain perang. Ditambah, hubungan AS dan China maupun Jepang dan China saat ini berada pada titik terendah. Rasa tidak percaya satu sama lain semakin besar membuat mereka tidak bisa saling mempercayai dan menyebabkan persepsi selalu negatif terhadap masing-masing pihak. Jika saja mereka mau berkomitmen untuk mengedepankan kepentingan seluruh umat manusia, kerjasama dan penggunaan luar angkasa untuk tujuan damai tentunya dapat terwujud.
[1] Ajey Lele. (2013). Asian Space Race: Rhetoric or Reality?. Springer
[2] Pawel Bernat. (2019). The Inevitability of Militarization of Outer Space. Scientific & Technical Journal: Safety & Defense 5 (1) 49-54.
[3] Harsh Vasan. (2017, 19 Januari). How China Is Weaponizing Outer Space. The Diplomat. https://thediplomat.com/2017/01/how-china-is-weaponizing-outer-space/
[4] AP News Wire. (2021, 28 Januari). Biden Seen Likely to Keep Space Force, A Trump Favorite. Independent. https://www.independent.co.uk/news/biden-seen-likely-to-keep-space-force-a-trump-favorite-space-force-joe-biden-donald-trump-space-force-service-b1793898.html
[5] Jiji. (2020, 18 Mei). Japan Launches New Squadron to Step Up Defense in Outer Space. The Japan Times. https://www.japantimes.co.jp/news/2020/05/18/national/sdf-launches-space-operations-unit/
[6] John Wright. (2020, 4 Februari). Where No Alliance Has Gone Before: US-Japan Military Cooperation in Space. https://thediplomat.com/2020/02/where-no-alliance-has-gone-before-us-japan-military-cooperation-in-space/