Kenaikan Harga Minyak: Keuntungan Iran dalam Diskusi Perjanjian Nuklir?

Krisis Rusia-Ukraina berdampak pada kenaikan harga minyak secara global. Di sisi lain, Iran dalam misi kesepakatan pengembangan Nuklir merupakan salah satu negara penghasil minyak yang cukup besar. Apakah permintaan pasar terhadap minyak dapat membuat Iran diuntungkan dalam restorasi kesepakatan the Joint Comprehensive Plan of Action (JCPOA)?

Semenjak berita terakhir, Iran sendiri memiliki persyaratan yang harus dikabulkan oleh Amerika Serikat, dan juga negara E3 (Inggris, Jerman, Prancis). Teheran menginginkan Washington mencabut sanksi-sanksi yang dijatuhkan kepadanya, termasuk sanksi ISA, CAATSA, dan U-Turn pada transaksi dolar. Kali ini, parlemen Iran juga menginginkan jaminan bahwa AS tidak akan mengingkari kesepakatan lagi seperti apa yang dilakukan Donald Trump.

Memaksimalkan kesempatan

Terkait kondisi saat ini, mayoritas anggota parlemen Iran menyarankan bahwa Iran harus menggunakan kesempatan yang diberikan oleh ketidakstabilan di pasar energi global dan mendorong tuntutannya dalam pembicaraan nuklir di Wina.

“Sekarang krisis Ukraina telah meningkatkan kebutuhan Barat akan sektor energi Iran, kebutuhan AS untuk menurunkan harga minyak tidak boleh diakomodasi tanpa mempertimbangkan tuntutan Iran,” tulis para anggota parlemen, dilansir dari Al Jazeera.[1] Pembicaraan untuk memulihkan JCPOA telah mendekati garis finish setelah lebih dari 11 bulan dengan berbagai rintangan dan mengalami kebuntuan diskusi.

Pencapaian kesepakatan ini kembali mengalami kendala “faktor eksternal” yakni ketika Rusia menginginkan jaminan bahwa sanksi dari negara Barat terkait invasinya harus tidak mempengaruhi kesepakatan dengan Iran.[2] Tentu Rusia juga berusaha memanfaatkan dinamika global untuk mengurangi dampak dari invasi terhadap negaranya yang menciptakan keraguan akan hasil dari kesepakatan JCPOA. Kondisi global saat ini kembali menunda rampungnya kesepakatan antara Iran dan AS.

Dilansir dari Al Jazeera, juru bicara Kementerian Luar Negeri Iran, Saeed Khatibzadeh menyambut baik jeda tersebut dengan mengatakan itu dapat memberikan momentum untuk menyelesaikan masalah yang tersisa. Anggota E3 juga secara eksplisit memperingatkan bahwa permintaan Rusia dapat membatalkan kesepakatan. Mereka mengatakan “tidak ada yang harus berusaha untuk mengeksploitasi negosiasi JCPOA untuk mendapatkan jaminan yang terpisah dari JCPOA”.

Kembalinya Iran pada perjanjian dengan AS ini diperkirakan setidaknya dapat memperbaiki pasar minyak global. Jurnalis energi dan analis Hamidreza Shokouhi mengatakan kembalinya minyak Iran ke pasar global dapat terjadi dalam beberapa bulan dan tentu saja dapat memiliki efek nyata pada pasokan dan harga global, karena negara itu memiliki cadangan yang siap dan infrastruktur untuk memompa lebih banyak.[3]

Stok minyak Iran dapat menjadi sedikit “kelegaan” bagi pasar dunia

Henry Rome, seorang ahli Iran di Eurasia Group, mengatakan kesepakatan di Wina akan memberikan sedikit kelegaan pada pasar minyak yang bergejolak, tetapi pasokan Iran saja tidak akan mampu mengimbangi ketidakhadiran Rusia dalam jangka menengah.[4]

Namun Shokouhi menunjukkan bahwa meskipun Iran memiliki cadangan gas alam terbesar kedua di dunia, negara tersebut saat ini tidak memiliki prioritas untuk mengekspor minyaknya ke luar negeri.[5] Karena sebagian besar gas yang dihasilkan akan digunakan meningkatkan permintaan lokal dan tidak dapat serta merta mendongkrak produksi secara signifikan. Shokouhi juga percaya bahwa terkait perjanjian dengan Iran, negara Barat akan lebih memprioritaskan kekhawatiran akan perkembangan senjata nuklir, karena kebutuhan energi negara-negara terlibat masih dapat dipasok oleh produsen alternatif lain.

Minyak sebagai bargaining power

Sebagai sebuah negara, tentu Iran harus mengambil keuntungan dari kondisi ini. Cadangan milik Iran ini dapat menjadi bargaining power yang cukup menguntungkan.  Tawar-menawar – adalah salah satu asepek utama dari hubungan internasional. Proses tawar-menawar dalam hubungan internasional sama seperti banyak aspek dalam studi hubungan internasional. Studi ini sangat kompleks dan mencakup berbagai bidang seperti sejarah, ekonomi, ilmu politik dan hubungan internasional.[6]

Suksesnya proses tawar-menawar sendiri bergantung pada hubungan masing-masing pihak. Frank R. Pfetsch menjelaskan dua posisi negara dalam proses tawar-menawar, yaitu simetris dan asimetris. Hubungan simetris dicirikan oleh hubungan timbal balik yang seimbang seperti memiliki power atau sumber daya yang serupa. Sedangkan hubungan asimetri adalah posisi negara dengan power yang lebih besar dengan negara yang lebih lemah. Hal ini banyak ditemukan dalam hubungan internasional, salah satunya Iran dan AS pada diskusi restorasi perjanjian JCPOA ini.[7]

Namun, hasil negosiasi tergantung pada pihak-pihak yang bernegosiasi dan tidak selalu ditentukan dari posisi negara-negara yang terlibat.[8] Iran disini memiliki bargaining power yang cukup besar karena kebutuhan minyak dunia, baik AS dan sekutunya tentu membutuhkan pasokan minyak itu. Tentu, hasil dari negosiasi akan sesuai dengan kesepakatan dimana pihak terlibat puas akan hasilnya. Namun dengan bargaining power, Iran setidaknya dapat menekan AS untuk keuntungannya dalam diskusi ini. Mengingat, diskusi ini membahas mengenai pengembangan nuklir dan apa yang ditawarkan Iran adalah sumber daya alam yang krusial bagi semua negara saat ini.

[1] Maziar Motamedi, “Oil concerns give Iran the upper hand in nuclear talks: Lawmakers”, Al Jazeera, 13 Maret 2022, https://www.aljazeera.com/news/2022/3/13/oil-concerns-give-iran-the-upper-hand-in-nuclear-talks-lawmakers

[2] Ibid.

[3] Ibid.

[4] Ibid.

[5] Ibid.

[6] Peter Van Der Windt, “Bargaining in International Relations”, 2011, https://petervanderwindt.files.wordpress.com/2011/06/bargaininginir.pdf

[7] Frank R. Pfetsch. “Power in International Negotiations: Symmetry and Asymmetry”, Dans Négociations 2011/2 (n° 16), 2011, https://www.cairn.info/revue-negociations-2011-2-page-39.htm

[8] Ibid.