Persaingan China-AS: Efektif untuk Penanganan Climate Change?
![gettyimages-453444607-594x594-1 gettyimages-453444607-594x594-1](https://dip.or.id/wp-content/uploads/2021/04/gettyimages-453444607-594x594-1-1024x585.jpg)
Isu Climate change adalah salah satu dari sedikitnya isu yang dianggap penting oleh China dan AS. Baik China maupun AS telah berlomba-lomba untuk jadi pemimpin dalam segala hal termasuk siapa yang memimpin dalam mengurangi efek dari climate change. Selain itu, mereka juga bersaing tentang solusi milik siapa yang paling praktis untuk menangani hal tersebut. Sehingga persaingan antar keduanya dalam hal ini tidak bisa dihindari. Segelintir orang percaya bahwa persaingan itu dapat mengurangi efek dari climate change, bagaimana mungkin?
China melihat Climate change sebagai yang penting untuk ditangani demi kepentingan seluruh umat manusia. Beberapa dokumen telah dirilis dan kebijakan telah diambil untuk menangani hal itu. China telah berhasil menurunkan emisi karbon sebanyak 4% dan secara kumulatif sebesar 45.8% dari tahun 2005 sebanding dengan reduksi 5.26 miliar ton. Sebanding dengan itu, telah terjadi peningkatan penggunaan energi non-fosil sebagai energi utama sebesar 14.3%.[1] Pengurangan emisi karbon menjadi salah satu hal yang krusial untuk menurunkan efek dari climate change terhadap lingkungan.
Pentingnya penanganan climate change menurut China juga direfleksikan dalam kerja sama dan forum-forum multilateral. China aktif melakukan negosiasi melalui Petersburg Climate Dialogue, Conference on climate change tingkat menteri dan pertemuan-pertemuan dibawah Montreal Protocol selain juga aktif di United Nations Framework Convention on Climate Change (UNFCCC). Dalam pertemuan G20, China juga memberikan dokumen laporan mereka dalam working group untuk climate sustainability. Pada 2018 di bulan Juli, China dan Uni Eropa melakukan komunikasi dan koordinasi level tinggi yang diberi nama China-EU Leaders’ Statement on Climate Change and Clean Energy. China juga tercatat telah melakukan kerja sama soal lingkungan bersama dengan negara-negara di Afrika melalui Beijing Summit of the Forum on China-Africa Cooperation.[2]
Amerika Serikat sudah lama melihat climate change sebagai hal yang penting untuk diatasi. Sebagai negara yang dinilai paling berpengaruh, AS memiliki komitmen besar terhadap climate change dan seringkali menjadi inisiator untuk agenda tersebut sejak penandatangan UNFCCC di tahun 1992. Komitmennya terlihat dari banyaknya perjanjian internasional mengenai climate change yang diinisiasi dan diratifikasi sekaligus kebijakan adaptasi turunan yang telah diambil secara domestik. Oleh karena itu, komitmen AS untuk menangani climate change paling tidak dapat dikatakan sangat tinggi sampai kemudian berubah pada pemerintahan Trump.
4 tahun pemerintahan Donald Trump, kebijakan luar negeri AS lebih banyak isolasi daripada meneruskan komitmen AS untuk internasional. Climate change menjadi salah satu isu yang tidak menjadi prioritas Trump di mana AS keluar dari Paris Agreement dibawah pemerintahannya. AS baru kembali ke Paris Agreement setelah Joe Biden dilantik menggantikan Donald Trump pada Januari 2021. Hal ini dikarenakan climate change memang telah menjadi salah satu prioritas Biden sejak masa kampanye.
Biden diestimasikan akan kembali membawa AS memimpin dalam penanganan climate change. Jika hal ini terjadi, Biden akan membawa AS melawan dominasi yang telah China selama beberapa tahun terakhir pada saat AS vakum akibat isolasi Trump. Peluang keduanya bekerja sama sebenarnya sama besar dengan kemungkinan terjadinya persaingan. Namun melihat kondisi hubungan keduanya, kemungkinan besar persaingan akan semakin tinggi dan memanas.
Hubungan bilateral AS-China memang telah mengalami penurunan beberapa tahun belakangan, bukan hanya karena Donald Trump.[3] Kondisi seperti ini dibarengi perselisihan yang terus meningkat dinilai dapat memicu berkurangnya kerja sama dan kolaborasi diantara mereka dengan pesat.[4] Tentu situasi ini dapat berubah apabila salah satu diantara mereka melakukan pendekatan yang konstruktif untuk bekerjasama.
Bagaimana jika keduanya tidak mau bekerjasama? Jika keduanya ternyata sepakat tetap mengedepankan persaingan, pemenang dari persaingan ini adalah siapa yang komitmennya sebanding dengan aksinya. Xi Jinping menyatakan China akan mencapai netralitas karbon pada tahun 2060, sementara AS pada 2050 menurut Biden.[5] Tujuan keduanya sebenarnya hampir sama dan bisa menjadi partner strategis dalam penanganan climate change. Namun, tentu saja hal ini membutuhkan kesediaan dari kedua negara yang berada dalam kondisi hubungan yang kurang baik pada saat ini.
Kerja sama atau persaingan, tidak mengurangi fakta bahwa AS dan China adalah dua negara pemakai energi batu bara terbesar. Hal ini sekaligus membuat mereka mengeluarkan emisi gas terbesar dan mencemarkan lingkungan sama besarnya. Terlepas dari pola apapun yang akan mereka pilih, komitmen terhadap climate change menuntut mereka untuk menurunkan emisi, mengurangi penggunaan batubara, meningkatkan penggunaan energi terbarukan dan reboisasi serta promosi agenda climate change di panggung internasional.
Komitmen yang bisa keduanya wujudkan tentu dapat mengurangi efek dari climate change, bahkan dengan pola persaingan. Tapi sejauh mana persaingan ini akan dinilai positif? Jika melihat untuk jangka panjang, persaingan ini akan memunculkan persaingan lain yang lebih besar, seperti siapa yang bisa menyediakan energi hijau kedepannya. Entah China atau AS yang akan keluar sebagai pemenang dan dinobatkan sebagai pemimpin, efek dari climate change sangat berpengaruh negatif terhadap planet yang kita tinggali ini. Sehingga, solusi yang praktis dan efektif jauh lebih dibutuhkan daripada mengetahui siapa pemenangnya.
[1] Ministry of Ecology and Environment of the People’s Republic of China, “China’s Policies and Actions for Addressing Climate Change 2019”, November 2019.
[2] Ibid., 26
[3] Todd Stern, Rebooting AS-China Climate Engagement, Brookings, 2020
[4] Sarah Ladislaw, Productive Competition: A Framework for U.S.-China Engagement on Climate Change, Global Forecast 2021, Center for Strategic & International Studies, 21 Januari 2021
[5] Aimee Barnes, Dr. Fan Dai & Angela Luh, How the US and China Could Renew Cooperation on Climate Change, Columbia Center on Global Energy Policy, 18 Desember 2020.