Menimbang Pesawat Tempur Baru Untuk Angkatan Udara Suriah Pasca Assad

Pada 8 Desember 2024 Perang Saudara Suriah berakhir dengan runtuhnya rezim Bashar Al-Assad setelah pasukan pemberontak Tentara Pembebasan Suriah (FSA) yang dipimpin oleh kelompok Hayat Tahrir Al-Sham melancarkan serangan kilat yang membebaskan Aleppo, Hama, dan Homs dalam waktu 11 hari. Sementara itu kelompok Komando Operasional Selatan (SOR) dan Tentara Komando Revolusioner (RCA) melancarkan serangan dari selatan yang berhasil menguasai Damaskus. Serangan tersebut berhasil mengakhiri kekuasaan rezim Bashar Al-Assad dan Partai Arab Sosialis Ba’ath yang telah memimpin Suriah dengan tangan besi selama enam dekade. Tidak lama setelah rezim Bashar Al-Assad runtuh, Angkatan Udara Israel melancarkan ratusan serangan udara terhadap instalasi dan peralatan militer yang sebelumnya digunakan oleh Tentara Arab Suriah (SAA). Serangan ini berhasil menghancurkan sebagian besar pesawat tempur dan alat utama sistem senjata (alutsista) lain yang digunakan oleh Angkatan Udara Arab Suriah (SAAF).
Kehancuran armada tempur udara Suriah merupakan masalah besar bagi Pemerintah Transisi Suriah (STG) karena tanpa pesawat tempur negeri Sham rawan terhadap serangan yang dilancarkan oleh negara lain seperti Israel dan Iran. Selain itu tidak adanya pesawat tempur juga membatasi kemampuan pengawasan STG terhadap ancaman internal seperti insurgensi pro Bashar Al-Assad dan Negara Islam Irak dan Suriah (ISIS/Daesh). Akan tetapi, STG tidak sibuk mencari pesawat tempur pengganti karena saat ini mereka lebih fokus membangun ulanginfrastruktur dan perekonomian Suriah yang hancur akibat dari 13 tahun perang saudara. Oleh karena itu, pertimbangan pembelian pesawat tempur pengganti perlu dilakukan pemerintahan selanjutnya agar Suriah memiliki postur pertahanan yang memumpuni untuk mempertahankan kedaulatan mereka.
Sebelumnya, SAAF di masa rezim Partai Ba’ath menggunakan pesawat tempur buatan Uni Soviet seperti Mig-21, Mig-23, Mig-29, Su-17, Su-24, dan Mig-25. Pesawat ini digunakan oleh SAAF karena sebelumnya rezim Partai Ba’ath memiliki kedekatan dengan Uni Sovietakibat dari kebijakan luar negeri mereka yang anti barat. Akan tetapi sebagian besar dari pesawat yang sebelumnya digunakan oleh SAAF telah dihancurkan oleh Israel atau kekurangan suku cadang sehingga mereka dianggap not airworthy. Selain itu seluruh pesawat tempur buatan UniSoviet yang digunakan oleh SAAF merupakan alutsista high maintenance dengan masa hidupyang relatif pendek (2,500-4,000 jam terbang) dibandingkan dengan lawan udaranya seperti F-16 Fighting Falcon (8,000-12,000 jam terbang) yang digunakan oleh Angkatan Udara Israel. High maintenance dan masa hidup relatif pendek merupakan beban bagi STG dan pemerintah Suriah setelahnya karena mereka tidak memiliki anggaran untuk memelihara alutsista high maintenance.
Oleh karena itu untuk mengetahui pesawat tempur yang dibutuhkan oleh Suriah yang baru, terdapat beberapa kriteria yang perlu dipertimbangkan yaitu masa hidup panjang, memiliki teknologi (sensor, radar, dan pengintaian) canggih, kapabilitas multiguna, serta mampu beroperasi di lapangan udara dengan landasan kasar dan pangkalan udara sementara yang tidak menggunakan landasan pacu semen. Selain itu negara penyedia juga perlu dipertimbangkankarena Suriah harus memiliki pemasok yang mampu menyediakan jasa lain seperti suku cadangsecara konsisten dan teratur agar pesawat tempur Angkatan Udara Suriah yang baru dan pilot mereka dapat mempertahankan kesiapan operasional. Dalam hal ini, potensi Rusia sebagai penyedia pesawat tempur dapat disingkirkan karena seperti yang dijelaskan sebelumnya, alutsista mereka memiliki masa hidup relatif pendek. Selain itu Rusia juga sedang menjalankan invasi terhadap Ukraina sehingga seluruh alutsista yang mereka produksi akan diprioritaskan kepada unit-unit yang sedang bertempur.
Berdasarkan kriteria tersebut terdapat dua pesawat yang dapat dipertimbangkan oleh Suriah yaitu F-16 Fighting Falcon dari Amerika Serikat dan JAS39C/E Gripen dari Swedia. F-16 Fighting Falcon merupakan sebuah pilihan yang wajar karena pesawat tempur ini digunakan oleh berbagai negara sehingga penyediaan suku cadang tidak menjadi masalah besar. Akan tetapi, F-16 merupakan pesawat tempur yang digunakan oleh Israel yang sudah menggunakan pesawat tempur tersebut dalam berbagai operasi pertahanan udara. Hal ini membuat Angkatan Udara Israel mahir menggunakan F-16 karena mereka mengetahui kelebihan dan kekurangan pesawat tersebut sehingga dalam sebuah pertempuran udara pilot Israel dapat menggunakan keuntungan tersebut untuk menghadapi pilot Suriah yang kurang berpengalaman.
Dari pertimbangan JAS-39C/E Gripen terlihat sebagai alternatif yang lebih menjanjikan. Pesawat tempur JAS-39 Gripen lebih unggul karena pesawat tempur ini dirancang untuk beroperasi di medan tempur tangguh dengan kru pemeliharaan terbatas. Selain itu pesawat ini juga memiliki service life panjang (8,000 jam terbang) dan memiliki kapabilitas multiguna. Akan tetapi, JAS-39C/E Gripen tidak sepenuhnya diproduksi oleh Swedia karena terdapat negara lainyang berkontribusi dalam produksi pesawat tempur ini seperti Inggris Raya, Amerika Serikat, dan Afrika Selatan. Hal ini akan memperumit pengiriman suku cadang karena Suriah harus bernegosiasi dengan berbagai pihak untuk memastikan ketersediaan suku cadang. Selain itu karena produksi JAS-39C/E Gripen terbatas dibandingkan F-16, pemerintah Suriah harus menunggu dalam waktu yang relatif lama untuk mendapatkan pesawat pertama. Hal ini merupakan isu kecil jika dinamika regional di kawasan Timur Tengah kondusif. Akan tetapi, jika ketegangan di kawasan Timur Tengah memanas, hal ini dapat menjadi sebuah isu besar karena postur pertahanan Suriah terancam hingga JAS-39C/E Gripen tiba dan digunakan oleh angkatan udara baru.