Di saat seseorang menyebutkan “American dream”, bayangan yang sering muncul di pikiran kita adalah sebuah pasangan suami istri yang tinggal di sebuah rumah sederhana dan bergaya Mid-Century Modern dengan dua atau tiga anak. Rumah-rumah ini memiliki halaman hijau dan pagar putih yang mengelilinginya. Di dalam gambaran tersebut, sang ibu berperan sebagai ibu rumah tangga, sementara sang ayah menjadi tulang punggung keluarga, memiliki pekerjaan dengan penghasilan yang cukup untuk memenuhi kebutuhan rumah tanpa memerlukan sumber pendapatan tambahan. Istilah ini diciptakan oleh James Truslow Adams dalam Epic of America (1931). Ia menggambarkannya sebagai impian akan kehidupan lebih baik, kaya, dan bermakna. Setiap individu mendapat kesempatan sesuai kemampuan tanpa terpengaruh status sosial.
Definisi modern American Dream lahir pada 1950-an seiring budaya konsumtif pasca perang. Perusahaan menyesuaikan pemasaran, mengarahkan iklan rumah tangga ke keluarga ideal era itu. Dalam gambaran ini, sang suami digambarkan sebagai pencari nafkah utama yang bekerja keras untuk memenuhi kebutuhan finansial keluarga, sementara sang istri mengurus rumah tangga dengan bantuan peralatan modern yang dirancang untuk menunjang perannya sebagai pasangan yang ideal. Gambaran ini mendukung teori Jean Baudrillard dalam Simulacra and Simulation, di mana masyarakat hidup dalam simulasi realitas buatan. Media, iklan, dan film Hollywood membentuk citra American Dream sebagai hasil kerja keras. Namun, dalam realitas, mobilitas kelas sosial semakin sulit, dan kesenjangan ekonomi semakin lebar, sehingga impian tersebut hanya menjadi sebuah mitos yang terlihat nyata tetapi sebenarnya tidak ada dalam dunia nyata.
Sebutan ini telah mati bagi semua orang Amerika, terlepas dari ras, akibat ketidaksetaraan kekayaan di Amerika Serikat saat ini. Seiring perkembangan dunia, semakin banyak pekerjaan yang menuntut pendidikan lebih tinggi dari sekolah menengah, sementara biaya pendidikan tinggi meningkat secara tidak proporsional dibandingkan dengan pendapatan rata-rata masyarakat, membuatnya sulit dijangkau oleh keluarga berpenghasilan rendah. Selain itu, konsep American Dream telah bergeser dari etos kesetaraan dan solidaritas menjadi persaingan individualistik demi kesuksesan material yang didorong oleh konsumsi. Pada tahun 1990-an dan awal 2000-an, perusahaan jasa keuangan Fannie Mae mendorong gagasan bahwa kepemilikan rumah adalah pilar utama American Dream dan memanfaatkannya dalam iklan pinjaman rumah, yang akhirnya menyebabkan lonjakan pasar perumahan dan menciptakan gelembung ekonomi yang pecah, berujung pada krisis keuangan 2008-2009. Fredric Jameson dalam bukunya “Postmodernism, or, the Cultural Logic of Late Capitalism” melihat bahwa dalam kapitalisme lanjut, ekonomi berbasis produksi telah bergeser menjadi ekonomi yang berpusat pada konsumerisme dan citra. Sebutan ini yang dulunya berkaitan dengan kerja keras untuk kehidupan yang lebih baik kini lebih ditentukan oleh kepemilikan simbol-simbol kesuksesan seperti rumah besar, mobil mewah, dan pendidikan tinggi. Kapitalisme terus mendorong masyarakat untuk mengejar impian ini melalui konsumsi tanpa henti, meskipun realitanya semakin banyak orang terjebak dalam utang dan pekerjaan yang tidak stabil.
Istilah ini tidak sama bagi warga kulit hitam, penduduk asli, dan kelompok berkulit berwarna, pengalaman mereka tidak pernah sebanding dengan warga kulit putih, baik dalam sejarah maupun di era modern. Hal ini disebabkan oleh konsep yang sejak awal sudah mencerminkan bias rasial, dengan menempatkan keluarga kulit putih sebagai standar ideal dalam masyarakat Amerika. Sepanjang sejarah, hak istimewa yang melekat pada istilah tersebut tidak pernah sepenuhnya diberikan kepada kelompok non-kulit putih, sebagaimana terlihat dalam pola konsumerisme pascaperang hingga ketimpangan yang masih nyata di Amerika saat ini.Pada kenyataan tahun 2023, lebih dari 36 juta orang hidup dalam kemiskinan. Kemiskinan dapat dialami siapa saja, tetapi warga berkulit berwarna lebih rentan karena rasisme dan diskriminasi. Faktor utama penyebabnya meliputi upah rendah, pengangguran, dan mahalnya biaya perumahan, yang membuat banyak orang kesulitan memenuhi kebutuhan dasar. Selain itu, kelompok rentan seperti penyandang disabilitas, perempuan, dan minoritas sering menghadapi keterbatasan akses terhadap pekerjaan, perumahan, dan peluang ekonomi, memperparah ketimpangan yang ada.
The American Dream kini hanyalah mitos eksklusif bagi segelintir orang. Jean Baudrillard menyebutnya sebagai simulasi yang dipertahankan oleh media dan kapitalisme. Mobilitas sosial yang stagnan dan ketidaksetaraan ekonomi membuktikan impian ini semakin sulit dijangkau. Fredric Jameson menyoroti pergeseran dari kerja keras ke konsumsi simbol-simbol material. Sejak awal, impian ini juga tidak inklusif, menghalangi kelompok non-kulit putih. Kini, sebutan ini dapat dilihat sebagai istilah rasis yang mempertahankan hierarki sosial di bawah kedok kesuksesan. Dalam realitas yang semakin tidak setara, impian ini hanyalah ilusi untuk menjaga status quo.