Israel dan Potensi Aliansi Suriah-Turki: Ancaman Baru Tanpa Jalan Keluar Mudah
Pada 7 Januari 2025, Komisi Nagel yang dibentuk oleh pemerintah Israel menerbitkanlaporan yang menyatakan bahwa Negeri Bintang Daud harus mempersiapkan diri menghadapi sebuah konflik potensial dengan Turki di Suriah. Komisi tersebut menyatakan bahwa ambisi Turki untuk mengembalikan pengaruh kejayaaan (sphere of influence) mereka dari Kekaisaran Utsmaniyah bertentangan dengan kepentingan nasional Israel dan dapat meningkatkan ketegangan regional. Selain itu Komisi Nagel menambahkan bahwa banyak faksi-faksi bekas Tentara Pembebasan Suriah (FSA) yang dapat menjadi proksi bagi Turki. Hal ini dianggap dapat menjadi sebuah ancaman baru yang lebih berbahaya dibandingkan dengan kelompok proksi Iran yang dihadapi Israel.
Selain menganggap Turki sebagai ancaman, laporan yang diterbitkan oleh Komisi Nagel juga menyatakan bahwa Israel tidak bisa menghiraukan latar belakang dari anggota Pemerintah Transisi Suriah (STG) yang sebelumnya memiliki hubungan dengan organisasi teroris internasional Al-Qaeda seperti Ahmed Hussein al-Sharaa yang dikenal dengan nom de guerre Abu Mohammad al-Julani. Laporan ini juga menyatakan jika Turki memberikan jaminan keamanan, bantuan persenjataan, dan pelatihan militer formal bagi militer Suriah yang baru, hal tersebut dapat meningkatkan kemungkinan terjadinya perang terbuka antara Israel dan Turki di Suriah. Untuk menghadapi potensi ancaman tersebut Komisi Nagel menyarankan pemerintah Israel untuk melakukan beberapa hal yaitu meningkatkan anggaran pertahanan, membeli alat utama sistem persenjataan (alutsista) canggih yang memadai, meningkatkan kapabilitas serangan jauh Pasukan Pertahanan Israel (IDF), membentuk kebijakan pertahanan yang berfokus untuk menghancurkan ancaman sepenuhnya, dan melakukan aksi preventif dan proaktif untuk menghentikan upaya pembangunan postur pertahanan yang dapat mengancam keamanan dan kedaulatan Israel.
Dari penjelasan tersebut dapat dilihat bahwa Israel menganggap Turki dan Suriah pasca runtuhnya Bashar Al-Assad sebagai ancaman karena kedua negara memiliki potensi untuk mengancam kedaulatan dan keamanan Negeri Bintang Daud. Penilaian tersebut cukup wajar jika kita melihat bantuan dan dukungan yang telah Turki berikan kepada STG. Tidak lama setelah rezim Bashar Al-Assad runtuh pada 8 Desember 2024 Turki telah menawarkan berbagai bantuan ke Suriah seperti bantuan militer dan pembangunan ulang infrastruktur kepada Suriah. Dalam konteks bantuan militer Menteri Pertahanan (Menhan) Turki Yaşar Güler menyatakan kesiapan Turki untuk memberikan pelatihan militer bagi Angkatan Bersenjata Suriah yang baru. Sementara itu dalam konteks pembangunan ulang infrastruktur Menteri Transportasi Turki Abdulkadir Uraloglu dalam sebuah konferensi pers menyampaikan keinginan untuk menghidupkan kembali beberapa bagian dari Jalur Rel Hejaz yang sebelumnya merupakan jalur bersejarah yang disahkan oleh Sultan Abdukhamid II di masa Kerajaan Utsmaniyah. Selain menawarkan berbagai bantuan, Turki juga memberikan dukungan diplomatik kepada STG dengan mendorong penghapusan sanksi ekonomi terhadap Suriah.
Dari penjelasan ini dapat dilihat mengapa Israel waspada terhadap interaksi antara Turki dan Suriah. Kewaspadaan ini cukup rasional karena Israel menganggap bantuan yang diberikan Turki kepada Suriah sebagai penaburan benih untuk membangun sebuah kekuatan proksi yang lebih kuat dibandingkan dengan Hezbollah dan Korps Revolusioner Garda Islam (IRGC). Jika hal tersebut dibiarkan terdapat kemungkinan bahwa kekuatan militer gabungan Suriah dan Turki dapat mengancam zona penyangga Israel di Daratan Golan dan kedaulatan Israel sendiri. Dari perspektif pertahanan negara hal ini tidak dapat dibiarkan karena sebelumnya Israel telah menghadapi skenario serupa di Perang Yom Kippur pada Oktober 1973. Walaupun Israel pada akhirnya memenangan perang tersebut, Perang Yom Kippur tetap menyebabkan kerugian besarbagi IDF karena Negeri Bintang Daud mengalami kerugian besar akibat serangan kejutan dan senjata baru yang digunakan oleh tentara Mesir dan Suriah seperti rudal anti-tank 9M14 Malyutka/AT-3 Sagger. Oleh karena itu wajar saja Israel memberikan respon keras terhadap Suriah dan Turki dengan menghancurkan depot persenjataan, gudang amunisi, dan laboratorium pertahanan negara tersebut. Walaupun Israel telah melancarkan aksi tersebut terhadap alutsista bekas rezim Bashar Al-Assad, Negeri Bintang Daud tersebut tidak dapat melancarkan serangan serupa terhadap Turki.
Ketidakmampuan Israel untuk melancarkan serangan ke Turki diakibatkan oleh beberapa faktor. Faktor pertama adalah status Turki sebagai negara anggota pakta pertahanan Traktat Pertahanan Atlantik Utara (NATO). Status Turki sebagai anggota NATO membuat Israel tidak mampu untuk menyerang karena jika hal tersebut terjadi Presiden Erdogan dapat menggunakan Pasal 5 Piagam NATO yang mewajibkan negara anggota lain untuk melindungi negara anggota yang diserang (an attack on one is an attack on all). Selain itu Angkatan Bersenjata Republik Turki (TSK) merupakan salah satu militer yang mengalami perkembangan pesat. Hal ini dapat dilihat dengan berbagai pengembangan dan inovasi yang dilakukan industri pertahanan Turki seperti pesawat tempur tanpa awak Kızılelma, pesawat tempur siluman KAAN, kapal induk kelas MUGEM, dan Sistem Pertahanan Udara Terintegrasi (IADS) Kubah Besi (Steel Dome). Oleh karena itu jika Israel memutuskan untuk menyerang Turki terdapat kemungkinan bahwa mereka akan menghadapi lawan yang memiliki kekuatan militer yang hampir sama atau setara dengan IDF. Israel belum pernah menghadapi lawan setara sejak Pertempuran Karameh/Karamatahun 1968 yang mana serangan IDF dihentikan akibat perlawanan keras Angkatan Bersenjata Kerajaan Jordania yang mengakibatkan korban besar bagi IDF.