PLTN Pertama Akan Beroperasi Pada 2032, Apa Saja Tantangan Yang Harus Dihadapi?
Pada 11 September 2024, Sekretaris Jendral Dewan Energi Nasional (DEN) Djoko Siswanto menyatakan bahwa pembangkit listrik tenaga nuklir (PLTN) pertama di Indonesia akan siap beroperasi pada tahun 2032. Djoko juga menyatakan bahwa penggunaan energi nuklir telah dimasukkan dalam Rancangan Peraturan Pemerintah tentang Kebijakan Energi Nasional (RPP KEN) yang telah disetujui oleh Komisi VII Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) pada 8 Juli 2024. Dalam RPP KEN ini, energi nuklir disetarakan dengan energi baru terbarukan (EBT) sebesar 4-5%; merupakan sebuah perubahan dari RPP KEN sebelumnya yang mengkategorikan energi nuklir sebagai pilihan terakhir atau last resort penyedia listrik. Djoko menyampaikan bahwa penyetaraan energi nuklir dengan EBT dilakukan untuk mencapai target net-zero emission (NEZ) pada tahun 2060. Selain itu, Djoko juga menyampaikan bahwa saat ini, Indonesia telah mendapatkan dua investor untuk mengembangkan dan membangun PLTN yakni ThorCon International Pte Ltd dan NuScale Power Corporation; merupakan perusahaan yang bergerak di bidang energi nuklir dari Amerika Serikat.
Saat ini, diketahui bahwa PLTN yang akan dibangun di Indonesia memiliki kapasitas sekitar 250 megawatt (MW). PLTN ini direncanakan untuk dibangun di Pulau Gelasa, Bangka Belitung. Berdasarkan persyaratan yang diberikan oleh International Atomic Energy Agency (IAEA), sebuah negara perlu melakukan berbagai hal untuk membangun dan mengoperasikan PLTN seperti pelaksanaan studi kelayakan, infrastruktur yang memadai, pemilihan lokasi yang tepat, sumber daya manusia (SDM) yang kompeten, dan pembuatan sebuah nuclear energy program implementing organization (NEPIO) yang memiliki tugas untuk mengkoordinasikan upaya negara dalam mengembangkan PLTN dan program energi nuklir nasional dalam tiga fase. Saat ini pemerintah Indonesia sedang memprioritaskan pengembangan SDM yang kompeten untuk mengoperasikan dan mengelola PLTN. Selain itu, pemerintah juga sedang membuat NEPIO yang direncanakan rampung pada tahun ini setelah Kementerian ESDM menyampaikan pernyataan komitmen kepada IAEA di Vienna, Austria. NEPIO yang dibentuk oleh Indonesia merupakan sebuah badan bersifat non-binding, non-structure, dan terikat kepada presiden yang memiliki tugas untuk melakukan identifikasi perencanaan, mengawal proses pembangunan PLTN, serta menyusun regulasi yang dapat mengatur keamanan fasilitas yang ada.
Penggunaan energi nuklir dalam RPP KEN sendiri merupakan sebuah hal baru untuk Indonesia karena saat ini, Indonesia hanya menggunakan energi nuklir untuk kepentingan riset dan hal tersebut dapat dilihat dengan adanya beberapa research reactors yaitu reaktor Kartini di Yogyakarta, reaktor MPR RSG-GA Siwabessy di Serpong, dan reaktor Triga Mark III di Bandung. Adanya research reactors ini menunjukan bahwa Indonesia tidak asing terhadap energi nuklir walaupun tidak pernah memiliki PLTN. Oleh karena itu, wajar jika Indonesia mengambil langkah selanjutnya yaitu menggunakan nuklir sebagai salah satu sumber penyedia energi listrik. Energi nuklir sendiri memiliki banyak keuntungan seperti carbon footprint yang rendah, membuka lapangan pekerjaan baru, lebih aman dibandingkan dengan pembangkit listrik yang menggunakan energi fosil seperti pembangkit listrik tenaga uap (PLTU), serta dapat menghasilkan daya besar dengan harga terjangkau.
Walaupun demikian, hal ini tidak berarti bahwa PLTN tidak memiliki kekurangan. Walaupun wacana pembangunan PLTN sudah ada dari masa pemerintahan Presiden Soekarno, berbagai faktor menjadi penghambat pembangunan pembangkit listrik tersebut di Indonesia. Salah satu hambatan yang dihadapi Indonesia adalah kondisi geografis negara yang berada dalam kawasan ring of fire. Selain itu, SDM yang terbatas juga menjadi hambatan dalam pembangunan dan pengelolaan PLTN. Terakhir adalah persepsi masyarakat yang cenderung negatif terhadap energi nuklir karena seringkali dianggap sebagai sebuah energi yang selalu memiliki potensi kecelakaan fatal. Persepsi tersebut kemudian diperkuat dengan berbagai contoh kecelakaan PLTN dalam sejarah seperti Three Mile Island tahun 1979, Chornobyl tahun 1986, dan Fukushima Dai-Ichi tahun 2011.
Ketiga hambatan tersebut merupakan tantangan yang harus dihadapi oleh pemerintah Indonesia dalam pembangunan PLTN. Untuk menghadapi tantangan geografis dan SDM, hal yang perlu dilakukan oleh pemerintah adalah membuka atau memperdalam kerja sama internasional dengan negara-negara yang memiliki PLTN. Hal tersebut saat ini telah dilakukan kerja sama Indonesia dengan Cina, Amerika Serikat, Jepang, dan Rusia dalam hal pengembangan dan pengawasan energi nuklir. Kerja sama ini perlu dilakukan karena Indonesia dapat mempelajari bagaimana cara membangun PLTN yang tahan terhadap potensi bencana alam yang dapat terjadi di kawasan ring of fire. Kerja sama ini juga dapat mempercepat pengembangan SDM yang terampil untuk mengoperasikan pembangkit listrik tersebut. Selain itu, kerja sama ini juga dapat memberikan spillover effect kepada persepsi masyarakat yang sebelumnya cenderung negatif terhadap energi nuklir karena hal ini dapat menunjukan bahwa pemerintah memiliki komitmen tinggi untuk memastikan bahwa energi nuklir dapat digunakan secara aman dan optimal karena negara melakukan kerja sama dengan negara-negara yang memiliki pengalaman dalam mengelola PLTN, limbah nuklir, upaya yang dapat dilakukan untuk meminimalisir potensi terjadinya kecelakaan nuklir, serta rencana-rencana yang diperlukan untuk mengantisipasi berbagai skenario kecelakaan.