Pada 18 Oktober 2023, resolusi yang diusulkan oleh Brazil, dipimpin oleh Sergio Franca Danese, menorong agar adanya “jeda kemanusiaan” untuk memberikan bantuan dan keamanan kepada jutaan penduduk Gaza telah ditolak oleh Amerika Serikat di Dewan Keamanan Perserikatan Bangsa-Bangsa (DK PBB). Dari 15 anggota Dewan, 12 negara mendukung resolusi yang diajukan Brazil, sementara Amerika Serikat menolak dan Rusia serta Inggris abstain.
Sebagai bagian dari proses pengambilan keputusan Dewan Keamanan Perserikatan Bangsa-Bangsa memiliki hak veto, yakni hak bagi lima anggota tetap DK PBB (terdiri dari China, Prancis, Federasi Rusia, Inggris, dan Amerika Serikat) yang mampu menggugurkan resolusi jika salah satu negara anggota tetap DK PBB menolak tindakan yang diusulkan.
Sebelum pemungutan suara, dua amandemen yang diusulkan oleh Rusia yang menyerukan gencatan senjata segera, permanen dan menyeluruh, serta diakhirinya serangan terhadap warga sipil, ditolak oleh Dewan Keamanan.
Amerika Serikat yang diwakili oleh duta besar AS untuk PBB, Linda Thomas-Greenfield, menolak resolusi tersebut karena menurut mereka resolusi tersebut tidak menyebutkan hak bela diri Israel. Mereka berpendapat bahwa Israel memiliki hak bela diri yang tercermin dalam Pasal 51 Piagam PBB dan telah dikonfirmasi oleh Dewan dalam resolusi sebelumnya tentang serangan teroris.
Pada saat yang sama, Brasil, yang mengepalai resolusi tersebut, menekankan bahwa fokusnya adalah situasi kemanusiaan kritis di lapangan, namun tetap memperhatikan realitas politik.
Rusia menyoroti bahwa amendemen mereka bertujuan untuk mengakhiri serangan tidak terarah terhadap warga sipil dan infrastruktur di Gaza, serta mengutuk pembatasan terhadap wilayah tersebut. Mereka juga meminta gencatan senjata kemanusiaan.
Selain itu, Inggris memilih untuk abstain karena menurut mereka teks resolusi tersebut harus lebih jelas tentang hak bela diri yang melekat pada Israel dan karena resolusi tersebut mengabaikan fakta bahwa kelompok ekstremis Hamas, yang mengendalikan Gaza, menggunakan warga Palestina sebagai perisai manusia.
Duta besar Uni Emirat Arab untuk PBB, Lana Zaki Nusseibeh, mendukung resolusi ini karena meskipun tidak sempurna, resolusi ini dengan jelas menetapkan prinsip-prinsip dasar yang harus dihormati.
Dalam situasi yang sangat sulit ini, Uni Emirat Arab menekankan perlunya gencatan senjata kemanusiaan penuh, tanpa mengorbankan keamanan Israel, untuk memungkinkan perawatan orang-orang terluka luka-luka, mengubur jenazah dengan layak, dan mulai membangun kembali kehidupan mereka.
Kontroversi keputusan AS: standar ganda Barat
Resolusi tersebut mendapat dukungan mayoritas anggota Dewan dan diperkirakan akan diadopsi. Veto AS menimbulkan kritik terhadap standar ganda Amerika dan tuduhan bahwa Amerika Serikat, yang mengkritik Rusia karena melumpuhkan Dewan dalam perang di Ukraina, menghambat kerja Dewan.
Keputusan ini membuat Israel berterima kasih kepada AS karena menggunakan hak vetonya. Tiongkok menggambarkan tindakan tersebut sebagai “sesuatu yang luar biasa” sementara Rusia mengatakan bahwa tindakan tersebut merupakan contoh standar ganda AS.
Dua anggota G7 di dewan tersebut – Jepang dan Prancis – memutuskan untuk bersebrangan dengan AS dengan mendukung mosi kemanusiaan tersebut.
Laporan Global Times, media berbasis China, mengkritisi veto AS, di mana veto AS tidak hanya melanggar moralitas dan keadilan yang paling mendasar, namun juga melemahkan otoritas dan kredibilitas Dewan Keamanan PBB, melemahkan kemampuan dan kemauan komunitas internasional dalam menjaga perdamaian dan keamanan. “Ketidakmampuan” PBB untuk melindungi paham kemanusiaan internasional saat ini secara langsung disebabkan oleh pengabaian dan pengabaian Amerika terhadap paham kemanusiaan internasional.
Dewan Keamanan harus melakukan perubahan dan tidak boleh stagnan. Komunitas internasional harus memperkuat kecaman moralnya terhadap tindakan-tindakan tersebut, memberikan tekanan dan menyerukan kepada AS untuk segera meninggalkan pendiriannya yang menentang komunitas internasional. Bias Amerika adalah salah satu akar penyebab permasalahan Palestina yang sudah berlangsung lama, dan merupakan katalisator yang meningkatkan eskalasi konflik ketika konflik tersebut pecah.