Kudeta Niger: Menjadi wilayah konflik geopolitik tambahan?
Negara-negara anggota Afrika Barat (ECOWAS) sedang bersiap untuk melakukan intervensi militer sebagai respons terhadap kudeta di Niger. Komisioner ECOWAS untuk urusan politik, perdamaian, dan keamanan, Abdel Fatau Musah, mengungkapkan dalam pertemuan para pemimpin militer di Accra, Ghana, bahwa pemerintahan militer di Niger menolak usaha diplomasi dengan menolak delegasi dari ECOWAS.
Beberapa negara anggota ECOWAS juga mendesak pembebasan segera untuk Presiden Niger yang telah digulingkan dan ditahan oleh junta militer, Mohamed Bazoum. Pertemuan di Accra diadakan untuk merinci persiapan kekuatan militer dalam rangka mematuhi batas waktu yang diberikan agar Niger membebaskan Bazoum dan mengembalikan tatanan demokrasi.
Meskipun diplomasi menjadi prioritas, Musah menegaskan bahwa ECOWAS tetap mempersiapkan opsi militer jika upaya negosiasi tidak berhasil. “Kekuatan militer dan sipil di Afrika Barat siap menjalankan tanggung jawab ini,” kata Musah di kamp militer Burma, Accra.
Kecuali negara-negara yang saat ini di bawah pemerintahan militer dan Cape Verde, semua anggota ECOWAS telah sepakat untuk mengirim pasukan ke Niger. ECOWAS sendiri secara internal tidak memiliki kesatuan suara yang sama mengenai kondisi kudeta di Niger. Jenderal Christopher Gwabin Musa, Kepala Staf Pertahanan Nigeria, menegaskan bahwa yang mereka perjuangkan adalah demokrasi menuju perdamaian dan stabilitas. Namun, bagaimana intervensi ECOWAS akan memengaruhi Niger dan kawasan?
Kudeta cerminan perpecahan di internal Niger?
Demonstrasi mengenai kudeta di Niger tidak hanya terjadi di kalangan masyarakat, namun juga politisi. Masyarakat memiliki pandangan dan kekhawatiran mengenai kondisi negara dan sebagian juga mengangkat keterlibatan Prancis. Prancis memiliki sejarah panjang di Afrika Barat, di mana menjadi kekuatan kolonial hingga tahun 1960. Sejak merdeka, Prancis telah menjaga hubungan perdagangan dan kehadiran militer di wilayah tersebut, yang telah menyebabkan ketegangan jangka panjang yang kini tampak mencapai puncak baru.
Setelah menarik pasukannya dari Mali pada tahun 2022 dan Burkina Faso pada tahun 2023 akibat kudeta militer, Prancis kini menghadapi potensi penarikan pasukan dari Niger, sebuah negara yang sebelumnya dianggap sebagai sekutu kunci di wilayah Sahel. Kehadiran kekuatan militer asing juga turut menjadi salah satu faktor perpecahan di Niger karena beberapa menilai ketertarikan Prancis terhadap sumber mineral di Niger membuat mereka tertarik juga pada isu keamanan di negara tersebut.
Seperti yang terjadi di Burkina Faso dan Mali, di Niger juga terjadi protes di jalanan untuk mendukung kudeta militer yang menggulingkan Presiden terpilih Mohamed Bazoum dari jabatannya. Motivasi di balik protes ini beragam. Terdapat oposisi yang cukup besar terhadap Bazoum dan partainya, Partai Niger untuk Demokrasi dan Sosialisme (PNDS), yang telah berkuasa selama 12 tahun, terutama di ibu kota Niger, Niamey.
Sebagian dari para pengunjuk rasa turun ke jalan untuk mengekspresikan oposisi mereka terhadap pemerintah, bukan karena mereka mendukung gagasan kudeta militer. Sementara yang lain mungkin sepenuhnya meyakini bahwa pengambilalihan militer akan memberikan manfaat positif bagi negara. Harus dicatat bahwa beberapa warga Niger juga mendukung presiden dalam protes, tetapi mereka segera dihalau oleh pasukan keamanan.
Meskipun semua konstitusi di Afrika Barat mengusung prinsip demokrasi, kenyataannya berbeda dengan praktik politik yang terjadi. Afrika tidak memiliki sistem pemilihan yang kredibel, adanya penyalahgunaan prosedur hukum untuk menghilangkan oposisi, masalah korupsi, dan kesenjangan ekonomi. Selain itu, kepemimpinan Niger juga gagal dalam menghalau gerakan terorisme seperti dari afiliasi Al-Qaeda, ISIS, termasuk Boko Haram yang beroperasi di wilayah ini.
Namun, prinsip fundamental demokrasi yang mendasari, yaitu memiliki pemerintahan yang dipilih oleh rakyat untuk bekerja demi kepentingan rakyat, tetap tidak dipertanyakan. Kejadian ini sekali lagi menunjukkan kegagalan untuk membangun negara-negara yang solid dengan institusi yang efektif sejak merdeka dari penjajahan Prancis.
Kegagalan dalam tata kelola negara sering menjadi alasan yang digunakan oleh militer untuk merebut kekuasaan, dan pandangan ini juga dianut oleh sebagian anggota masyarakat. Ketika sebuah negara hampir menghadapi keruntuhan keamanan di bawah pemerintahan demokratis – seperti yang terjadi di Burkina Faso – tidak mengherankan jika sebagian besar masyarakat mendukung campur tangan militer, yang berjanji akan mengembalikan keamanan.
Pentingnya Niger dalam konteks regional
Niger telah menjadi salah satu mitra demokratis utama bagi banyak negara Barat. Selain sosial politik, isu keamanan dan militer selalu memiliki peran penting dalam politik.
Kudeta di Afrika umumnya akan menggunakan isu keamanan – situasi keamanan, Boko Haram misalnya – tetapi juga pemberontakan jihadis. Ini adalah salah satu alasan yang sering digunakan dalam konteks Sahel yang lebih luas, yaitu kerapuhan negara-negara di wilayah tersebut. Dalam isu ini, terdapat juga keterlibatan pemain internasional seperti Prancis, Amerika Serikat, dan Uni Eropa. Namun di sisi lain, terdapat juga pihak yang lebih mendekat ke Rusia, terlebih dengan adanya perbincangan untuk memberikan bantuan militer dan ekonomi.
Keterlibatan militer akan menghasilkan konsekuensi lanjutan yang bahkan lebih mengancamn kestabilan negara dan regional. Terlebih, mengingat kedua aliansi Barat dan Rusia tengah berfokus pada krisis di Ukraina dan intensitas politik di Indo-Pasifik. Barat, sama seperti Rusia, tidak bisa menyelesaikan semua permasalahan yang ada di Afrika Barat, sehingga mereka sendirilah yang juga harus berupaya untuk kembali menunjukan kapasitas, kapabilitas, dan akuntabilitas kepada masyarakat dengan memenuhi kebutuhan mendasar rakyat.
Intervensi militer dari ECOWAS akan memperburuk situasi, dapat menciptakan konsekuensi tak terduga, dan mungkin tidak mampu membawa Presiden Bazoum kembali dengan cara yang paling cepat. Namun, solusi yang lebih kuat akan datang melalui negosiasi yang kokoh. ECOWAS yang secara dasarnya dibentuk untuk tujuan ekonomi bisa memainkan peran untuk meningkatkan kredibilitasnya, karena setelah kudeta yang berhasil terjadi di Burkina Faso, Guinea, Mali, sekarang warga negara di wilayah ECOWAS mempertanyakan efektivitas ECOWAS. Maka dari itu, memperkuat kekuatan demokratis, berinteraksi dengan berbagai mitra dan masyarakat, mengarahkan sebagian bantuan luar negeri untuk memperkuat berbagai mekanisme akuntabilitas akan menjadi fokus yang lebih tepat, dibandingkan intervensi militer.