Washington Mengkalibrasi Ulang Strategi di Asia
Para praktisi dan pengamat hubungan internasional telah lama menyatakan bahwa Asia adalah pusat baru geoekonomi global.[1] Apa yang menjadikan Asia sangat penting bagi dunia karena dua alasan sederhana. Pertama, Asia adalah rumah bagi lebih dari separuh populasi dunia, dan dua pertiga aktivitas ekonomi dunia berlangsung disini. Oleh karena itu, Asia adalah mesin pertumbuhan global. Kawasan ini juga menjadi tuan rumah bagi tujuh militer terbesar di dunia dalam bentangan geografisnya. Dengan demikian, Asia menjadi area kawasan yang diperebutkan pengaruhnya.[2]
Tidak seperti di Eropa, nasionalisme bukanlah hal yang tabu di Asia. Sebagian besar negara Asia telah memerdekakan diri terutama dalam tujuh dekade terakhir. Negara-negara di Asia sangat aspiratif dan sangat melindungi identitas mereka. Hasilnya adalah politik Asia menjadi dinamis dan bervariatif. Dengan demikian, selain geoekonomi, Asia juga merupakan teater geopolitik yang kritis. Salah satunya kebangkitan China semakin memperumit dinamika geopolitik ini.
Dengan adanya gejolak dalam geopolitik Asia baru-baru ini dampak dari kebangkitan China, membuat Amerika Serikat (AS) mengkalibrasi ulang sistem aliansi dan hubungan diplomasinya dan meningkatkan kemampuan terhadap sekutu regional dan negara mitra terpercayanya. Pada periode waktu yang lama, Beijing bungkam tentang ambisi kebangkitannya. Para pemimpin China secara implisit menjual gagasan kepada AS bahwa kebebasan politik akan menjadi konsekuensi alami dari reformasi ekonomi.[3] Yang mana hal ini merupakan impian bagi Washington untuk dapat menarik China mengikuti perkembangang ideologi demokrasi barat.
Pasca, jalinan komunikasi antara Nixon dan Mao pada tahun 1971, China diam-diam berpihak pada Washington untuk melawan Uni Soviet. Mantan negarawan China, Deng Xiaoping, tahu betul bahwa modal dan teknologi AS adalah solusi terbaik untuk transformasi ekonomi China. Dengan menjalin hubungan bersama Washington akan membawa jutaan rakyat China dari garis kemiskinan ke kelas menengah. [4]
Dalam retrospeksi, strategi ini membuahkan hasil yang baik. Modal Barat dan reformasi domestik China serta kecerdasan manufaktur mengubah China menjadi negara dengan kekuatan ekonomi yang fenomenal. Laju ekonomi China juga muncul sebagai peluang bagi aktor-aktor regional lainnya untuk mengembangkan ekonomi mereka. Institusi seperti ASEAN menjadi makmur di bawah manfaat kembar dari payung ekonomi China dan perlindungan keamanan AS. Keseimbangan pengaruh AS-China ini bertindak sebagai basis kemakmuran ekonomi regional.
Namun, seperti semua negara besar lainnya, Beijing sekarang berpikir bahwa waktunya telah tiba. China ingin mengubah kekuatan ekonominya menjadi kekuatan politik. Oleh karena itu, Washington mengkalibrasi ulang strategi Asia-nya dengan memperkuat jaringan pada sistem aliansinya dan mengembangkan kapabiltas kemampuan yang lebih besar kepada mitra regionalnya.
Pada tahun 1970-an, kekalahan Washington dalam Perang Vietnam mendorong banyak orang untuk mengusir AS dari Asia. Dimana, para praktisi menyatakan bahwa Perang Vietnam memaksa AS untuk mengubah strateginya di Asia dari onshore containment ke offshore balancing.[5] Sederhananya, Washington membuang gagasan intervensi langsung untuk mengejar pendekatan yang relatif lebih lepas tangan dalam mengamankan kepentingannya dan kepentingan sekutunya.
Proses offshore balancing di Kawasan Asia juga berarti bahwa jika ada konflik regional yang pecah dan mengancam posisi sekutu AS, Washington akan menggunakan kekuatan militernya dalam skenario seperti itu. [6]Tujuan utama dari strategi ini adalah untuk mencegah satu kekuatan tunggal mendominasi Asia. Selama tidak ada satu kekuatan pun yang mengancam kepentingan AS atau sekutunya, AS dengan senang hati mengambil pendekatan yang cenderung lepas tangan.
Namun, kebangkitan China dan ambisi eksplisitnya untuk menggantikan tatanan Asia yang dipimpin AS telah meruntuhkan premis keseimbangan regional yang lama. Oleh karena itu, Washington mengkalibrasi ulang pandangan strategisnya di Asia dengan memfasilitasi kerja sama yang lebih besar di antara anggoota dalam sistem aliansinya dan memberdayakan sekutu dan mitra regionalnya dengan kemampuan yang lebih besar.
Beberapa pihak berpendapat bahwa ketegasan China menunjukkan ketidaknyamanannya terhadap superioritas AS di Asia dan secara langsung berkaitan dengan persepsinya sebagai kekuatan yang berkuasa di kawasan ini.[7] Namun, ketegasan Cina juga telah menyebabkan kekhawatiran akan pecahnya konflik, yang kemungkinan besar tidak disengaja, mengingat atmosfer regional yang penuh dengan rasa saling curiga.[8]
Dalam hal ini, AS berusaha untuk mengkalibrasi ulang sistem aliansi hub-and-spokes tradisionalnya untuk melengkapi strategi penyeimbangan lepas pantainya yang lebih besar.[9] Namun, logikanya tetap sama: mencegah Asia yang didominasi oleh China, dengan kata lain, mengejar Asia yang multipolar. Sentimen ini juga bergema di kalangan sekutu dan mitra Amerika di seluruh kawasan.[10]
Reorientasi Amerika di Asia mencakup dua komponen utama yakni Pertama, memperkuat jariangan hubungan sekutu dan mitranya dengan memfasilitasi keterlibatan yang lebih besar di antara mereka. Kedua, meningkatkan kemampuan teknologi dan militer sekutu dan mitra regional.
Reorientasi semacam itu membuat peran sekutu dan mitra regional menjadi lebih relevan, mendesentralisasikan pembagian beban, dan menawarkan jeda sementara dari perhatian Amerika yang tersita di tempat lain.[11] Oleh karena itu, AS memainkan peran di belakang layar dalam memperbaiki pagar antara Jepang dan Korea Selatan,[12] membina kerja sama yang lebih besar antara Australia dan Jepang,[13] dan mendorong India untuk lebih banyak bekerja sama dengan Jepang dan Australia pada tingkat bilateral dan minilateral.[14] Pengaturan Quad antara AS-Jepang-India-Australia adalah inisiatif lain untuk menciptakan pengaturan regional yang fleksibel di Asia, menstabilkan tatanan regional selama periode perubahan geopolitik yang mendalam.[15]
Sisi lain dari inisiatif semacam itu adalah kesediaan yang lebih besar dari sekutu dan mitra regional Amerika untuk memikul tanggung jawab atas keamanan dan stabilitas regional mereka sendiri. Sebagai contoh, pengaturan AUKUS – Washington dan London memasok kapal selam bertenaga nuklir ke Canberra – menunjukkan adanya pelimpahan kemampuan yang lebih besar.[16] AUKUS juga menunjukkan keinginan yang lebih besar di kawasan ini untuk mengambil lebih banyak tanggung jawab atas keamanan regional. Oleh karena itu, kita tidak perlu terkejut melihat lebih banyak perkembangan seperti itu dalam jangka menengah. Sebagai permulaan, kerja sama pertahanan yang berkembang antara New Delhi dan Washington lebih jauh menunjukkan lanskap Asia yang berubah.
[1]McKinsey & Company, Why the future is Asian, 24 Mei 2019,https://www.mckinsey.com/featured-insights/asia-pacific/why-the-future-is-asian
[2] Khanna, P. (2019). The future is Asian. Simon and Schuster.
[3] Fukuyama, F. (2006). The end of history and the last man. Simon and Schuster.
[4] Vogel, E. F. (2011). Deng Xiaoping and the transformation of China (Vol. 10). Cambridge, MA: Belknap Press of Harvard University Press.
[5]Michael J.Green & Jude Blanchette, Balance of Power in Southeast Asia, CSIS, 3 Januari 2023 https://www.csis.org/podcasts/asia-chessboard/balance-power-southeast-asia
[6]Stephen M.Walt, Strategy for Winning Cold Wars, Foreign Policy, 5 Mei 2020, https://foreignpolicy.com/2020/05/05/offshore-balancing-cold-war-china-us-grand-strategy/
[7] Kurt Campbell, The Biden Admnistration’s Indo-Pacific Strategy with Kurt Campbell, Center for a New America Security, 30 Maret 2023 https://www.youtube.com/watch?v=58Slr60lo1o
[8]Minxin Pei, China and the US risk accidental war over Taiwan, Nikkei Asia, 29 Oktober 2020, https://asia.nikkei.com/Opinion/China-and-the-US-risk-accidental-war-over-Taiwan
[9] National University of Singapore, ISAS Panel Discussion: “ The Ukraine War and its Geopolitical Implications for Asia”, 28 April 2023, https://www.isas.nus.edu.sg/highlights/isas-panel-discussion-the-ukraine-war-and-its-geopolitical-implications-for-asia/
[10] Yasuhiro Izumikawa; Network Connections and the Emergence of the Hub-and-Spokes Alliance System in East Asia. International Security 2020; 45 (2): 7–50
[11] Elbridge Colby & Oriana Skylar Mastro, Ukraine Is a Distraction From Taiwan, Wall Street Journal, 13 Februari 2022, https://www.wsj.com/articles/ukraine-is-a-distraction-from-taiwan-russia-china-nato-global-powers-military-invasion-jinping-biden-putin-europe-11644781247
[12] Steven Borowiec, Japan, South Korea, U.S. to tighten trade and defense ties, Asia Nikkei19 Mei 2023, https://asia.nikkei.com/Spotlight/G-7-in-Japan/Japan-South-Korea-U.S.-to-tighten-trade-and-defense-ties
[13] Japan Times, Japan and Australia committed to stronger ties to counter China, 26 Desemebr 2022, https://www.japantimes.co.jp/news/2022/12/26/national/japan-australia-ties/
[14]ANU National Security College, India Strategic direction with Dr C Raja Mohan, National Security Podcast, https://podcasts.apple.com/gb/podcast/indias-strategic-direction-with-dr-c-raja-mohan/id1395131021?i=1000583259987
[15] Rajiv Bhatia, The importance of Quad meeting amidst current geopolitical flux, Indian Express, 24 September 2021, https://indianexpress.com/article/opinion/columns/the-importance-of-quad-meeting-amidst-current-geopolitical-flux-7528206/
[16] Stephen M.Walt, The AUKUS Dominoes Are Just Starting to Fall, Foreign Policy, 18 September 2021, https://foreignpolicy.com/2021/09/18/aukus-australia-united-states-submarines-china-really-means/