World Health Organization (WHO) memperingatkan tentang “risiko biologis yang sangat besar” setelah para pejuang Sudan merebut Laboratorium Kesehatan Masyarakat Nasional di ibu kota Sudan, Khartoum. Hal ini terjadi setelah beberapa hari kontak senjata terjadi, hasilnya, negara-negara asing berlomba untuk melakukan upaya evakuasi cepat dari negara itu dan kekerasan merusak gencatan senjata yang ditengahi AS.
Beberapa jam setelah diumumkannya gencatan senjata 72 jam yang memberikan harapan dibukanya jalur evakuasi, bentrokan hebat meletus antara militer Sudan dan Pasukan Pendukung Cepat atau Rapid Support Forces (RSF), kelompok paramiliter yang memerangi tentara untuk menguasai negara itu, di bagian utara negara bagian Khartoum. Hal ini terjadi ketika kedua belah pihak yang bertikai saling menuduh telah melanggar perjanjian.
Selama pertempuran, RSF dan militer Sudan telah mengeluarkan pernyataan yang mendiskreditkan satu sama lain, dengan klaim yang tidak berdasar atas kendali mereka atas pos-pos utama ibu kota dan tuduhan masing-masing pihak menargetkan warga sipil. Jumlah orang yang tewas di Sudan sejak kekerasan pecah sekitar dua minggu lalu telah mencapai setidaknya 459 kematian, dan dilansir dari WHO, dikatakan bahwa sedikitnya 4.072 orang terluka akibat kontak senjata itu.
Dilansir dari CNN, dikatakan bahwa sebuah laboratorium yang berisi sampel penyakit dan bahan biologis lainnya, telah diambil alih oleh pasukan RSF. WHO tidak menyalahkan penyitaan laboratorium tetapi mengatakan teknisi medis tidak lagi memiliki akses ke fasilitas tersebut.
Nima Saeed Abid, perwakilan WHO di Sudan, menggambarkan perkembangan tersebut sebagai “sangat berbahaya karena kami memiliki isolat polio di laboratorium, kami memiliki isolat campak di laboratorium, kami memiliki isolat kolera di laboratorium.” Sehingga “ada risiko biologis yang sangat besar terkait dengan pendudukan laboratorium kesehatan masyarakat pusat di Khartoum oleh salah satu pihak yang bertikai,” tambahnya.
WHO mengatakan dalam sebuah pernyataan bahwa “teknisi laboratorium terlatih tidak lagi memiliki akses ke laboratorium” dan bahwa fasilitas tersebut telah mengalami pemadaman listrik, yang berarti “tidak mungkin untuk mengelola bahan biologis yang disimpan di laboratorium dengan benar untuk kepentingan medis.”
Pemadaman listrik juga berarti ada risiko pembusukan karena menipisnya stok kantong darah, menurut direktur jenderal laboratorium. Sumber medis mengatakan kepada CNN bahwa “bahayanya terletak pada pecahnya konfrontasi bersenjata di laboratorium karena itu akan mengubah laboratorium menjadi bom kuman.”
Untuk itu, pihak Sudan menyatakan bahwa perlu adanya intervensi internasional yang mendesak dan cepat diperlukan untuk memulihkan listrik dan mengamankan laboratorium dari konfrontasi bersenjata apa pun karena kita menghadapi bahaya biologis yang nyata. Tetapi, sampai saat ini masih banyak pihak yang berfokus pada evakuasi masyarakat sipil.
Inggris, Prancis, Korea Selatan, dan sejumlah negara lain mengonfirmasi bahwa mereka tengah berusaha menarik warga negaranya setelah Menteri Luar Negeri AS Antony Blinken mengumumkan bahwa gencatan senjata tiga hari telah disepakati.
Sampai saat ini, tiga kapal perang AS tengah dikerahkan di lepas pantai Sudan. Seorang pejabat Angkatan Laut mengatakan kepada CNN bahwa AS mengirim USNS Brunswick ke Sudan, satu hari setelah Pentagon mengatakan USS Truxton sudah berada di lepas pantai negara itu dan USS Lewis B. Puller sedang dalam perjalanan.
Sudan telah dilanda kekerasan sejak perebutan kekuasaan berdarah antara dua jenderal yang bersaing tumpah ke jalan-jalan, dengan pasukan yang setia kepada setiap orang terlibat dalam pertempuran di jalan-jalan Khartoum dan di kota-kota di sekitar ibu kota.