Ancaman Senjata Nuklir Korea Utara: Peran Korea Selatan dan Strategi Pencegahan

Ancaman nuklir Korea Utara meningkat dari hari ke hari, menjadikan ancaman keamanan bagi Kawasan Asia Timur khususnya bagi Korea Selatan semakin genting. Setelah gagal secara ekonomi dan hanya memiliki senjata nuklir, Korea Utara dapat menyerang Korea Selatan dalam serangan mendadak kapan saja. Dalam keadaan seperti itu, patut dipertanyakan apakah Amerika Serikat (AS) akan secara aktif melakukan intervensi dan mendukung Korea Selatan dengan senjata nuklirnya. Mengingat dalam hubungan internasional bahwa senjata nuklir hanya dapat dihalangi oleh senjata nuklir.
Pemerintah Korea Selatan mengatakan bahwa mereka akan menanggapi ancaman nuklir Korea Utara dengan membentuk “Three Axis” yang terdiri dari “kill chain” di mana Korea Selatan secara prefentif mendeteksi tanda-tanda serangan Korea Utara yang akan segera terjadi; sebuah ‘Korea Air and Missile Defense’ (KAMD) di mana Korea Selatan melindungi diri dari rudal Korea Utara; dan Korea Massive Punishment and Retaliation (KMPR) di mana Korea Selatan melakukan pembalasan besar-besaran terhadap Korea Utara jika menyerang Korea Selatan.[1] Semua tindakan ini, bagaimanapun, didasarkan pada kekuatan militer konvensional dan menimbulkan pertanyaan tentang apakah Korea Selatan dapat melawan ancaman nuklir Korea Utara. Artinya, belum bisa dipastikan apakah sistem “Three Axis” yang ditempuh Korea Selatan cukup untuk melawan ancaman nuklir Korea Utara. Untuk mengimbangi ini, AS telah memutuskan untuk menerapkan konsep extended detterence lebih konkret ke Korea Selatan. Dimana konsep extended detterence adalah komitmen untuk mencegah dan, jika perlu, untuk merespons di seluruh spektrum skenario nuklir dan non-nuklir potensial untuk membela sekutu dan mitra AS.[2] Namun tidak jelas bagaimana sistem Three Axis Korea Selatan dan penangkalan yang diperluas AS saling berhubungan dan saling melengkapi.
Meskipun Korea Selatan percaya pada komitmen keamanan AS dan bentuk strategi extended deterrence terhadap Korea Selatan, Korea Selatan tidak dapat diyakinkan karena kebijakan AS sering berubah dari administrasi ke administrasi. Pada tahun 1969, Presiden Nixon menguraikan doktrinnya di Guam,[3] dengan mengatakan “.. sejauh menyangkut masalah keamanan dalam negeri, sejauh masalah pertahanan militer, kecuali ancaman kekuatan besar yang melibatkan senjata nuklir, yang akan didorong oleh Amerika Serikat dan memiliki hak untuk berharap bahwa masalah ini akan semakin ditangani oleh, dan tanggung jawab untuk itu diambil oleh, negara-negara Asia sendiri.” Hal ini diikuti oleh penarikan Divisi 7 Pasukan AS di Korea pada tahun 1971.[4] Sekitar waktu inilah Korea Selatan mulai mengejar pertahanan mandiri dan pengembangan senjata nuklir dalam negeri. Presiden Carter juga mendorong penarikan pasukan AS dari Korea Selatan.[5]
Diperkirakan bahwa Korea Utara saat ini memiliki setidaknya 30 hingga 60 senjata nuklir.[6] Untuk melindungi Korea Selatan dan pasukan AS di negara itu, AS harus mempertimbangkan untuk menyebarkan setidaknya beberapa lusin senjata nuklir taktis dari 130 di antaranya yang disimpan di daratan AS ke Semenanjung Korea. Hal ini sesuai dengan konsep extended detterence. Amerika Serikat saat ini menyebarkan sekitar 100 senjata nuklir di Eropa, dan memiliki sistem Berbagi Nuklir dengan Belgia, Jerman, Italia, Belanda, dan Turki,[7] yang memungkinkan negara-negara ini untuk berpartisipasi dalam perencanaan NATO untuk penggunaan senjata nuklir dan membawa AS senjata nuklir di pesawat mereka dalam kasus kontingensi.[8] Sulit dipahami mengapa kasus di Semenanjung Korea berbeda dengan kasus di Eropa.
Untuk kepentingan nasionalnya, Korea Selatan harus meninjau apakah konsep extended detterence AS berfungsi dengan baik, apakah Korea Selatan memiliki kapabilitas untuk melacak aktivitas Korea Utara secara real time. Namun, sepertinya kemampuan ini belum dimiliki secara presisi oleh Korea Selatan. Untuk merespons dengan baik dalam keadaan seperti itu, Korea Selatan perlu berkonsultasi dan melaksanakan extended deterrence.
Ketika Korea Utara menunjukkan tanda-tanda provokasi serius, Amerika Serikat akan mengerahkan aset strategis seperti pembom strategis B-52, pesawat tempur siluman F-35, dan kapal selam nuklir yang berbasis di Guam, Hawaii, dan Jepang di dekat Semenanjung Korea. Tidak diketahui apakah Amerika Serikat sedang berkonsultasi dengan pemerintah Korea Selatan tentang penyebaran aset strategis. Ini sangat berbeda dengan kasus di Eropa. Di Eropa, Nuclear Planning Group (NPG) didirikan untuk membahas dan berbagi rencana operasi, tujuan, dan proses penggunaan senjata nuklir.[9]
Mengingat efek dari ledakan senjata nuklir menyebabkan kerusakan jangka panjang terhadap kesehatan manusia, terhadap lingkungan, infrastruktur, pembangunan sosial ekonomi dan tatanan sosial,[10] terutama dampak radioaktif yang dibawa melawan arah angin, tidak dapat ditahan di dalam batas-batas negara.[11] Sehingga hal ini mendorong terjadinya security dilemma bagi Indonesia bahwa konsekuensi dari peningkatan eskalasi senjata nuklir dan kapabilitas militer Korea Selatan maka Indonesia harus menjaga keamanan dan kelangsungan hidupnya sendiri untuk mengantisipasi dampak senjata nuklir tersebut.
Untuk pelaksanaan extended deterrence harus ada rencana konkret tentang bagaimana senjata nuklir akan digunakan untuk dalam keadaan apa. Tidak jelas apakah Amerika Serikat memiliki rencana seperti itu. Korea Selatan dan Amerika Serikat harus membahas prosedur di mana penggunaan senjata nuklir akan diputuskan dan dilaksanakan, mengingat dampak daripada penggunaan senjata nuklir tersebut terhadap negara-negara kawasan. Indonesia salah satu negara yang akan terdampak penggunaan senjata nuklir sehingga Indonesia perlu mempersiapkan strategi, baik jangka pendek maupun jangka panjang.
[1] Ji-hye, S. (2022, July 6). Military to establish ‘strategic command’ by 2024 to control three-axis system. The Korea Herald. https://www.koreaherald.com/view.php?ud=20220706000804
[2] Air Force Doctrine Publication (AFPD) 3-72 Nuclear Operations. (2020). U.S. Air Force Doctrine. https://www.doctrine.af.mil/Portals/61/documents/AFDP_3-72/3-72-D12-NUKE-OPS-Extended-Deterrence.pdf
[3] White, H. (2019, July 25). A very unreassuring bombshell: Richard Nixon and the Guam doctrine, July 1969. The Strategist. https://www.aspistrategist.org.au/a-very-unreassuring-bombshell-richard-nixon-and-the-guam-doctrine-july-1969/
[4] Levkowitz, A. (2008). The seventh withdrawal: Has the US forces’ journey back home from Korea begun? International Relations of the Asia-Pacific, 8(2), 131-148. https://doi.org/10.1093/irap/lcn004
[5] Oberdofer, D. (1977, June 12). The Washington Post. https://www.washingtonpost.com/archive/politics/1977/06/12/carters-decision-on-korea-traced-back-to-january-1975/d21ffe33-35ae-4ef9-bcac-25b8fc999559/
[6] Herskovitz, J. (2022, November 3). Bloomberg. Bloomberg – Are you a robot?. https://www.bloomberg.com/news/articles/2022-11-03/how-kim-jong-un-keeps-advancing-his-nuclear-program-quicktake
[7] United States nuclear weapons in Europe. (2022, March 9). -. https://cnduk.org/resources/united-states-nuclear-weapons-europe/
[8] Belgium, Germany question U.S. tactical nuclear weapons in Europe. (n.d.). Arms Control Association | The authoritative source on arms control since 1971. https://www.armscontrol.org/act/2005-06/belgium-germany-question-us-tactical-nuclear-weapons-europe
[9] NATO. (2022, July 6). Nuclear planning group (NPG). https://www.nato.int/cps/en/natohq/topics_50069.htm
[10] Article 36. (2015). Economic impacts of a nuclear weapon detonation (March). https://article36.org/wp-content/uploads/2015/08/Economic-impact.pdf
[11] McKinzie, M., Polreich, E., Arnold, D., Maurer, C., & Wotawa, G. (2014, December 8). Calculating the Effects of a Nuclear Explosion at a European Military Base. Startseite – BMEIA, Außenministerium Österreich. https://www.bmeia.gv.at/fileadmin/user_upload/Zentrale/Aussenpolitik/Abruestung/HINW14/Presentations/HINW14_S1_Presentation_NRDC_ZAMG.pdf