China Akan Mempercepat Konsultasi COC: Angin Segar Upaya Penyelesaian Konflik LCS?
Dampak dari sengketa LCS jelas berpengaruh terhadap stabilitas politik dan keamanan di Asia Tenggara. Upaya penyelesaian pun dilakukan dengan pembentukan COC, namun hal ini menjadi kendala ketika mendapat tentangan dari China.
Wang Yi: China akan mempercepat konsultasi COC di Laut China Selatan
Penasihat Negara dan Menteri Luar negeri China, Wang Yi mengatakan China akan mempercepat konsultasi tentang Kode Etik Code of Conduct (COC) untuk Laut China Selatan dan bekerja sama dengan semua pemangku kepentingan dalam menciptakan laut perdamaian dan kerja sama. Hal ini disampaikan pada saat pertemuan bilateral dengan Menteri Luar negeri Malaysia Datuk Seri Saifuddin Abbdullah pada Rabu (13/07), Wang Yi mengatakan kedua belah pihak sepakat untuk menjaga perdamaian dan stabilitas di kawasan itu melalui consensus politik.
“Kami akan menjunjung tinggi sentralitas ASEAN dan kerangka Kerjasama regional ASEAN. Kami akan menentang konfrontasi dan mentalitas perang dingin” janjinya.
Wang Yi sendiri sedang dalam kunjungan resmi ke Malaysia yang merupakan perhentian terakhir dari tur lima negara di ASEAN, Adapun empat negara lainnya adalah Myanmar, Thailand, Filipina dan Indonesia.
Kode Etik COC dimaksudkan untuk mengurangi risiko konflik di Laut China Selatan di jalur perairan yang disengketakan di mana klaim maritim dan teritorial China yang luas berbenturan dengan empat negara anggota ASEAN: Vietnam, Malaysia, Filipina, dan Brunei. COC telah menjadi agenda abadi bagi China dan ASEAN sejak pergantian abad, tetapi realisasinya masih jauh, meskipun beberapa prediksi bahwa Kamboja, Ketua ASEAN saat ini merupakan teman dekat dan mitra China, mungkin akan menggunakan kepemimpinannya untuk mendorong COC melewati garis finish.
Dengan latar belakang kemajuan glasial ini, adalah bodoh untuk melihat komentar Wang sebagai apa pun selain upaya untuk mengulur waktu sementara kekuatan angkatan laut China yang terus berkembang sebagai fakta di lapangan di bagian-bagian yang disengketakan di Laut China Selatan. Tetapi fokus yang terus-menerus pada COC mencerminkan dorongan Beijing yang lebih luas bagi negara-negara Asia Tenggara untuk melihat intervensi Barat pada sengketa Laut China Selatan sebagai intervensi kekuatan luar. Ini juga mencerminkan pesan China yang lebih luas, yang telah digarisbawahi sejak awal pandemi COVID-19, pesan yang kontras dengan kedekatan Beijing dan keterlibatan terus-menerus di Asia Tenggara dengan sifat keterlibatan AS yang sekilas, episodik, dan diduga tidak stabil.
Misalnya, selama pembicaraannya dengan Saifuddin, Wang Yi mengatakan bahwa dia merasakan “kebutuhan yang sangat mendesak dan prospek cerah untuk peningkatan kerja sama antara China dan ASEAN,” Wang Yi menambahkan, “Rakyat China dan negara-negara ASEAN telah berinteraksi dalam bagian ini, tanah dengan satu sama lain selama lebih dari ribuan tahun dan tidak ada yang bisa memisahkan ini. Tidak ada yang bisa menghentikan kita untuk bergerak menuju pembangunan dan multilateralisme.”
Wang Yi membuat pernyataan serupa selama kunjungannya di Indonesia, ketika dia mengatakan bahwa negara-negara Asia Tenggara harus menghindari “digunakan sebagai bidak catur dalam persaingan kekuatan besar dan dari paksaan.” Dia menambahkan, “Masa depan wilayah kita harus ada di tangan kita sendiri.”
Komentar ini berisi lebih dari sekedar pidato yang diberikan oleh pemimpin tertinggi China, Xi Jinping pada tahun 2014, ketika dia menyerukan “rakyat Asia untuk menegakkan keamanan Asia.” Sementara pidato tersebut telah menjadi subyek berbagai interpretasi, dan beberapa mempertanyakan apakah itu mewakili seruan aktif Beijing agar AS diusir dari Asia Timur, itu tentu saja mencerminkan keinginan untuk meminimalkan pengaruh Washington, dan melukisnya sebagai “luar”. kekuasaan. Sayangnya bagi AS, pesan tersebut bersifat tidak fokus dan tersebar dari keterlibatan Amerika baru-baru ini dengan Asia Tenggara.
Sebelumnya ASEAN telah memiliki dokumen terkait penanganan masalah keamanan yakni adalah The Zone of Peace, Freedom and Neutrality (ZOPFAN) dan Treaty of Amity and Cooperation (TAC). Dalam ZOPFAN, negara-negara diminta sepakat untuk menerima berbagai langkah dan sikap untuk saling menahan diri. Dalam TAC, negara-negara diminta untuk menyelesaikan masalah dengan cara damai. Untuk sengketa LTS, dokumen yang juga penting adalah Declaration on the Conduct (DOC), yang dideklarasikan tahun 2002. Namun DOC tidak mengikat karena hanya berbentuk deklarasi. Bentuk deklarasi hanya semacam statemen politik. Dalam pembicaraan mengenai DOC, bentuk deklarasi tersebut merupakan hasil kompromi, di mana sebelumnya Vietnam menginginkan bentuk kode dan Malaysia keberatan dengan bentuk kode tersebut. Bentuk kode akan membuat persetujuan tersebut legal dan mengikat. Namun, atas desakan Vietnam, DOC tersebut kemungkinan akan terus dibicarakan untuk menjadi kode.
DOC yang telah ditandatangani oleh sepuluh negara ASEAN dan Tiongkok berisi beberapa pokok statemen, diantaranya bahwa pihak- pihak penandatangan mesti berkomitmen terhadap Piagam Charter PBB, UNCLOS 1982, TAC, dan Lima Prinsip Hidup Secara Damai; menyelesaikan masalah dengan damai tanpa kekerasan melalui konsultasi dan negosiasi bersahabat; menahan diri dari tindakan- tindakan yang dapat meningkatkan eskalasi konflik, termasuk menambah kehadiran wilayah sengketa.
Namun dalam pelakasaan menghadapi konflik LCS, persetujuan yang berbentuk deklarasi tersebut kurang dipatuhi. Terbukti, berkali-kali terjadi insiden yang melibatkan dua negara anggota ASEAN, yaitu Vietnam dan Filipina. Insiden di wilayah sengketa itu melanggar deklarasi, terutama poin tanpa kekerasan dan tindakan-tindakan yang dapat meningkatkan eskalasi konflik. Sementara DOC yang bersifat longgar itu sering tidak dipatuhi, kini mulai dibahas COC.
Code of Conduct: Jawaban penyelesaian Konflik di Laut China Selatan?
COC merupakan persetujuan yang bersifat legal dan mengikat. Beberapa pasal, seperti pasal tentang tujuan (dalam pasal 2) dan dasar ketentuan hampir mirip dengan isi DOC (pasal 3). Poin-poin krusial dalam COC menyebutkan tentang prosedur dan aturan untuk menuntaskan insiden (pasal 6 ayat 2) serta mekanisme penyelesaian sengketa (pasal 8). Dalam Draf Nol COC juga disebutkan, COC tidak boleh digunakan untuk menolak klaim pihak lain untuk memperkuat klaim suatu negara di wilayah yang disengketakan (pasal 5). Selain itu, COC juga memerinci pelarangan seperti dilarang mengarahkan senjata atau peluncur peluru kendali ke arah pihak lain, kecepatan kapal dan jarak aman antarkapal, serta bagaimana dan apa tahapan yang perlu dilakukan bila ada kapal suatu negara yang rusak di perairan sengketa (pasal 6).
Negara-negara ASEAN tidak ingin COC menganggu atau menghambat kepentingan mereka. Tapi setiap negara juga berkepentingan agar insiden di Laut China Selatan (LCS) tidak terulang terus menerus. Dalam COC, sesuai sifatnya yang formal dan legal, dicantumkan bahwa semua pihak harus secara ketat mematuhi upaya mendorong rasa saling percaya dan pencegahan insiden (Acharya, 2009). Di dalamnya termasuk negara-negara harus menahan diri untuk tidak menggelar latihan militer di sekitar wilayah sengketa atau aksi provokasi lain yang bisa menimbulkan ancaman bagi negara lain, juga dilarang membangun pulau yang disengketakan. Oleh karena itu, meskipun ada perbedaan pendapat, tidak ada negara yang menolak Draf Nol yang diajukan Indonesia. Semua sepakat bahwa Draf Nol akan menjadi rujukan dalam pembahasan mengenai COC selanjutnya.
Masa Depan Laut China Selatan dan keamanan regional ASEAN
LCS sampai saat ini masih menjadi titik hotspot geopolitik dunia menjadikan perlunya suatu akomodasi penyelesaian konflik di LCS secara lebih dalam. Dalam akomodasi-akomodasi yang dilakukan ASEAN itulah terjadi perbedaan sikap negara. Perbedaan sikap negara anggota ASEAN yang sangat beragam berimplikasi pada syarat-syarat utama yang mesti dipenuhi untuk menuju pada cita-cita komunitas keamanan. Pertama, gagalnya para pembuat kebijakan dua unit politik atau lebih dan masyarakat pada umumnya untuk berhenti merenungkan kemungkinan perang bersama. Kedua, alokasi dan modernisasi kemampuan militer terus meningkat, sehingga menimbulkan perlombaan senjata. Ketiga, muncul ketidakpatuhan terhadap aturan-aturan dan perjanjian dalam DOC, yang berakibat memperlambat terbentuknya aturan yang lebih mengikat dan legal seperti COC.
Kemudian, kondisi di atas berimplikasi pada rencana aksi yang disusun ASEAN untuk menuju Komunitas Keamanan ASEAN. Setidaknya ada tiga dasar penting yang terhambat dalam ASEAN Security Community Plan of Action. Pertama, perbedaan sikap itu mengarah pada gangguan penyebaran norma-norma ASEAN, seperti prinsip tidak memihak, tidak menggunakan kekerasan, dan tidak saling mengancam menggunakan kekuatan militer. Kedua, perilaku yang ditunjukkan beberapa negara mengganggu upaya mekanisme pencegahan konflik agar semua pihak menahan diri dari segala bentuk kekerasan. Ketiga, perbedaan sikap tersebut menyulitkan ASEAN untuk membentuk mekanisme penyelesaian konflik yang jelas dan mengikat untuk memperkuat kepercayaan di antara negara-negara ASEAN.
Kompleksitas kerja sama kawasan untuk memelihara stabilitas dan keamanan di Laut Cina Selatan dipersulit dengan lemahnya norma dan hukum internasional yang tertuang di dalam COC. ASEAN tampak belum mempunyai kapasitas untuk mengambil peran kolektif sebagai pemelihara stabilitas keamanan regional. Perbedaan persepsi strategis terhadap Laut Cina Selatan menjadikan kawasan ini sebagai medan persaingan di dalam keanggotaan organisasi dan pertarungan antara Amerika Serikat dan Cina serta bagaimana upaya keduanya untuk memenangkan persaingan pengaruh kepada negara-negara anggota ASEAN.
Oleh karena itu, dapat disimpulkan bahwa, dengan adanya pernyataan Wang Yi terkait China akan mempercepat proses pembahasan COC akan membuka peluang baru dalam terbentuknya penyelesaian konflik LCS yang sudah menjadi tekad bersama untuk solusi damai Komunitas Keamanan ASEAN. Sehingga ASEAN dapat mengambil kebijakan kolektif dalam merespons sengketa Laut Cina Selatan. Bilamana keberadaan COC bisa diterapkan maka agenda integrasi ASEAN yang menjunjung tinggi otonomi organisasi dengan cara memelihara hubungannya dengan kekuatan eksternal dan mempertahankan netralitasnya secara kolektif menjadi tantangan terbesar ASEAN untuk mewujudkan integrasi yang solid demi memelihara stabilitas politik-keamanan dan perdamaian kawasan.