Proyek Global Gateway Milik Eropa: Cara Baru Untuk Menandingi Pengaruh China Di Afrika?
Pada awal Desember, Komisi Eropa mengumumkan rencana untuk menginvestasikan 300 miliar euro ($340 miliar dolar Amerika Serikat) secara global lewat proyek Global Gateway. Proyek ini akan berinvestasi di bidang infrastruktur, digital, dan iklim yang diperkirakan sebagai alternatif dari Belt and Road Initiative milik China. Uni Eropa (UE) menekankan pendanaan yang “berdasarkan nilai-nilai seperti transparansi, penghormatan terhadap hukum dan kondisi kerja lokal,” yang berusaha menandingi pinjaman dana yang ditawarkan China.[1]
Proyek ini lahir dari kesepakatan yang dicapai pada Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) Group of Seven sebagai inisiatif untuk membangun infrastruktur global yang dicetuskan oleh Amerika Serikat (AS) sebagai Build Back Better World. Proyek ini bertujuan untuk mempersempit kesenjangan antara negara utara dan selatan. Kesenjangan investasi infrastruktur antara negara utara dan selatan mencapai $2,7 triliun sebelum pandemi, menurut perkiraan Bank Dunia.[2] Tentu dengan dilandanya dunia oleh Covid-19, kesenjangan ini menjadi lebih lebar lagi.
Menurut Kepala Komisi Eropa Ursula von der Lyeyen, UE lewat Global Gateway akan berusaha memastikan masyarakat lokal mendapat manfaat dari proyek infrastruktur dengan membawa serta sektor swasta yang disebut juga sebagai “alternatif sejati” dari program yang China jalankan sejak tahun 2013.[3] Brussels berharap untuk fokus pada perbedaan antara cara Cina dan Eropa melakukan bisnis, dimulai dengan sifat pendanaan. “Di pihak China, struktur pendanaan sebagian besar berasal dari pinjaman, sedangkan program Eropa akan bergantung pada investasi sektor publik dan swasta,” tutur Francesca Ghiretti, dalam sebuah wawancara dengan France 24.[4]
Proyek Global Gateway ini akan menawarkan bantuan dalam bentuk hibah, pinjaman, dan jaminan yang akan berasal dari lembaga kawasan, pemerintah, UE, dan juga bank pembangunan nasional. Mereka juga mengandalkan persyaratan yang menguntungkan semua pihak dan meninggalkan negara dunia ketiga dari jebakan utang.[5] Untuk membiayai proyek tersebut, UE akan menggunakan Dana Eropa untuk Pembangunan Berkelanjutan Plus. Program ini menyediakan 40 miliar euro dalam kapasitas jaminan dan menawarkan hibah hingga 18 miliar euro dari program bantuan eksternal. [6]
Lebih spesifik lagi, proyek ini akan berfokus pada infrastruktur fisik yang ramah lingkungan. Diantaranya adalah kabel serat optik, koridor transportasi dan jalur transmisi listrik untuk memperkuat jaringan digital, transportasi dan energi. Untuk UE sendiri, keuntungan yang berusaha didapatkan adalah pencapaian kepentingannya dan memperkuat rantai pasokannya.
China sendiri meluncurkan proyek Belt and Road Initiative sejak tahun 2013 untuk meningkatkan hubungan perdagangan dengan seluruh dunia dan telah menghabiskan banyak uang untuk pengembangan infrastruktur secara global. Namun para pejabat UE mengatakan pembiayaan yang ditawarkan oleh Beijing seringkali tidak menguntungkan, tidak transparan, dan membuat beberapa negara miskin. Terutama negara-negara di Afrika yang saat ini bergantung pada China melalui utang.[8]
Hal ini terlihat dari bagaimana fenomena ”debt trap” terjadi diberbagai negara selatan. Sri Lanka merupakan contoh nyata dari skema proyek China. Ketidakmampuan Sri Lanka dalam membayar utang akhirnya membuatnnya menyerahkan saham dan sewa pelabuhannya selama 99 tahun kepada perusahaan China.
Berbicara mengenai negara dunia ketiga, China memiliki fokus untuk menginvestasikan dana lewat berabagai pembangunan infrastukturnya di benua Afrika. Sampai saat ini, hanya ada lima negara Afrika—Eritrea, Benin, Mali, Sao Tome, serta Principe dan Eswatini —yang belum menandatangani MoU atau dukungan. Namun, China terus mendorong kehadirannya di negara-negara ini tanpa terpengaruh.[9] Hal ini memperlihatkan bahwa hampir seluruh negara di Afrika telah berpartisipasi dalam kepentingan politik China lewat proyek BRI.
Proyek UE yang menjadi sebuah alternatif bagi BRI merupakan sebuah proyek yang sangat terlambat. China telah memulai proyeknya lebih dari 8 tahun lalu dan berjalan dengan cukup baik sampai saat ini. Di sisi lain, program BRI memiliki implikasi yang meresahkan bagi keberlanjutan utang. Menurut Johns Hopkins China Africa Research Initiative, negara-negara Afrika Timur meminjam sekitar $29 miliar dari China untuk pengembangan.[10]
Tentu, menghindari utang yang ditawarkan China menjadi sebuah pertimbangan bagi banyak negara khususnya dengan penghasilan yang rendah. Namun, banyak dari negara-negara di Afrika telah menandatangani kesepakatan kerja sama dengan China. Dari segi geopolitik, Global Gateway berusaha menjadi lawan dari proyek BRI dengan tujuan yang sama: memperluas pengaruh dan mempererat kekuatan politik diantaranya agar tidak menjadi sekutu dari proyek lawannya. Keunggulan dari proyek UE sendiri adalah skema yang berbeda dengan menekankan sisi ramah lingkungan yang sesuai dengan kesepakatan di COP26.
Pertemuan G7 yang menjadi inisiasi proyek ini sendiri juga tentu memiliki tujuan untuk menyeimbangkan pengaruh China di konstelasi global dengan menggunakan konsep smart power. Konsep balance of power menunjukan bahwa negara-negara—walaupun kali ini adalah institusi transnasional yaitu UE—berusaha meningkatkan kemampuan relatif antara dirinya dan lawan. Meyakini konsep Kenneth Waltz bahwa sistem internasional tidak memiliki otoritas tertinggi, membuat negara-negara berlomba untuk mengejar kepentingan dan menyeimbangkan kekuatan lawan. Walaupun, UE sendiri dinilai sangat terlambat untuk menyusul ataupun menjadi alternatif dari sebuah proyek yang telah berjalan cukup lama.
Benua Afrika yang saat ini didominasi negara-negara berkembang tentu menjadi target aliansi dan juga proyek-proyek transnasional. Kali ini, China memiliki tandingan di wilayah kawasan tersebut. Sesuai dengan kesepakatan COP26 bahwa dunia akan mengganti berbagai infrastruktur untuk lebih ramah lingkungan, UE memiliki harapan untuk menandingi China di tahun 2027 dengan menggunakan smart power-nya ditambah dengan kondisi pandemi yang terjadi. Perekonomian dunia yang kacau akibat virus corona ini mempengaruhi ekonomi global. Ketidakmampuan negara-negara untuk bertahan ditambah utang pada China dapat menjadi celah bagi UE untuk memainkan perannya sebagai kekuatan politik besar.
[1] Sebastian Seibt, “With its ‘Global Gateway’, EU tries to compete with China’s Belt and Road Initiative”, France 24, 3 Desember 2021, https://www.france24.com/en/europe/20211203-with-its-global-gateway-eu-tries-to-compete-with-the-china-s-belt-and-road
[2] Anna Cooban, “Europe unveils its $340 billion answer to China’s Belt and Road infrastructure initiative”, CNN Business, 1 Desember 2021, https://edition.cnn.com/2021/12/01/business/global-gateway-eu-china-belt-road/index.html
[3] Jan Strupczewski, “EU unveils 300 billion euro answer to China’s Belt and Road”, Reuters, 1 Desember 2021,
https://www.reuters.com/markets/rates-bonds/eu-unveils-300-bln-euro-global-investment-scheme-2021-12-01/
[4] Op. Cit., Sebastian Seibt
[5] Op. Cit., Jan Strupczewski
[6] Jorge Valero dan John Follain, “European Union unveils $340 billion infra spend to rival China”, Business Standard, 2 Desember 2021, https://www.business-standard.com/article/international/european-union-unveils-340-billion-infra-spend-to-rival-china-121120200026_1.html
[7] Op. Cit., Jan Strupczewski
[8] Ibid.
[9] L. Venkateswaran, “China’s belt and road initiative: Implications in Africa”, Issue Briefs and Special Reports, 24 Agustus 2020, https://www.orfonline.org/research/chinas-belt-and-road-initiative-implications-in-africa/
[10] Paul Nantulya, “Implications for Africa from China’s One Belt One Road Strategy”, Africa Center For Strategic Studies, 22 Maret 2019, https://africacenter.org/spotlight/implications-for-africa-china-one-belt-one-road-strategy/