Tepat 60 tahun lalu, kejahatan kemanusiaan yakni pembantaian massal pada demonstran Aljazair oleh polisi Paris diperingati kembali. Sebanyak 400 orang tewas dan korban luka-luka dibuang ke Sungai Seine pada protes tanggal 17 Oktober 1961 lalu. Selain itu, sekitar 12,000 orang Aljazir ditangkap saat protes dalam rangka mendukung perundingan perdamaian dan perang kemerdekaan Aljazair atas Prancis. Dilansir Aljazeera, otoritas Prancis dalam upaya dekolonialisasi pada masa perang Aljazair yang kurang lebih berlangsung delapan tahun telah menewaskan satu juta hingga satu juta lima ratus ribu kematian.
Di bawah perintah Kepala Kepolisian Paris Maurice Papon, polisi menyerang sekitar 25,000 pendukung National Liberation Front (FLN) atau Front Pembebasan Nasional yang melakukan protes pergerakan nasionalnya. Sebelumnya pada 6 Oktober 1961, ditetapkan pemberlakuan jam malam bagi Muslim Aljazair yang tinggal sekitar Paris. Baik bagi pekerja muslim Aljazair, muslim Prancis, dan Muslim Prancis di Aljazair, pembatasan ini dinilai sebagai diskriminasi yang mendorong turunnya masyarakat pendukung FLN ke jalan.
Upaya menekan pengakuan Pemerintah Paris
Bagi kebanyakan negara, pengakuan terhadap suatu kejahatan perang atau kemanusiaan akan sulit untuk dilakukan, bahkan kasus akan cenderung ditutupi. Negara akan cenderung tidak mengakui kejahatan perang karena mereka tidak setuju atau menolak kejadian tersebut dianggap sebagai “pembantaian” atau kejahatan perang. Selain karena akan berpengaruh pada citra demokrasi politik negara, tetapi sebagian negara juga akan memberikan kompensasi, seperti Jerman pada Holocaust. Harga besar yang perlu dibayar tersebut kadang dirasa tidak sepadan, sehingga tidak banyak negara yang mengakui.
Upaya ini juga yang diusahakan oleh keluarga korban pembantaian Aljazair, di mana Prancis berupaya menyembunyikan pembantaian tersebut selama kurang lebih 37 tahun, dan akhirnya pada 1998 menyatakan bahwa hanya sekitar 40 orang yang tewas dalam protes tersebut. Pasca pengakuan tersebut, sejarawan Jean-Luc Einaudi memenangkan kasus tahun 1999 atas Papon dengan dasar memberikan pemerintah untuk melakukan intervensi pada demonstran.
Seorang profesor politik di Universitas Evry-Val d’Essonne, Olivier Le Cour Grandmaison, menyatakan kejahatan pembantaian Aljazair oleh Prancis sebagai yang terbesar pasca Perang Dunia II. Dia menambahkan bahwa Menteri Dalam Negeri, Perdana Menteri, dan Presiden Prancis yakni Charles de Gaulle turut berperan dalam permasalahan ini, sehingga bisa disebut sebagai kejahatan negara.
Macron menyatakan pembantaian berdarah Aljazair “kejahatan tidak terampunkan”
Peringatan pertama pembantaian dilakukan pada tahun 2001 lalu oleh Wali Kota Paris, di mana setahun setelahnya Presiden Francois Hollande menyatakan pengakuannya terhadap penindasan berdarah atas masyarakat Aljazair. Pada masa kini, Presiden Emmanuel Macron menjadi Presiden Prancis pertama yang menghadiri peringatan korban pembantaian. Macron hadir di jembatan Sungai Seine dan menyatakan pembantaian tahun 1961 sebaai sesuatu yang brutal, keras, dan berdarah.
Meskipun begitu, beberapa aktivis seperti Mimouna Hadjam dari Asosiasi Anti-Rasisme Africa 93 menilai perlu adanya pengakuan yang lebih bertanggung jawab, aktivis lainnya bahkan kecewa dengan Macron.
Kejadian ini masih memberikan luka pada para korban maupun aktivis yang menekan bahwa Paris perlu lebih bertanggung jawab pada tragedi pembantaian tersebut. Kolonialisme dan rasisme pemerintahan Prancis yang salah satunya tergambar dari kekerasan pada masyarakat Aljazair tetap menjadi luka bagi korban dan berdampak secara sosial politik pada pandangan masyarakat pada Prancis.