Diplomasi “Wolf-Warrior”: Topeng Baru China?

 

China cukup terkenal dengan diplomatnya yang tegas dan keras dalam menyampaikan pandangan politik maupun kritik yang dilontarkan global pada China, terutama dari negara-negara Barat. Hal ini dikarenakan adanya sentimen dari masyarakat China pada Barat karena dianggap selalu membesar-besarkan atau melakukan propaganda citra buruk China di media global. Terutama dengan meningkatnya kembali isu pelanggaran hak asasi manusia di Xinjiang dan Hong Kong, penyudutan terhadap China terkait dengan sumber virus Corona, dan berbagai tindakan agresivitas militer dan politik China yang membuat tensi politik China dengan Barat lebih sensitif. Tentu banyak diplomat China di luar negeri yang membela dan melindungi negaranya, bahkan mempromosikan teori-teori konspirasi dan menghina diplomat atau negara asing lainnya sebagai respon balasan.[1] Namun, Presiden China Xi Jinping baru-baru ini meminta para diplomatnya untuk membantu dalam membangun citra China yang “dapat diandalkan, dikagumi, dan dihormati” pada global.[2] Lalu, apakah China memutuskan menjadi lebih “pasif” dalam diplomasinya?

 

Diplomasi “Wolf-Warrior” China: Kombinasi Nilai China?

Penggunaan kata Wolf-Warrior diambil dari sebuah film aksi nasionalis heroik China yang bercerita tentang pahlawan yang melindungi nilai dan integritas China, serta menyelamatkan Afrika dari “barbarisme” Barat.[3] Wolf-Warrior pada hal ini merujuk pada praktik diplomasi yang ofensif dan agresif dalam melindungi nilai dan pencapaian kepentingan nasionalnya, baik dalam isu politik, ekonomi, maupun keamanan. Diplomat-diplomat China yang dikirimkan oleh Xi Jinping ini tidak sedikit yang disebut wolf-warrior karena menggunakan kata verbal yang “tegas” yang dianggap sebagai upaya pertahanan hak, nilai, dan kepentingan China, namun tidak sedikit juga negara lain yang menilai hal tersebut buruk. Metode ini berbeda dari strategi “tenang” saat kepemimpinan Deng Xiaoping dengan nilainya yakni “sembunyikan kekuatanmu dan tunggu waktu yang tepat” yang digunakan dalam dinamika perpolitikan global sambil menguatkan kekuatan domestik.[4] Strategi ini dilakukan mengingat pada masa tersebut, kekuatan China belum sekuat dan seberpengaruh sekarang, sehingga diplomasi China lebih pasif dan seakan hanya diam sembari memformulasikan upaya mencapai kepentingannya.

 

Namun, metode dalam wolf-warrior ini cukup mirip dengan strategi pendahulunya yakni Mao Zedong yang lebih tegas dalam politik internasional dengan nilainya “jika ingin mencapai sesuatu, perlu dilakukan dengan melawan musuh dari belakang.”[5] Wolf-warrior sendiri sudah diterapkan oleh diplomat pertama China yakni Zhou Enlai yang mengadopsi pendekatan ini untuk melindungi martabat China dan tidak mengulang masa lalu China. Kombinasi dari pemikiran-pemikiran ini yang selanjutnya digunakan oleh Xi Jinping dalam memimpin China dan memformulasikan kebijakan domestik serta luar negerinya. Hal ini penting sebagai pengimplementasian dan refleksi nilai pendahulu dan masyarakat China. Sekaligus, dikarenakan pemikiran ini, metode itu pula yang digunakan para diplomat China dalam membalas “serangan tersebut dengan pidato yang keras, terutama melalui cuitan dan unggahan di internet. Menariknya, investigasi memperlihatkan peningkatan kekuatan digital China yang salah satunya digunakan untuk memuat akun-akun palsu yang mencuit ulang unggahan tersebut ke seluruh dunia sebagai bentuk propaganda China untuk melindungi pandangannya pada masyarakat global.[6] Tindakan ini menunjukkan China menggunakan media sosial yang lingkupnya global sebagai salah satu taktik wolf warrior China dalam melindungi nilai-nilai China. Dengan kekuatan dan pengaruh China yang cukup besar sekarang, China jadi lebih berani dalam perpolitikan luar negerinya. Hal ini menunjukkan perubahan kekuatan negara dan pengaruhnya akan berpengaruh juga pada pendekatan yang digunakan.

 

Pernyataan Xi Jinping dalam diplomasi wolf-warrior

Berdasarkan definisinya, diplomasi diartikan sebagai praktik negosiasi dan dialog untuk mempromosikan hubungan damai antar negara dan aktor asing lain demi mencapai kesepakatan dan melindungi kepentingan domestik sekaligus internasionalnya.[7] Dalam hal ini, diplomasi “tegas” wolf-warrior ini menjadi alat China untuk mencapai ambisi internasionalnya sebagai negara dengan kekuatan ekonomi dan politik paling berpengaruh secara global, sekaligus menjaga legitimasi domestiknya, baik pada partai dan masyarakat China. Diplomasi wolf-warrior China yang sudah dilakukan sejak lama ini mulai mengalami pertentangan, baik dari lingkup internasional terutama dari Barat, maupun dari domestik. Salah satunya adalah protes dari Australia yang muncul setelah seorang diplomat China mengunggah cuitan mengenai keterlibatan “berdarah” Australia di Afghanistan, di mana Australia menuntut permintaan maaf dari China, namun China enggan melakukannya.[8] Cuitan sensitif ini mungkin tampak biasa saja, namun jika diteruskan bisa berpotensi melukai hubungan politik dengan negara lain dengan China, padahal China tahu membutuhkan hal tersebut untuk perbaikan hubungan dan citranya. Meskipun banyak masyarakat China yang setuju dengan ketegasan China dalam menghadapi Barat, namun pertentangan dari domestik juga cukup tinggi, di mana banyak yang menilai ketegasan China dalam politik internasional tetap dibutuhkan dan dilarang menjadi “lemah dan inkompeten” dalam pendekatannya.[9] Hal ini membuktikan, Xi Jinping masih perlu menyeimbangkan pendekatan diplomasinya antara kepentingan di internasional dan domestiknya.

Pernyataan Xi Jinping untuk “memperbaiki citra” China di global melalui para diplomatnya ini bukan tanpa alasan karena untuk menjaga market ekonominya, China menyadari pentingnya kerja sama dan hubungan baik global. Namun, bukan juga berarti China akan langsung menjadi pasif pada dunia internasional dan berubah dalam semalam. Hal ini dikarenakan keputusan perbaikan citra ini sekaligus dijadikan instrumen China untuk melakukan klasifikasi “teman” dan “musuh” bagi perpolitikan China. Tahapan ini dilakukan demi memutuskan negara yang bisa dikompromikan untuk pencapaian kepentingan ekonomi yakni pasar China, politik yakni pengaruh dan ambisi hegemoni regional China, dan pengembangan hubungan militer keamanan China dengan memodifikasi pendekatan politik Xi Jinping. Lebih lagi, upaya “perbaikan citra” ini juga tidak akan terlalu banyak berpengaruh karena masyarakat global terutama di Amerika Serikat menunjukkan sebanyak 67 persen masyarakatnya berpandangan negatif pada China, bahkan melihat sebagai musuh dan kompetitor dikarenakan berbagai isu kemanusiaan, Covid-19, dan ekonomi perdagangan.

 

 

 

 

 

 


[1] AFP, (2021), Furious patriots: China’s ‘wolf warrior’ diplomacy makeover backfires, Free Malaysia Today, https://www.freemalaysiatoday.com/category/world/2021/06/27/furious-patriots-chinas-wolf-warrior-diplomacy-makeover-backfires/

[2] Ibid.,

[3] Hon-min Yau dan Bheki Mthiza Patrick Dlamini, (2021), Wolf Worries, Strategic Vision vol. 9, no. 46, https://en.csstw.org/upload/files/SV46-Wolf%20Worries.pdf

[4] Zainab Yasin, (2021), China’s Wolf Warrior Diplomacy: Major Change Drivers of its Policy, Modern Diplomacy, https://moderndiplomacy.eu/2021/06/26/chinas-wolf-warrior-diplomacy-major-change-drivers-of-its-policy/

[5] Ibid.,

[6] Josep Brouwer, (2021), IS XI RE-THINKING “WOLF WARRIOR” DIPLOMACY?, China Digital Times, https://chinadigitaltimes.net/2021/06/is-xi-re-thinking-wolf-warrior-diplomacy/

 

[7] Noe Cornago, (2008), Diplomacy, University of the Basque Country,  Encyclopedia of Violence, Peace, & Conflict (pp.574-580), https://www.researchgate.net/publication/286221540_Diplomacy

[8] Daniel Hurst dan Helen Davidson, (2020), China rejects Australian PM’s call to apologise for ‘repugnant’ tweet, The Guardian, https://www.theguardian.com/australia-news/2020/nov/30/australia-china-pm-scott-morrison-demands-apology-fake-chinese-tweet-adf-soldier

[9] AFP, Op.cit.