Krisis Iklim: Tragedy of Common Sebagai Dasar Penurunan Ketegangan Antara Amerika Serikat dan China

Pada 10 November 2021, Amerika Serikat (AS) dan China mengumumkan kerja samanya pencegahan perubahan iklim untuk mengurangi emisi metana dan penggunaan batu bara agar sesuai dengan kesepakatan pada pertemuan G20 tahun 2021 di Glasgow, Inggris. Baik AS maupun China merupakan dua negara penghasil emisi terbesar di dunia. Kerja sama antara keduanya ini diumumkan oleh John Kerry, utusan AS untuk masalah Iklim dan Xie Zhenhua politisi perwakilan China.  Kerja sama ini berusaha menutup “kesenjangan yang signifikan” untuk menekan kenaikan suhu dunia.

Sekretaris Jenderal Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB), Antonio Guetarres, mengatakan kerja sama ini sebuah “langkah penting yang baik”. Pernyataan ini juga disetujui oleh Kepala Kebijakan Iklim Uni Eropa, Frans Timmermans yang mengatakan bahwa AS dan China tahu masalah ini sangat penting serta membantu Conference of Parties 26 (COP26) mencapai kesepakatan.[1] COP26 sendiri menjadi konferensi perubahan iklim terbesar sejak pertemuan di Paris pada tahun 2015. COP26 ini juga kembali mempertegas usaha negara-negara agar suhu bumi tidak naik lebih dari 1.5℃.

Kesepahaman antara AS dan China

AS dan China akan bertemu langsung pada tahun depan untuk membahas standar pengurangan metana dari bahan bakar fosil.[2] Xie mengatakan bahwa pada dialog antar pejabat tinggi itu sangat kooperatif. “Ada lebih banyak kesepakatan antara China dan AS daripada perbedaan” menurut Xie kepada wartawan.[3] Xie dan Kerry juga setuju bahwa kerja sama merupakan satu-satunya cara untuk menyelesaikan masalah iklim.[4] Dapat dikatakan COP26 cukup sukses untuk mengingatkan negara-negara bekerja sama dalam menangani krisis lingkungan. Hal ini ditandai dengan kerja sama dua negara penyumbang emisi terbesar.

Draf COP26 sendiri menuliskan beberapa kesepakatan umum yang dikritik banyak pihak “kurang ambisius”. Namun secara umum kesepakatan di COP26 ini memang hanya mempertegas Perjanjian Paris di tahun 2015. Draf ini mendesak negara-negara untuk memperkuat target pengurangan karbon di akhir tahun 2022. Salah satu caranya adalah kesepakatan untuk mengurangi transportasi berbahan bakar bensin dan diesel yang disepakati oleh banyak negara dan perusahaan multinasional seperti Ford dan Mercedes. Tetapi baik AS maupun China justru dikabarkan belum tergabung dalam komitmen ini.[5]

Walaupun terdapat kerja sama antara AS dan China, Beijing tidak menyepakati kesepakatan COP26, justru akan bekerja dengan cara dan targetnya sendiri. China menolak Bergabung dengan kesepakatan untuk membatasi metana – gas rumah kaca yang berbahaya yang diikuti oleh AS dan Uni Eropa. China berkomitmen untuk mengurangi konsumsi batu bara lewat Rencana Lima Tahun ke-15 dari 2026-2030, satu dekade lebih lama dari apa yang ditargetkan AS. Kerry sendiri menyambut baik kesediaan China untuk bekerja sama dan berharap China mulai melaksanakan dan mempercepat upaya pengurangan emisi secepat mungkin yang sesuai dengan target AS.[6]

Sebelumnya, Presiden China Xi Jinping pada pidato tertulis untuk G20 menyampaikan bahwa China menjunjung tinggi konsensus multilateral dalam menghadapi tantangan global dan menghormati Perjanjian Paris sebagai dasar hukum kerja sama di bidang iklim.[7] Xi juga menegaskan untuk fokus pada tindakan nyata dengan menetapkan target dan visi realistis yang sesuai dengan kondisi nasional.[8] Sesuai pernyataan bahwa China akan mengurangi emisi dengan caranya sendiri, baru-baru ini China merilis dua arahan untuk mencapai targetnya. Arahan tersebut berjudul Panduan Kerja untuk Puncak Karbon Dioksida dan Netralitas Karbon dalam Implementasi Penuh dan Setia dari Filosofi Pembangunan Baru dan Rencana Aksi untuk Puncak Karbon Dioksida Sebelum 2030.

Mengutip The ASEAN Post, Xi menyampaikan pada Komite Nasional Hubungan AS-China bahwa negaranya siap untuk bekerja sama dengan AS sebelum pertemuan virtual antara keduanya akan berlangsung dalam waktu dekat. Joe Biden, Presiden AS sendiri memiliki tujuan pada pertemuan virtual antara keduanya. Biden akan memberi tahu Xi bahwa AS dan China perlu membangun “batas yang masuk akal” agar persaingan antara kedua negara tidak mengarah ke konflik. “Pertemuan ini adalah tentang upaya berkelanjutan kami untuk mengelola kompetisi secara bertanggung jawab, bukan tentang menyetujui hasil atau hasil tertentu,”[9]

Dari keterangan tertulis White House, Biden sendiri memiliki tujuan jangka panjang terhadap hubungannya dengan China. AS tetap ingin menjadi sebuah established force dengan memastikan posisi AS berada di atas China dalam jangka panjang.[10] Tujuan AS ini yang membuat Biden menginisiasi pertemuan secara virtual untuk memperjelas niat dan prioritas AS dengan percakapan substantif bukan simbolis yang akhirnya dilaksanakan pada pertengahan November.[11]

 

Krisis Iklim Sebagai Dasar Rekonsiliasi Hubungan

Pertemuan antara keduanya berlangsung pada pertengahan November 2021 dan berlangsung selama tiga jam lebih. Xi mengatakan senang telah bertemu dengan Biden yang disebut sebagai “teman lama”. Pertemuan tersebut memanas ketika kedua negara membahas isu hak asasi manusia (HAM) serta masalah Taiwan dan perdaganan. Pembicaraan itu sendiri tidak menghasilkan suatu terobosan baru mengenai apapun. Biden hanya memastikan “Persaingan antara kedua negara agar tidak mengarah ke konflik, baik disengaja maupun tidak disengaja. Hanya kompetisi”[12]. Seperti asumsi realism bahwa negara merupakan cerminan dari manusia. Keinginan manusia akan kekuasaan, adalah penyebab utama konflik antar negara.[13]

Pertemuan ketiga semenjak Biden menduduki jabatan presiden AS ini menyadari bahwa hubungan keduanya terbentur oleh kepentingan nasional masing-masing pihak. Kesepahaman antara keduanya kali ini dapat menjadi sebuah dasar dari kerja sama. Pasalnya, hubungan AS dan China sebelumnya memburuk karena berbagai masalah. Namun hubungan baik ini dinilai menjadi sebuah langkah baik terutama untuk mencegah krisis lingkugan. Dialog antara AS dan China pada tahun 2014 mengantarkan dunia pada perjanjian Paris di tahun 2015.[14]

Sebelumnya, hubungan AS-China memburuk akibat banyak hal. Beberapa minggu lalu Biden berjanji akan membela Taiwan jika China menyerang, yang dipahami oleh China sebagai “aksi yang mengarah ke sesuatu yang berbahaya”[15] Selain masalah Taiwan, AS juga membentuk forum QUAD dan juga turut menentang China dalam konflik Laut China Selatan. Kedua negara menyadari bahwa pertemuan mereka di konflik-konflik tersebut dapat tereskalasi menjadi sesuatu yang tidak dapat terpikirkan. Secara realistis, kedua negara ini juga menyadari power yang dimiliki lawannya.

Terkait konflik Laut China Selatan, AS yang berusaha mempertahankan posisinya sebagai negara terkuat melakukan apa yang disebut oleh Morgenthau sebagai kesiapan militer untuk memperkuat power negaranya agar dapat mengalahkan China. China juga melakukan kesiapan militer dengan perkembangan kekuatan militer yang tidak main-main untuk mencapai “The Chinese Dreams” yang menjadikan angkatan lautnya yang terbesar saat ini.

Seperti asumsi realis bahwa seni politik adalah pengembangan kepekaan terhadap area internasional berdasarkan pengetahuan praktis untuk menyeimbangkan nilai dan kepentingan. Kedua negara ini menyadari power yang dimiliki lawannya, Keinginan AS dan China untuk menjadi major power ini terhalang oleh kekuatan dari lawan mereka. Jika diteruskan, maka sesuatu yang tidak dapat terpikirkan itu dapat terjadi. Dengan kata lain, negara akan bertindak berdasarkan “kebijaksanaan praktis” daripada rasionalisme.[16]

Walaupun realis menekankan kekuatan tradisional,  Morgenthau juga mengatakan bahwa salah satu komponen kekuatan suatu negara adalah kualitas diplomasinya.[17] Krisis iklim, yang menjadi sebuah tragedy of common ini dapat menjadi sebuah dasar diplomasi untuk menurunkan ketegangan diantara keduanya. Kesadaran akan bagaimana konflik dapat menyebabkan kerugian bukan menjadi pilihan bagi kedua negara. Justru dari pembicaraan secara virtual, Biden dan Xi justru menciptakan suatu batasan dan kesepahaman agar persaingan mereka tidak menimbulkan konflik.  

Isu lingkungan yang jauh dari konsep keamanan tradisional dapat menciptakan sebuah dasar kerja sama yang dapat mengeliminasi ancaman bagi kedua belah pihak, tragedy of common menjadi pilihan. Hasil yang tidak dapat terpikirkan ketika konflik meningkat tentu berusaha dihindari kedua belah pihak. Selain menciptakan detterence dengan kesiapan militer, diplomasi juga dilancarkan untuk mengurangi ketegangan diantara keduanya.

[1] “COP26: China and US agree to boost climate co-operation”, BBC, 11 November 2021, https://www.bbc.com/news/science-environment-59238869

[2] Charissa Yong dan Aw Cheng Wei, “US, China pledge to work together to fight climate change”, The Straits Times, 12 November 2021, https://www.straitstimes.com/world/europe/us-china-pledge-to-work-together-to-fight-climate-change

[3] Op. Cit, “COP26: China and US agree to boost climate co-operation”

[4] Ibid.

[5] Ibid.

[6] https://edition.cnn.com/2021/11/10/world/china-us-climate-cop26-joint-agreement-intl/index.html

[7] “Xi Jinping Delivers a Written Speech at the World Leaders Summit at the 26th Session of the Conference of the Parties to the United Nations Framework Convention on Climate Change”, Ministry of Foreign Affairs of the People’s Republic of China, 11 November 2021. https://www.fmprc.gov.cn/mfa_eng/zxxx_662805/t1918354.shtml

[8] Ibid.

[9] Morgan Chalfant, “Biden set for expansive virtual meeting with Chinese president”, The Hill, 15 November 2021, https://thehill.com/homenews/administration/581508-biden-set-for-expansive-virtual-meeting-with-chinese-president

[10] “Background Press Call by Senior Administration Officials on President Biden’s Virtual Meeting with President Xi of the People’s Republic of China”, The White House, 15 November 2021, https://www.whitehouse.gov/briefing-room/speeches-remarks/2021/11/15/background-press-call-by-senior-administration-officials-on-president-bidens-virtual-meeting-with-president-xi-of-the-peoples-republic-of-china/

[11] Ibid.

[12] Kevin Liptak, “’Healthy debate,’ but no breakthroughs in Biden’s critical talks with China’s Xi Jinping”, CNN, 16 November 2021, https://edition.cnn.com/2021/11/15/politics/joe-biden-xi-jinping-virtual-summit/index.html

[13] https://www.tandfonline.com/doi/full/10.1080/01402390.2020.1833860

[14] Op. Cit., Charissa Young dan Aw Cheng Wei

[15] “Biden says US will defend Taifan if China attacks”, CNN, 22 Oktober 2021, https://www.bbc.com/news/world-asia-59005300

[16] Hanley RP, “Political science and political understanding: Isaiah Berlin on the nature of political inquiry.” American Political Science Review, 2004 dalam Jodok Troy, “The realist science of politics: the art of understanding political practice”, European Journal of International Relations, 1-25, 2021,  hlm. 2, DOI:10.1177/13540661211050637, https://journals.sagepub.com/doi/pdf/10.1177/13540661211050637

[17] Morgenthau, Politics among Nations, hlm. 152, dalam Fredrik Doeser, “The strategic and realist perspectives: An ambiguous relationship”, Journal of Strategic Studies, 2 Desember 2020, DOI:10.1080/01402390.2020.1833860, hlm 6, https://www.tandfonline.com/doi/pdf/10.1080/01402390.2020.1833860?needAccess=true