Analisa Tujuan Invasi dan Serangan Israel Terhadap Suriah Pasca Kemenangan Pemberontak
Pada 8 Desember 2024 perang saudara Suriah berakhir dengan runtuhnya Republik Arab Suriah yang dipimpin oleh Bashar Al-Assad setelah pasukan pemberontak Tentara Pembebasan Suriah (FSA) dari beberapa faksi seperti Hayat Tahrir Al-Sham, Komando Operasional Selatan(SOR), dan Tentara Komando Revolusioner (RCA) melancarkan serangan militer yang menghancurkan kapabilitas Tentara Arab Suriah (SAA) dalam waktu 11 hari. Tidak lama setelah rezim Bashar Al-Assad runtuh, Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu mengunggah video di akun media sosial X/Twitter yang menyatakan perjanjian gencatan senjata antara Israel dan Suriah tahun 1974 tidak lagi berlaku setelah prajurit SAA meninggalkan posisi mereka. Netanyahu kemudian memerintahkan Pasukan Pertahanan Israel (IDF) untuk menduduki zona penyangga di Daratan Golan dan Gunung Hermon agar tidak ada ancaman (hostile force) di perbatasan Israel. Tidak lama setelah video tersebut diunggah, IDF melancarkan invasi terhadap wilayah Suriah Selatan dan menduduki Gunung Hermon dan beberapa kota di Provinsi Quneitradan Dara’a.
Sehari setelah IDF melancarkan invasi ke Provinsi Quneitra dan Dara’a Menteri Pertahanan Israel, Israel Katz mengeluarkan perintah yang menjelaskan tujuan dari invasi IDF terhadap Suriah Selatan dalam jangka pendek hingga menengah. Dalam perintah tersebut tertulis bahwa tujuan dari invasi IDF adalah untuk membuat sebuah zona penyangga baru dan menghancurkan infrastruktur/senjata berat yang dapat membahayakan Israel, memutus jalur penyelundupan senjata Iran ke Lebanon, dan menghancurkan alat utama sistem senjata (alutsista) strategis yang sebelumnya dimiliki oleh Republik Arab Suriah agar alutsista tersebut tidak jatuh ke tangan kelompok teroris. Dalam hal ini Angkatan Udara Israel (IAF) juga berkontribusi dengan melancarkan serangan udara terhadap instalasi militer, depot persenjataan, dan pelabuhan yang memiliki senjata strategis seperti rudal balistik jarak pendek, kapal cepat rudal, senjata kimia, aset dirgantara, dan sistem pertahanan udara. Menurut Organisasi Pengawas Hak Asasi Manusia Suriah (SOHR) Israel telah melancarkan ratusan serangan udara terhadap instalasi militer di Suriah. Serangan udara tersebut berhasil menghancurkan seluruh pesawat tempur bekas Angkatan Udara Arab Suriah (SAAF) dan kapal perang bekas Angkatan Laut Arab Suriah (SAN) seperti kapal rudal cepat kelas Osa I dan Osa II yang dihancurkan di Pelabuhan Latakia.
Invasi dan serangan Israel ke Suriah Selatan telah mendapatkan reaksi keras dari berbagai negara seperti Turki, Mesir, Saudi Arabia, Prancis, dan Uni Emirat Arab yang mengecam aksi Israel dan mendesak Negeri Bintang Daud untuk menarik mundur pasukan mereka dari Suriah Selatan. Invasi Israel terhadap Suriah Selatan merupakan sebuah aksi yang sebelumnya telah direncanakan oleh Israel karena pada 6 Desember 2024 Perdana Menteri Netanyahu memanggil Kabinet Keamanan Negara (SSC) untuk membahas tentang situasi yang sedang berlangsung diSuriah. Pertemuan ini dilakukan untuk membahas tentang serangan pasukan FSA terhadap SAA dan dampak kemenangan mereka terhadap keamanan Israel. Tidak lama setelah Perdana Menteri Netanyahu memanggil SSC, IDF mengumumkan bahwa mereka telah meningkatkan jumlah pasukan di Daratan Golan sebagai respon dari laju pasukan FSA yang pada saat itu telah menguasai Kota Hama, Dara’a, Aleppo, dan Suwayda.
Secara sekilas invasi dan serangan udara yang dilancarkan oleh Israel terhadap Suriah merupakan aksi yang keterlaluan karena negara tersebut baru saja mengakhiri perang saudara yang telah berlangsung selama 13 tahun. Akan tetapi dalam perspektif keamanan nasional Israel, invasi yang dilancarkan terhadap Suriah Selatan merupakan sebuah aksi yang sah karena runtuhnya rezim Bashar Al-Assad di Suriah membentuk sebuah kekosongan kekuasaan (vacuum of power) yang dapat menguntungkan kelompok yang mengancam kedaulatan dan keamanan Israel karena mereka dapat mengambil alih alutsista strategis yang ditinggalkan SAA untuk digunakan melawan Israel. Dalam konteks ancaman terdapat berbagai kelompok yang memenuhi kriteria tersebut seperti Negara Islam Iraq dan Suriah (ISIS/Daesh), Al-Qaeda, HTS, dan Huras al-Din. HTS dianggap sebagai ancaman oleh Israel karena sebelumnya mereka merupakan bagian dari organisasi teroris Al-Qaeda dan pemimpin mereka Ahmed Hussein al-Sharaa yang lebih dikenal dengan nom de guerre nya Abu Mohammad al-Julani sebelumnya merupakan seorang jihadis Al-Qaeda yang bertempur melawan pasukan Amerika Serikat di Iraq. Walaupun HTS telah memutuskan hubungan dengan Al-Qaeda pada tahun 2016, Israel tetap menganggap kelompok tersebut sebagai ancaman karena adanya sejarah hubungan tersebut.
Oleh karena itu wajar saja jika Israel ingin membentuk sebuah zona penyangga baru hingga Pemerintah Transisi Suriah (STG) yang dipimpin oleh Perdana Menteri Mohammad al-Bashir dan Hussein al-Sharaa dapat meyakinkan mereka bahwa Suriah tanpa rezim Bashar Al-Assad tidak akan menjadi ancaman bagi Israel. Dalam hal ini Hussein al-Sharaa telah berusaha untuk meyakinkan Israel dengan mengafirmasi perjanjian gencatan senjata tahun 1974 dan komitmen bahwa Suriah tidak ingin berperang melawan Israel dan negara manapun. Akan tetapi walaupun Israel telah menyatakan tujuan mereka melancarkan invasi, hal ini tidak berarti merekatidak menghadapi perlawanan karena pada 22 Desember 2024 masyarakat Suriah di Provinsi Dara’a melancarkan protes yang mendesak pasukan IDF untuk meninggalkan Suriah. Pasukan IDF merespon protes tersebut dengan menembakkan peluru tajam yang melukai kaki salah satu demonstran.