Pengungsi Suriah Pasca Runtuhnya Bashar Al-Assad: Dari Brain Drain Menjadi Reverse Brain Drain
Pada 8 Desember 2024 Perang Saudara Suriah berakhir dengan kemenangan bagi Tentara Pembebasan Suriah (FSA) terhadap Republik Arab Suriah yang dipimpin oleh Bashar Al-Assad. Runtuhnya Bashar Al-Assad menandakan dua hal yaitu berakhirnya kekuasaan Dinasti Al-Assadyang berkuasa sejak 1970 dan Partai Arab Sosialis Ba’ath yang telah berkuasa di Suriah sejak tahun 1963. Beberapa negara di Uni Eropa merespon berakhirnya rezim Assad dengan menangguhkan pendaftaran pencari suaka bagi warga Suriah. Sementara itu menurut Komisi Hak Asasi Manusia Perserikatan Bangsa-Bangsa (UNHCR) tidak lama setelah rezim Assad runtuh ribuan pengungsi Suriah yang menetap di Lebanon, Jordania, dan Turki mulai kembali ke negara mereka. Selain itu UNHCR memprediksi setidaknya satu juta pengungsi Suriah akan kembali ke Suriah pada paruh pertama tahun 2025.
Kembalinya pengungsi Suriah kembali ke negara mereka merupakan perkembangan positif karena sejak Perang Saudara Suriah meletus pada tahun 2011 masyarakat Suriah terpaksa meninggalkan rumah dan kehidupan mereka karena Tentara Arab Suriah (SAA) dan aparatur keamanan Republik Arab Suriah dengan bantuan Iran dan Rusia menindak keras segala bentuk penolakan terhadap rezim Bashar Al-Assad dengan menembak para demonstran menggunakan peluru tajam, mengebom kota dan desa menggunakan bom barel tanpa pandang bulu, dan menggunakan senjata kimia seperti Sarin untuk memaksa masyarakat tunduk kepada rezim Al-Assad. Aksi brutal ini memaksa masyarakat Suriah untuk melarikan diri dan mengangkat senjata untuk menggulingkan Bashar Al-Assad secara paksa. Berdasarkan data dari Program Pangan Dunia (WFP) PBB 13 juta warga Suriah telah melarikan diri ke luar negeri sementara 7 juta warga di dalam Suriah telah menjadi pengungsi internal (IDP).
Dari 13 juta warga Suriah yang melarikan diri ke luar negeri, sekitar 3,3 juta wargamelarikan diri ke Turki sementara 2 juta warga mendapatkan suaka di negara anggota Uni Eropa (EU). Dari 2 juta warga yang mendapatkan suaka di Uni Eropa, 38% telah menjalani pendidikan universitas. Sementara itu Institut Pendidikan Internasional (IIE) menyatakan bahwa setidaknya 12-140 ribu IDP Suriah yang menetap di Idlib telah menjalani pendidikan universitas. Hal ini menunjukan bahwa sebagian besar pengungsi Suriah yang melarikan diri dari rezim Bashar Al-Assad dengan mengungsi di luar negeri atau di wilayah Idlib yang dikendalikan oleh pasukan pemberontak Tentara Pembebasan Suriah (FSA) merupakan kaum intelektual. Keputusan mereka untuk melarikan diri merupakan sesuatu yang wajar karena tidak lama setelah Hafez Al-Assad meninggal pada tahun 2000 kaum intelektual Suriah mengikuti periode Musim Semi Damaskusdengan menandatangani Pernyataan 1000 (Statement of 1000) pada Januari 2001. Pernyataan tersebut mengkritik sistem negara satu partai (one party state) yang dikendalikan Partai Arab Sosialis Ba’ath dan mendesak Bashar Al-Assad untuk melakukan demokratisasi dengan sistem yudisial yang independen. Akan tetapi Bashar Al-Assad tidak melakukan demokratisasi dan melanjutkan gaya kepemimpinan tangan besi yang digunakan oleh pendahulunya Hafez Al-Assad.
Runtuhnya rezim Bashar Al-Assad membuka pintu baru bagi kaum intelektual Suriahyang mengungsi untuk kembali dan berkontribusi terhadap rekonstruksi dan pengembanganSuriah. Dari segi rekonstruksi, para intelektual, khususnya yang mendalami bidang sains, teknologi, teknik, dan matematika (STEM) dapat membantu Pemerintah Transisi Suriah (STG) dalam mempercepat pembangunan ulang tempat tinggal dan infrastrkutur yang dihancurkan oleh serangan artileri dan serangan udara yang dilancarkan SAA dengan bantuan Rusia dan Iran. Selain membantu pembangunan ulang tempat tinggal dan infrastruktur, kaum intelektual juga dapat membangun birokrasi pemerintahan Suriah yang baru. Hal ini penting karena birokrasi negara yang sebelumnya tidak efisien dan rentan terhadap tindak korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN). Sebagai contoh dalam sebuah wawancara yang direkam oleh Timour Azhari, Gubernur de fakto Damaskus Mohammed Yasser Ghazal menyatakan bahwa dibutuhkan upaya besar untuk mengubah birokrasi yang ditinggalkan oleh rezim Al-Assad dengan sistem e-government yang digunakan STG di Provinsi Idlib. Ghazal menunjukan efektivitas sistem tersebut dengan menyatakan bahwa e-government di wilayah Idlib mempercepat proses pembuatan kartu tanda penduduk (KTP) menjadi 5 menit sementara di Damaskus proses pembuatan KTP memakan banyak waktu dan pemohon harus menyogok petugas jika ingin dipercepat.
Sementara itu dari segi pengembangan, kaum intelektual yang sudah mempelajari banyak ilmu di negara anggota EU dan Turki dapat kembali dan berkontribusi dalam pengembangansistem pendidikan Suriah agar kualitas sumber daya manusia (SDM) negara tersebut meningkat.Selain membantu dalam meningkatkan kualitas SDM, kaum intelektual Suriah dapat membantu STG dalam upaya mereka mengubah sistem ekonomi Suriah dari ekonomi terencana (planned economy) menjadi ekonomi pasar bebas (free market economy). Keinginan untuk melaksanakan transisi ini disampaikan oleh Kepala Kamar Dagang Damaskus Bassel Hamwi. Transisi ini akan memakan waktu lama karena saat Dinasti Al-Assad berkuasa sistem ekonomi terencana digunakan oleh rezim untuk memperkaya individu dan kelompok yang setia kepada Hafez dan Bashar Al-Assad sementara sebagian besar warga Suriah hidup di bawah garis kemiskinan.