Kemungkinan Dampak Hasil Pemilu Dini 2024 Terhadap Kebijakan Luar Negeri Jepang
Pada 27 Oktober 2024 Jepang menyelenggarakan pemilu dini setelah Perdana Menteri Shigeru Ishiba membubarkan parlemen pada 9 Oktober 2024. Pemilu dini ini diselenggarkan oleh Perdana Menteri Ishiba sebagai upaya untuk memperkokoh posisi nya sebagai perdana menteri dan ketua dari Partai Liberal Demokrat (LDP) dan sekaligus mengembalikan kepercayaan publik kepada Partai LDP yang terlibat dengan berbagai skandal dan kontroversi sejak pembunuhan Mantan Perdana Menteri Shinzo Abe pada 8 Juli 2022. Salah satu skandal yang membuat publik Jepang geram adalah skandal dana taktis (slush funds) yang terjadi pada masa pemerintahan Perdana Menteri Fumio Kishida. Skandal ini memaksa Perdana Menteri Kishida untuk mengundurkan diri dan sekaligus menciptakan krisis legitimasi terhadap Partai LDP. Hal ini menyebabkan banyak warga Jepang ingin menghukum Partai LDP dalam pemilu dini karena mereka menganggap partai tersebut tidak jujur dan korup.
Skandal ini merupakan keuntungan bagi partai oposisi seperti Partai Konstitusional Demokrat (CDP), Partai Demokrat Untuk Rakyat (DPFP), Partai Komunis Jepang (JCP), Partai Inovasi Jepang (JIP/Ishin), Partai Sosial Demokrat Jepang, dan Partai Reiwa Shinsengumi karena mereka dapat menggunakan kemarahan publik untuk menghancurkan dominasi koalisi LDP-Komeito dan sekaligus menambah jumlah kursi di Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) Jepang. Oposisi berhasil mencapai kedua tujuan tersebut karena koalisi LDP-Komeito hanya mendapatkan 215 dari 233 kursi yang diperlukan untuk mencapai mayoritas parlementer. Hasil ini merupakan babak baru yang tidak terduga dalam politik Jepang karena para partai politik di DPR Jepang harus bernegosiasi untuk membentuk sebuah pemerintahan. Menurut Analis Politik Jepang Tobias S. Harris terdapat empat kemungkinan koalisi pemerintahan yang dapat terbentuk yaitu koalisi pemerintahan minoritas LDP-Komeito, koalisi LDP-Komeito-JIP/DPFP, koalisi besar LDP-Komeito-CDP, atau koalisi CDP-JIP/Ishin-DPFP.
Kemungkinan koalisi ini dapat menjadi babak baru dalam kebijakan luar negeri Jepang yang sebelumnya dibentuk oleh Partai LDP dengan Doktrin Yoshida, Doktrin Fukuda, dan Doktrin Abe. Dari ketiga doktrin tersebut Doktrin Abe merupakan dasar terbaru kebijakan luar negeri Jepang. Doktrin ini digagas oleh Perdana Menteri Shinzo Abe yang menekankan peran proaktif Jepang untuk menjaga perdamaian dunia. Untuk mencapai hal tersebut dilakukan beberapa hal seperti mengintegrasikan kapabilitas Pasukan Pertahanan Jepang (JSDF) dengan Angkatan Bersenjata Amerika Serikat, menafsirkan ulang arti dari pasal 9 Konstitusi Jepang untuk memperbolehkan pengerahan JSDF membantu negara sekutu yang diserang berdasarkan prinsip collective self defense, dan mendorong adanya revisi pasal 9 Konstitusi Jepang untuk mengkodifikasi dan menegaskan peran JSDF sebagai organisasi penting bagi pertahanan Jepang. Selain itu terdapat upaya untuk meningkatkan kapasitas industri pertahanan Jepang dengan melonggarkan undang-undang (UU) tahun 1976 yang melarang penjualan persenjataan dan komponen persenjataan ke negara lain. Pelonggaran ini membuka peluang bagi industri pertahanan Jepang untuk mengikuti program pengembangan senjata serta menjual persenjataan ke mancanegara, hal ini telah membuahkan hasil pada Oktober 2023 saat Jepang mendapatkan kontrak senilai JPY 600 juta (USD 4,1 juta) untuk menyediakan sistem radar pengawas ke Filipina.
Dari penjelasan tersebut dapat dilihat bahwa kebijakan luar negeri Jepang mengalami perubahan yang cukup dinamis selama Partai LDP berkuasa. Akan tetapi hasil pemilu dini 2024 membuka kemungkinan bagi partai oposisi untuk berkuasa dan hal tersebut dapat mempengaruhi kebijakan luar negeri Jepang karena mereka memiliki banyak perbedaan visi dan kebijakan dengan Partai LDP. Perbedaan ini membuka jalan bagi partai oposisi untuk mengubah kebijakan luar negeri Jepang menjadi lebih pasifis. Argumen ini memiliki dasar karena di situs resmi Partai CDP dan Partai DPFP tertera bahwa mereka mengutamakan pasifisme dalam menjalankan kebijakan luar negeri. Dalam konteks ini oposisi tidak ingin merevisi pasal 9 Konstitusi Jepang karena hal tersebut bertentangan dengan pasifisme. Akan tetapi perlu dicatat bahwa posisi Partai CDP dan Partai DPFP cukup moderat dibandingkan partai oposisi yang lebih radikal seperti Partai JCP dan Partai Sosial Demokrat Jepang yang ingin mengimplementasikan pasal 9 sepenuhnya dengan membubarkan JSDF. Selain itu semangat pasifisme ini juga dapat diartikan sebagai keengganan menjual senjata dan komponen senjata ke negara lain, serta keengganan untuk mengikuti program pengembangan senjata bersama. Sebagai contoh saat ini Jepang, Italia, dan Inggris Raya sedang menjalankan program Global Combat Air Programme (GCAP) yang bertujuan untuk mengembangkan pesawat tempur generasi ke-6. Jika partai oposisi berhasil membentuk pemerintahan terdapat kemungkinan mereka akan menarik Jepang dari program ini dengan menegaskan kembali UU larangan ekspor persenjataan tahun 1976 dan menarik keputusan Perdana Menteri Fumio Kishida yang memperbolehkan Jepang untuk mengekspor pesawat tempur tersebut (F-X) ke negara yang menginginkan dengan persyaratan tertentu.
Walaupun demikian hal ini tidak berarti partai oposisi akan sepenuhnya mengubah kebijakan luar negeri Jepang yang dibangun pada masa pemerintahan Partai LDP karena terdapat beberapa kebijakan yang tidak bertentangan dengan pasifisme seperti Doktrin Fukuda. Doktrin ini mengafirmasi posisi Jepang sebagai negara cinta damai yang akan menjadi mitra ekonomi setara bagi negara anggota Association of Southeast Asian Nations (ASEAN). Dari penjelasan ini dapat dilihat bahwa Doktrin Fukuda tidak bertentangan dengan pasifisme karena mengutamakan trust building, kerja sama saling menguntungkan, dan menolak keras militerisme. Oleh karena itu wajar jika partai oposisi menggunakan doktrin ini untuk mencapai kepentingan nasional Jepang.