Food Security in China: Forgotten Foreign Policy Driver
Berkurangnya lahan untuk cocok tanam akibat pengalihan lahan untuk gedung-gedung tuntutan dari perkembangan ekonomi, secara signifikan telah mendatangkan kekhawatiran bagi perwujudan food security di suatu negara. Sebagai negara dengan populasi terbesar di dunia, food security merupakan hal yang penting bagi China. Menjamin seluruh populasinya dapat mengakses makanan bukanlah hal yang mudah. Sehingga tidak heran jika kebijakan berkaitan food security selalu menjadi prioritas dari pemerintah China.
Politik internasional dan food security, keduanya saling mempengaruhi. Terutama ketika food security berkaitan dengan akses dan ketersediaan pada perikanan. Food Security belakangan ini dinilai menjadi salah satu faktor utama China menginginkan Laut China Selatan sebagai miliknya. Perilaku yang lebih sering diekspresikan dengan kata ‘ekspansi’ cenderung dianggap sebagai upaya memperluas wilayahnya daripada adanya dorongan dari domestik China.
Food security memang masih dianggap sebagai isu yang underrated dan tidak mempengaruhi kebijakan luar negeri. Namun bagi China, food security adalah salah satu prioritas tertinggi dalam kebijakan pemerintahan dan sangat penting di mana dianggap berperan sangat krusial bagi ekonomi dan kehidupan masyarakat di China.[1] Bagi China, segala sesuatu yang berhubungan dengan ekonomi dan perkembangannya dalam domestik adalah hal yang penting. Sehingga perwujudan terhadap food security di China bisa menjadi salah satu pendorong perilaku ‘agresif’nya di internasional yang sebenarnya jauh lebih besar daripada apa yang kita pikirkan selama ini.
Food Security dalam Perspektif China
Awalnya, food security dalam perspektif China berkaitan dengan konsep terjaminnya beras, kacang-kacangan dan umbi-umbian. Namun, sejak terjadinya reformasi ekonomi, China telah membuka dirinya ke dunia internasional dan melakukan ekspor-impor dengan negara lain. Sehingga, sejak saat itu telah terjadi perubahan pola makan di domestik China.[2] Salah satu perubahan yang paling nampak adalah peningkatan konsumsi dan kebutuhan terhadap seafood.
Perubahan konsumsi telah membuat seafood menjadi salah satu sumber pangan utama yang harus dapat diakses dengan mudah dan dijamin ketersediaannya. Peningkatan konsumsi itupun menjadikan China sebagai pemain kunci dalam perdagangan seafood dan mendominasi produksi, konsumsi, impor dan ekspor seafood saat ini. Hal ini membuat seafood apa yang dikonsumsi, bagaimana dan sumbernya dimana oleh China menjadi penting bagi dunia internasional.[3]
Food Security China di Laut China Selatan
Para ahli memperkirakan produksi makanan di tahun 2050 akan naik dua kali lipat untuk mencukupi kebutuhan pangan. Dengan lahan untuk tanaman terus berkurang, perikanan dan akuakultur (budidaya perikanan) akan menjadi sangat penting.[4] Hal ini dapat menjadi salah satu pertimbangan dari China. Populasi yang kedepannya akan meningkat sehingga dibutuhkan lebih banyak makanan untuk memberi makan rakyatnya. Sehingga akses dan ketersediaan terhadap seafood menjadi penting.
Sebagian besar sumber seafood China berasal dari pemancingan. Terbukti dari besarnya persentase memancing yang dilakukan oleh China yaitu sebesar 85%.[5] China saat ini tercatat sebagai salah satu negara terdepan dalam hal tersebut dan telah menangkap hampir 20% dari total penangkapan ikan di dunia.[6] Data-data ini membuktikan bahwa China ketersediaan seafood China bergantung pada tangkapan yang berasal dari Laut. Sehingga, untuk memenuhi kebutuhan seafoodnya, China tentunya memerlukan tempat memancing baru yang lebih besar.
China kemudian mengklaim kepemilikan atas sebagian besar wilayah Laut China Selatan. Kawasan itu diklaim sebagai historic fishing ground China. Hal ini memperlihatkan adanya kepentingan untuk memancing (fishing) daripada ekspansi wilayah di kawasan itu. Soal sumber daya laut, Laut China Selatan diketahui memang memiliki sumber daya laut yang melimpah dan tercatat 12% dari total tangkapan ikan di seluruh dunia berasal dari kawasan ini.[7] Hal ini memperlihatkan betapa penting keberadaan sumber daya laut di Laut China Selatan bagi pemenuhan kebutuhan seafood.
Konflik biasa terjadi antara individu, masyarakat (society) bahkan antar negara masalah akses untuk perikanan. Terkadang, eskalasi konflik perikanan juga dapat menyebabkan konfrontasi militer. Tercatat beberapa konflik akibat perikanan berakhir dengan eskalasi dan tensi yang tinggi antar negara yaitu perang dingin yang terjadi antara Iceland dan Inggris di tahun 1950an dan 1970an, serta antara China dan Jepang tahun 1920-1930an. [8] Hal ini membuktikan bahwa perselisihan sumber daya laut dapat membawa ketidakstabilan hubungan yang lebih besar (state to state) terutama untuk negara di mana food security merupakan hal yang rentan.
Populasinya yang terus meningkat tentu akan menuntut lebih banyak ‘perut’ yang harus diberi makan oleh pemerintah China. Hal ini membuat food security China menjadi cukup rentan. China memerlukan wilayah untuk memancing dengan kekuasaan lebih besar yang memaksa mereka bersikap ekspansionis dengan melewati ZEE milik negara lain di sekitar Laut China Selatan. Tuntutan itu juga terlihat dengan adanya tanda bahwa pemerintah China berada dibalik semua nelayan yang melakukan penangkapan ikan dalam ZEE negara lain. Kapal nelayan milik China tertangkap kerap kali didampingi atau dilindungi oleh kapal coast guard, seperti yang pernah terjadi ketika memasuki ZEE milik Indonesia di Natuna Utara.
Selain itu, China juga melakukan beberapa hal yang sekali lagi menunjukan pentingnya ketersediaan seafood demi menjamin food security. Beberapa tahun terakhir, motivasi China untuk mengurangi efek dari climate change meningkat dengan pesat. Hal ini dikarenakan ada hubungan erat antara efek climate change terhadap sumber daya laut. Menurut penelitian dan proyeksi yang dilakukan para ahli, climate change membawa perubahan pada produksi perikanan karena terjadinya perubahan angin, temperatur air, berkurangnya oksigen dan meningkatnya keasaman di laut. [9] China diestimasikan akan menjadi salah satu negara yang akan mengalami kerugian besar karena hal ini.
[1] Funing Zhong & Jing Zhu. “Food Security in China from Global Perspective”. Choices 2nd Quarter 32 (2). A Publication of the Agricultural & Applied Economics Association. (2017) 1
[2] Beatrice Crona., etc., “China at a Crossroads: An Analysis of China’s Changing Seafood Production and Consumption,” One Earth Perspective. Elsevier Inc. (2020). 32
[3] Nhuong Tran., Etc., “Indonesian Aquaculture Futures: An Analysis of Fish Supply and Demand in Indonesia to 2030 and Role of Aquaculture Using the AsiaFish Model”, Marine Policy Vol. 79, May 2017, (2017)
[4]Gibbens, Sarah, “Can the Ocean Feed A Growing World?”, 15 Agustus 2018 https://www.nationalgeographic.com/environment/article/news-fisheries-aquaculture-food-security
[5] Ibid. Gibbens.
[6] Kraska, in Building a Normative Order in the South China Sea: Evolving Disputes, Expanding Options, (2020), 126
[7] Asyura Salleh, “The South China Sea: Preventing the Tyranny of the Commons”, The Diplomat, (2020), https://thediplomat.com/2020/01/the-south-china-sea-preventing-the-tyranny-of-the-commons/
[8] McClanahan, T., Allison, E. H., & Cinner, J. E. (2015). Managing Fisheries for Human and Food Security Fish and Fisheries. 80.
[9] Op. Cit., McClanahan, 83-84 ium LiS01S!�