Kaiser Wilhelm Jerman dan Tsar Nicholas Rusia bertukar telegram: Wawasan Budaya Strategis Invasi Rusia

Sejak tahun lalu, Ukraina telah berusaha agar negaranya berbagung dengan NATO, mobilisasi pasukan Rusia mulai mendekat ke perbatasannya dengan Ukraina pada musim semi, tidak butuh waktu lama, pada November tahun 2021, gambar satelit yang diambil oleh Maxar Technologies menunjukkan penumpukan pasukan Rusia yang sedang berlangsung di dekat Ukraina dengan perkiraan segera melebihi 100.000 tentara.[1] Beberapa bulan kemudian, aksi ini disusul dengan pernyataan Rusia mengajukan tuntutan keamanan termasuk agar NATO menarik kembali pasukan dan senjata dari Eropa timur dan melarang Ukraina untuk bergabung NATO.

Di sisi lain, Amerika Serikat justru memerintahkan pasukan NATO untuk “berjaga” di wilayah negara-negara anggotanya yang berada di sekitar Ukraina dan memperingatkan Rusia jika Kremlin mengambil tindakan ekstrim pada awal tahun 2022. Hal ini disusul oleh pernyataan yang Putin mengatakan Ukraina adalah bagian integral dari sejarah Rusia dan memiliki rezim boneka yang dikelola oleh kekuatan asing.[2]

Pada tanggal 21 Februari 2022, Presiden Rusia Vladimir Putin memberikan pidato yang aneh dan kadang-kadang tidak beraturan yang menguraikan daftar panjang keluhan sebagai pembenaran untuk “operasi militer khusus” yang diumumkan pada hari berikutnya.[3] Bahwa ia menginginkan persatuan antara Rusia, Ukraina, dan Belarusia yang berasal dari satu kesatuan yang sama dan seharusnya tidak dapat dipisahkan.

Ketegangan antara Rusia dan negara-negara anggota NATO memuncak setelah beberapa negara menjatuhkan sanksi ekonomi kepada Rusia untuk menghentikan mobilisasi pasukannya. Namun tindakan negara-negara Barat tampaknya tidak menggentarkan Rusia dan akhirnya pada 24 Februari, Putin mengizinkan “operasi militer khusus” di Ukraina dengan memulai serangan rudal dan artileri, menyerang kota-kota besar Ukraina termasuk Kiev.

Tindakan Rusia, dapat dikatakan berakar pada sejarah yang telah dilalui Rusia. Terutama dalam bagaimana perkembangan wilayah kedaulatannya yang terpecah-pecah. Ungkapan history repeats itself” kini terjadi dan mungkin dapat dijelaskan lewat sebuah konsep yang merujuk tindakan dari sejarah yang pernah terjadi. Dalam hubungan internasional, ancaman merupakan hal nyata yang diterima oleh negara. Untuk meresponnya, berbagai cara dan pertimbangan dapat dilakukan. Namun aspek sejarah terkadang menjadi hal penting bagi sebagian pengambil kebijakan—seperti Putin—yang dikenal sebagai budaya strategis.

Budaya strategis merupakan perspektif alternatif dalam Hubungan Internasional yang muncul karena ketidakmampuan realisme dan neorealisme dalam menjelaskan bagaimana aktor negara bertindak melawan ancaman dari pihak lain.[4] Perspektif ini menekankan bahwa faktor pengalaman sejarah, ideologi politik, serta budaya militer mempengaruhi kepentingan nasional dan grand strategy sebuah negara.

Snyder menambahkan bahwa keunikan situasi, warisan sejarah, dan budaya militer serta peran militer dalam proses pembuatan kebijakan juga merupakan aspek budaya yang harus diperhatikan dalam menganalisis perilaku suatu negara melalui perspektif budaya strategis.[5] Untuk melihat doktrin militer, serta pidato dari presiden maupun pejabat militer untuk menganalisis bagaimana suatu negara berperilaku dalam menghadapi ancaman.[6] Catatan sejarah memperlihatkan bagaimana Rusia bertindak ketika Perang Dunia I berusaha dihentikan. Namun, karena tuntutan Rusia tidak dipenuhi oleh Jerman, mobilisasi militer Rusia kemudian menyerang Serbia.

Tepat pada hari ini, 108 tahun lalu, pada dini hari tanggal 29 Juli 1914, Tsar Nicholas II dari Rusia dan sepupu pertamanya, Kaiser Wilhelm II dari Jerman, memulai pertukaran telegram terkait perang yang baru saja meletus di wilayah Balkan dan kemungkinan menjadi perang besar di Eropa. Sebelumnya, Austria-Hungaria yang kemudian di dukung oleh Jerman menyatakan perang terhadap Serbia, setelah pembunuhan anggota kerajaan Franz Ferdinand dan istrinya oleh Serbia. Sehari setelahnya, Kaisar Jerman sendiri menugaskan Nicholas agar dapat menyelamatkan perdamaian Eropa dengan menghentikan angkatan bersenjata Jerman dengan mengatakan bahwa angkatan bersenjata Jerman tidak memiliki intensi untuk melakukan tindakan provokatif.[7]

Namun, Tsar di sisi lain juga berusaha menghentikan perang dengan menekankan tuntutannya akibat Austria-Hungaria—yang didukung Jerman—menyatakan perang terhadap Serbia, sebuah negara yang dianggap lemah oleh Rusia. Pernyataan perang itu kemudian dianggap sebagai “sebuah perang tercela.”[8] Membuat Rusia sangat marah. Walaupun Tsar dan Wilhelm masing-masing berusaha menghentikan perang, namun mobilisasi kedua negara dengan dasar bahwa masing-masing tindakan adalah “hal yang benar” tetap terjadi. Akibatnya, Rusia tetap memobilisasi angkatan bersenjatanya dimana ultimatum Jerman tidak dihiraukan oleh Moskow.

Dari pengalaman ini, aksi untuk “menginvasi” negara menjadi sebuah pengalaman sejarah, yang kemudian tercermin kembali pada invasi Rusia ke Ukraina sejak Februari lalu. Hal ini setidaknya dapat menjelaskan mengapa Rusia melangsungkan invasinya ketika dihadapkan pada ancaman bahwa Ukraina berusaha bergabung dengan NATO yang kemudian diperkuat karena tuntuan Rusia justru dibalas dengan penempatan angkatan bersenjata NATO di dekat wilayah Rusia.

[1] “Timeline: The events leading up to Russia’s invasion of Ukraine”, Reuters, 1 Maret 2022, https://www.reuters.com/world/europe/events-leading-up-russias-invasion-ukraine-2022-02-28/

[2] Ibid.

[3] Jeffrey Mankoff, “Russia’s War in Ukraine: Identity, History, and Conflict”, Center for Strategic & International Studies, 22 April 2022, https://www.csis.org/analysis/russias-war-ukraine-identity-history-and-conflict

[4] Maula Hudaya dan Dwi Aulia Putri, “Strategic Culture: The Answer of International Relations Study to Overcome Challenges in The Globalized World”, September 2018, https://pssat.ugm.ac.id/wp-content/uploads/sites/513/2019/03/Paper-1.pdf

[5] Jack L. Snyder, “The Soviet Strategic Culture: Implication for limited Nuclear Operations”, Santa Monica: Rand, 1977

[6] Ibid.

[7] “This Day History: July 29, Kaiser Wilhelm of Germany and Czar Nicholas of Russia exchange telegrams”, History, https://www.history.com/this-day-in-history/kaiser-wilhelm-of-germany-and-czar-nicholas-of-russia-exchange-telegrams

[8] Ibid.