Perang Dunia Ke II Archives

Perang Dunia Ke II

American servicemen and civilians smile as they celebrate news of the Japanese surrender and the end of World War II, Times Square, New York City. Piles of ticker tape lie in the street. Japanese forces formally surrendered to the Allies in a ceremony aboard the U.S.S. Missouri on September 2, 1945. (Photo by New York Times Co./Getty Images)

August 14 2023

14 August – VJ Day: The day the United States Win over Japan

Anita Susanto America, Asia Pacific, History, Security and Defence, Think amerika serikat, Jepang, Perang Dunia Ke II, VJ Day 0

On August 14, 1945, Japan unconditionally submitted to the Allies in a public declaration that would eventually come to be known as Victory Day. It was August 15 (due to time zone differences) in Japan. Japan formally submitted its surrender in writing on September 2, 1945, two weeks later.

Fighting went on between the Japanese and the Soviet Union in Manchuria and between the Japanese and the United States in the South Pacific despite the War Council of Japan having already sent an ambassadorial declaration of surrender to the Allies on August 10 at the urging of Emperor Hirohito. In fact, a Japanese submarine attacked the American destroyer Thomas F. Nickel and the American landing ship Oak Hill, both of which were east of Okinawa, two days after the Council decided to surrender.

On August 14, in the late afternoon, Japanese radio stated that an Imperial Proclamation recognizing the terms of an unconditional surrender outlined at the Potsdam Conference would soon be issued. The emperor had already written down that declaration. More than 1,000 Japanese soldiers rushed the Imperial Palace in an effort to locate the proclamation and stop it from being sent to the Allies as a result of the bad reception to the news. The invaders were repelled by Emperor Hirohito’s remaining soldiers.

The War Council member who was most adamant about refusing to surrender that day, General Anami, committed suicide that evening. His motivation was to make amends for the Japanese army’s failure and avoid having to listen to his emperor announce the country’s capitulation.

At the White House, U.S. president Harry S. Truman relayed the news to the American people; celebrations broke out in Washington, D.C. and across the country. At 7 p.m. on Aug. 14, 1945, President Harry S. Truman announced the unconditional surrender of Japan to reporters gathered at the White House.

Sailors at Naval Air Station Beaufort, S.C., listen to a radio broadcast announcing the news and war-weary citizens around the world erupted in celebrating V-J Day, known as Victory over Japan Day, that also marks the end of World War II. The US alliances, Australia, the Netherlands, New Zealand, South Korea and the United Kingdom celebrate August 15 as the V-J Day due to the different time zones.

This action can be said to be one part of crippling Japan, even though here the United States used more traditional “power”, but this had an impact on the geopolitical landscape where Japan really slumped after various attacks from the US.

The surrender of Japanese Emperor was later becoming a chance for Indonesia to formulate and declare their independence on August 17^th of 1940 by Soekarno and Mohammad Hatta which next becomes the first president and vice president of the Republic Indonesia.

Komando Pengebom XX B-29 Superfortress lepas landas dari sebuah lapangan terbang di India selama Juni 1944 (Sumber tertera via Wikipedia)

August 11 2023

11 Agustus – Pemboman Palembang

Anita Susanto America, Asia Pacific, Politics, Security and Defence, Think amerika serikat, History, Indonesia, Jepang, Palembang, Perang Dunia Ke II 0

Pihak AS dan dibantu oleh sekutunya Inggris telah berencana untuk menyerang wilayah pendudukan Jepang dalam misi Matterhorn kelima dan keenam pada pertengahan tahun 1944. Operasi ini adalah salah satu misi tempur terpanjang dari Perang Dunia II, dimana misi pengeboman menempuh jarak lebih dari 6.000 km untuk pulang pergi dalam waktu hampir 19 jam. Mengingat jarak yang sangat jauh dari pangkalan militer sekutu, pembom AS menerima bantuan pencarian dan penyelamatan dari tentara Inggris.

Misi Matterhorn melibatkan lebih banyak perencanaan dan kegiatan pendahuluan daripada yang diterbangkan oleh komando, dan dalam pelaksanaannya keberhasilan operasional melebihi hasil strategis yang diperoleh. Untuk berhasil dalam misi ini, komando AS telah meringankan beban yang berguna menjadi satu ton bom atau ranjau dan telah mengisi tangki bensin hingga kapasitasnya maksimalnya.[1] Untuk mengantisipasi hal ini, Inggris telah membentuk pasukan penyelamat udara-laut yang terdiri dari kapal selam, kapal penjelajah, kapal perusak, kapal ringan, dan berbagai jenis pesawat.[2]

Pada awal Agustus 1944, para pengebom terbang lurus ke Pulau Siberut tepat di bawah garis khatulistiwa, lalu mengarah ke timur melintasi Sumatera. Selusin pesawat gagal, karena berbagai alasan, untuk mencapai target, hanya tiga puluh sembilan mencapai tujuan mereka.[3] Komando Pengebom XX AS menjalankan tujuan utamanya untuk membom wilayah yang diduduki Jepang, sejumlah serangan terhadap kota-kota di Asia Tenggara yang berada di bawah pendudukan Jepang juga ikut dibombardir.

Mengapa Palembang?

Menurut informasi target yang tersedia di awal musim semi, kilang Pladjoe di Palembang tampaknya memiliki kepentingan strategis tertinggi. Dengan reputasi kapasitas produksi tahunan sebesar 20.460.000 barel minyak mentah, seharusnya kilang di Palembang memproduksi 22 persen bahan bakar minyak Jepang dan 78 persen bensin penerbangannya. Pemboman Pladjoe ini dirasa akan menimbulkan hambatan serius dalam operasi militer dan angkatan laut Jepang[4].⁷⁶

Hingga pada malam 10 dan 11 Agustus 1944, komando Pengebom XX Angkatan Udara Amerika Serikat (USAAF) melancarkan serangan udara di wilayah Palembang, yang diduduki oleh Jepang saat Perang Dunia II, yang dikenal sebagai Operasi Bumerang oleh Sekutu. Penyerangan ini dilancarkan dalam upaya pengeboman kilang minyak di Palembang dan menanamkan ranjau di Sungai Musi untuk menghalangi lalu lintas sungai untuk keperluan logistik Jepang.

Palembang pada saat itu tidak memiliki sistem untuk mendeteksi pesawat musuh, menyebabkan pengamatan sekilas Jepang tidak terlalu tepat.[5] Hal ini membuat delapan pesawat dari Grup 462d dapat terbang bebas di atas Musi dengan menukik di bawah langit-langit setinggi 1.000 kaki dan meletakkan 16 ranjau dalam pola yang baik dengan “hasil luar biasa”.[6]

Operasi Bumerang ini dapat dikatakan cukup sukses, karena tidak ada pesawat AS yang ditembak jatuh oleh senjata anti-pesawat Jepang atau pesawat tempur yang ditempatkan untuk melindungi Palembang, tetapi satu pesawat B-29 terpaksa melakukan pendaratan darurat setelah kehabisan bahan bakar saat kembali. Fasilitas minyak di Palembang kemudian kembali di bom oleh pesawat yang diluncurkan kapal induk Inggris pada 1945 menghasilkan kerusakan yang jauh lebih besar dibandingkan dengan serangan AS sebelumnya.[7]

[1] Craven, Wesley; Cate, James, ed. (1953). The Pacific: Matterhorn to Nagasaki, The Army Air Forces in World War II. Volume V. Chicago: The University of Chicago Press.

[2] Ibid.

[3] TMR #5, pp.7-8 dalam Craven dan Cate (1953).

[4] JPS 426/1, 18 Apr. 1944; JCS797/1, 20 Apr. 1944; TMR #s, 10/11 Aug. 1944 (22 Sep. 44), pp. 1-2, dalam Craven dan Cate (1953).

[5] TMR #5, pp 8, 15 dalam dalam Craven dan Cate (1953).

[6] Ibid

[7] Hobbs, David (2011). The British Pacific Fleet: The Royal Navy’s Most Powerful Strike Force. Annapolis, Maryland: Naval Institute Press. ISBN 9781591140443.