Mengapa Undang-Undang Anti Limbah Makanan China Perlu Diterapkan di Indonesia?

Konferensi G20 menekankan anggotanya untuk turut serta mencegah kenaikan suhu lebih dari 1.5C. Bahan bakar fosil merupakan pembahasan sekaligus permasalahan utama yang menyebabkan perubahan iklim. Namun, banyak aspek yang luput dari perhatian banyak pemimpin negara terkait komitmennya untuk menanggulangi pemanasan global. Salah satunya adalah tingginya limbah makanan yang berupa food loss (makanan mentah yang terbuang karena tidak dapat digunakan) dan food waste (makanan siap dikonsumsi yang dibuang) yang walaupun terkesan sebagai masalah kecil tetapi ternyata berdampak sangat besar.

Walaupun belum menjadi perhatian banyak negara, tetapi terdapat beberapa usaha menanggulangi permasalahan ini dan salah satunya adalah oleh China. Secara resmi China mengadopsi undang-undang mengenai limbah makanan. Setelah hampir 8 tahun melakukan kampanye nasional melawan limbah makanan seperti kampanye “Clean Plate”, rancangan undang-undang anti limbah makanan diajukan ke Komite Tetap Kongres Rakyat Nasional pada 23 Desember 2020 dan disahkan pada akhir bulan April tahun 2021. Undang-undang ini mengatur secara rinci mengenai bagaimana China berusaha mengurangi limbah makanan dengan drastis dengan cara represif yaitu memberlakukan denda yang cukup besar.

Secara umum, undang-undang ini mengatur pengolahan limbah di level masyarakat dan usaha. Salah satunya China melarang video makan dengan porsi besar yang tengah menjadi tren dengan denda hingga 100.000 yuan. Pemerintah wilayah maupun otoritas diatasnya dapat memberi peringatan dan denda untuk siapapun yang menyisakan makanan dari 1.000 – 10.000 yuan.[1]

Mengapa limbah makanan perlu dikelola dengan baik? Limbah makanan yang biasanya tidak begitu diperhatikan banyak pihak ternyata memiliki dampak besar terhadap kerusakan lingkungan. Sejalan dengan agenda pertemuan-pertemuan internasional yang membahas lingkungan dan peubahan iklim seperti COP26,  limbah makanan juga perlu menjadi perhatian global. Limbah makanan dalam skala kecil tidak terasa seperti masalah, tetapi jika dihitung dan diperhatikan pada level yang jauh lebih besar, limbah makanan merupakan masalah besar.

Pada level nasional, limbah makanan di Indonesia mencapai 23 juta ton-48 juta ton per tahun pada periode 2000-2019 menurut Bappenas,[2] dan 77kg per kapita dan hampir 21 juta ton pertahunnya menurut Food Waste Index 2021 dari The Food and Agriculture Organiation (FAO). Limbah sebanyak ini juga berdampak pada kerugian ekonomi sebesar Rp213 triliun hingga Rp551 triliun per tahun atau setara 4 persen-5 persen Produk Domestik Bruto (PDB) Indonesia.[3]

Dengan dana sebesar itu, tentu jika dapat dilakukan tindakan preventif agar meminimalisir limbah limbah. Dana tersebut dapat dialokasikan ke hal yang lebih penting guna mereduksi ancaman lain. Salah satu contoh permasalahan negara yang terjadi akibat faktor pangan adalah gagal panen di Korea Utara yang menyebabkan naiknya harga pangan karena komoditas yang menjadi langka di pasaran. Manajemen pangan yang baik menghasilkan minimnya limbah makanan ini dapat menjadi cara untuk membantu penyelesaian masalah seperti gagal panen karena cadangan dana dan pangan tersedia.

Selain itu, pengurangan limbah makanan ini juga berpengaruh langsung kepada kesejahteraan masyarakat. Menurut PBB, jumlah limbah makanan 20 tahun terakhir di Indonesia dapat memberi makan sekitar 61-125 juta orang Indonesia.[4] Dimana menurut Anissa Ratna Putri, Consulting Manager dan Team Leader FLW Study dari Waste4Change, mengatakan bahwa sebanyak 44% limbah makanan berasal dari kategori padi.[5] Sehingga jika limbah makanan diatasi, lebih banyak masyarakat akan terbantu dengan tidak langkanya bahan pangan sehingga harga terjangkau.

Perencana Direktorat Lingkungan Hidup, Bappenas, Anggi Pertiwi Putri, mengatakan data ini menimbulkan ketimpangan pangan yang terjadi di masyarakat.  Padahal, sekitar 8,34 persen penduduk Indonesia masih mengalami kekurangan pangan.[6] Walaupun menurut Global Hunger Index, tingkat kelaparan masyarakat Indonesia ada di level sedang (moderate) yang seharusnya dapat dikurangi jika adanya pengaturan mengenai limbah makanan.

Selain merugikan negara dari segi ekonomi, dan juga kesejahteraan masyarakat, limbah makanan turut menyumbang masalah pencemaran lingkungan dan perubahan iklim.  Limbah makanan menyumbang 7,3% emisi gas rumah kaca (GRK) setiap tahun di Indonesia.[7] Dimana jumlah emisi yang dihasilkan mencapai 1.702,9 mega ton CO2-ek.[8] Sejalan dengan pidato Presiden Joko Widodo yang mengatakan bahwa Indonesia berkomitmen untuk menangani perubahan iklim, seharusnya  juga mengatur pengolahan limbah yang terkesan sebagai permasalahan kecil ini.

Di Indonesia sendiri, belum banyak pihak yang mepraktikan dan mengkampanyekan kesadaran akan pentingnya mengurangi limbah makanan. Hanya organisasi-organisasi lingkungan seperti kampanye #berkahpiringkosong oleh APRIL Group dan ZeroWasteID, serta kampanye seperti yang dilakukan Bank DBS yang menjalankan praktik bisnis berkelanjutan menginisiasi gerakan #MakanTanpaSisa dalam kampanye “Towards Zero Food Waste”, guna mendorong masyarakat sebagai konsumen untuk lebih memperhatikan dan peduli terhadap makanan yang mereka konsumsi agar mengurangi limbah makanan yang dihasilkan.[9]

Selain kesadaran di level masyarakat yang minim, pemerintah juga tidak banyak melakukan aksi terkait penanganan dan juga usaha untuk menumbuhkan  limbah makanan, walaupun begitu Bappenas sendiri mengatakan bahwa Indonesia mulai berkomitmen mengurangi dan melakukan penanganan limbah. Bappenas menargetkan untuk menurunkan jumlah limbah makanan hingga 55,88% pada 2045. Sejak periode 2000-2019 sendiri limbah food loss sebenarnya mengalami penurunan dari 61% menjadi 45%, namun sebaliknya, food waste mengalami peningkatan.[10]

Limbah makanan tentu menjadi salah satu limbah  paling umum di masyarakat, kurangnya pengertian dan pengarahan untuk meminimalisir limbah menjadikan target pemerintah Indonesia untuk mengurangi limbah makanan tidak efektif. Salah satunya adalah lewat pembuatan undang-undang. Sampai saat ini, undang-undang yang mengatur pengelolaan limbah bersumber pada Undang-undang No.18 Tahun 2008 mengenai pengelolaan limbah dan juga Peraturan Pemerintah No. 81 Tahun 2012 mengenai pengelolaan sampah rumah tangga dan sampah sejenis sampah rumah tangga.

Isi dari undang-undang yang  membahas mengenai pengelolaan limbah rumah tangga ini terlalu umum. tDimana tidak menjelaskan secara tersurat mengenai limbah makanan, serta tidak menargetkan masyarakat sebagai aktor utama yang perlu bertindak menangani limbah makanan. Dengan peraturan anti limbah makanan seperti yang diterapkan China, seharusnya tren limbah makanan berkurang.

Sebagai negara dengan jumlah populasi yang banyak, tentu penanganan limbah makanan perlu diperhatikan dan diterapkan untuk kemaslahatan bersama sebagaimana green theory mempertanyakan tentang hubungan antara dan di antara manusia dan lingkungan dalam konteks komunitas dan pengambilan keputusan kolektif.

Undang-undang yang diterapkan oleh China memaksa masyarakatnya untuk menggunakan pangan secara bijak yang berdampak baik ke banyak aspek. Lewat tindakan masyarakat, tentu pemerintah lebih mudah dalam penanganan dan manajemen limbah agar mengurangi kerugian dari segi ekonomi dan lingkungan.

 

 

[1] “Anti-Food Waste Law of the People’s Republic of China“, Chinese National People’s Congress, 29 April 2021,  http://www.npc.gov.cn/npc/c30834/202104/83b2946e514b449ba313eb4f508c6f29.shtml

[2] “Bappenas: Limbah Makanan RI Capai 48 Juta Ton Per Tahun”. CNN Indonesia, 9 Juni 2021, https://www.cnnindonesia.com/ekonomi/20210609112128-532-652051/bappenas-limbah-makanan-ri-capai-48-juta-ton-per-tahun

[3] Ibid.

[4] “Policy Briefing: Policy Reform to Reduce Food Loss and Waste and Support Low Carbon Development in West Java, Indonesia”, UN PAGE, 1 Juli 2021, https://www.un-page.org/files/public/policy_brief_flw_policy_scoping_west_java_province.pdf

[5] https://www.kompas.com/food/read/2021/10/27/133600175/limbah-makanan-di-indonesia-jadi-permasalahan-serius-?page=all

[6] Silvita Agmasari, “Sampah Makanan di Indonesia Jadi Permasalahan Serius”, Kompas, 27 Oktober 2021,  https://www.cnnindonesia.com/ekonomi/20210609112128-532-652051/bappenas-limbah-makanan-ri-capai-48-juta-ton-per-tahun

[7] Op. Cit., UN PAGE.

[8] Ibid.

[9]  Yandri Daniel Damaledo, “Bank DBS Dukung Kampanye Kurangi Sampah Makanan di Indonesia”, Tirto.id, 11 Desember 2020, https://tirto.id/f73y

[10] Verda Nano Setiawan, “Kerugian Limbah Makanan RI Dua Dekade Terakhir Capai RP 551 Triliun”, Katadata, 24 Agustus 2021, https://katadata.co.id/happyfajrian/berita/6124cab6550a4/kerugian-limbah-makanan-ri-dua-dekade-terakhir-capai-rp-551-triliun