Organisasi Perdagangan Dunia Dukung Uni Eropa atas Indonesia Soal Isu Kelapa Sawit
Para ahli dari Organisasi Perdagangan Dunia (WTO) sebagian besar mendukung pembatasan penggunaan minyak kelapa sawit dalam bahan bakar nabati oleh Uni Eropa, setelah adanya keluhan dari Indonesia. Keputusan panel yang disampaikan pada hari Jumat (10/1/2025), menyimpulkan bahwa meskipun tindakan-tindakan Uni Eropa tersebut sebagian besar sejalan dengan peraturan perdagangan, namun ada beberapa kekurangan yang ditemukan dalam persiapan, publikasi, dan administrasi pembatasan tersebut.
Sengketa ini berpusat pada Arahan Energi Terbarukan Uni Eropa tahun 2018 (RED II), yang membatasi penggunaan bahan bakar nabati berbasis tanaman untuk memenuhi target energi terbarukan dan bertujuan untuk menghapuskan bahan bakar nabati berbasis kelapa sawit secara bertahap pada tahun 2030. Uni Eropa telah menjustifikasi langkah-langkah ini dengan melabeli produksi minyak kelapa sawit sebagai produksi yang tidak berkelanjutan.
Indonesia, produsen minyak kelapa sawit terbesar di dunia, mengajukan keluhan pada tahun 2019, menentang keputusan Uni Eropa tersebut. Keputusan serupa dikeluarkan oleh panel WTO pada tahun 2024 terkait keluhan Malaysia atas masalah yang sama. Bersama-sama, Indonesia dan Malaysia menyumbang sebagian besar produksi minyak kelapa sawit dunia, yang merupakan bahan baku berbagai produk, mulai dari makanan hingga kosmetik.
Kelompok-kelompok lingkungan telah lama mengkritik produksi minyak kelapa sawit karena kontribusinya terhadap deforestasi dan hilangnya keanekaragaman hayati, karena wilayah hutan hujan yang luas telah dibuka untuk perkebunan. Keputusan WTO ini semakin memperumit perdebatan yang sedang berlangsung mengenai keseimbangan antara kepentingan perdagangan dan masalah lingkungan.
Indonesia berupaya menyamakan data perhutanan dengan standar keberlanjutan Uni Eropa
Sebelumnya pada tahun 2024 lalu, Indonesia sedang berupaya meningkatkan sistem data hutan dan rantai pasoknya untuk memenuhi Peraturan Deforestasi Uni Eropa (EU Deforestation Regulation/EUDR), yang melarang impor komoditas seperti kelapa sawit, kopi, dan kakao yang terkait dengan deforestasi. Peraturan tersebut mengharuskan produsen dan perusahaan yang memperdagangkan komoditas tersebut ke Uni Eropa untuk memberikan bukti terperinci yang membuktikan bahwa komoditas tersebut tidak diproduksi dari lahan yang mengalami deforestasi sejak tahun 2020. Peraturan baru ini memberikan waktu kepada produsen dan perusahaan hingga 30 Desember 2024 untuk mematuhi peraturan tersebut.
Namun, terdapat perbedaan antara data hutan Indonesia dan peta Forest Observatory Uni Eropa. Uni Eropa menggunakan data Forest Observatory-nya untuk memantau perubahan hutan dan sungai, sedangkan Indonesia menggunakan sistem monitoringnya sendiri bernama SIMONTANA. Uni Eropa menggunakan definisi ‘hutan’ berdasarkan Organisasi Pangan dan Pertanian PBB, sedangkan Indonesia menggunakan definisinya sendiri.
Menurut Indonesia, Uni Eropa melebih-lebihkan tutupan hutan dengan memasukkan semak belukar dan lahan pertanian, yang menimbulkan kekhawatiran bahwa Indonesia akan dicap sebagai negara “berisiko tinggi”, yang berpotensi membuat ekspornya diawasi lebih ketat.
Guna mengatasi hal ini, Indonesia bekerja sama dengan para pejabat Uni Eropa untuk menyelaraskan definisi dan data hutan sebelum implementasi EUDR pada bulan Desember 2024. Duta besar Uni Eropa untuk Indonesia, Denis Chaibi, menyatakan bahwa pemerintah Indonesia sudah melakukan pendekatan dengan Uni Eropa, mengindikasikan peta yang disiapkan oleh pusat penelitian gabungan Eropa memiliki kekeliruan. Maka dari itu pada pertemuan Indonesia dan Uni Eropa tahun 2024 lalu, kedua pihak membandingkan catatan dan peta untuk menyelaraskan data.
Apa selanjutnya?
Kecuali jika laporan panel WTO diajukan banding, laporan tersebut harus diadopsi oleh Badan Penyelesaian Sengketa WTO dalam waktu dua bulan ke depan (60 hari). Jika diadopsi, laporan tersebut akan mengikat Indonesia dan Uni Eropa. Uni Eropa kemudian akan mengambil langkah-langkah yang diperlukan untuk menghormati kewajiban-kewajiban WTO. Para pihak biasanya mencoba untuk menyepakati jangka waktu yang masuk akal bagi Anggota WTO yang bersengketa untuk mematuhinya. Jika hal ini tidak dapat disepakati, maka akan diputuskan oleh arbiter.