Pandangan Orang Indonesia soal Peran China di wilayah ASEAN

Association of Southeast Asian Nations (ASEAN) dan China sudah membangun hubungan kerja sama selama lebih dari tiga dekade. Terdapat perkembangan dan perubahan fokus selama dinamika politik yang turut memengaruhi hubungan ASEAN-China. Kondisi peningkatan konflik di Myanmar hingga kondisi pasca pandemi Covid-19 menjadi beberapa isu yang menjadi fokus hubungan ASEAN-China. Lalu, bagaimana orang Indonesia memandang peran China dalam hubungannya dengan ASEAN, terutama krisis Myanmar?

 

 

Hubungan kerja sama China di ASEAN, dari dagang hingga vaksin Covid-19

Dalam upaya memenuhi kebutuhan dan melindungi kepentingan nasional, negara akan bekerja sama dengan pihak lain baik negara maupun organisasi asing. Kerja sama internasional dapat mencakup hanya satu aspek saja, hingga beberapa aspek yang saling mendukung dan berkembang.

Koesnadi Kartasasmita memandang bahwa kerja sama internasional terjadi akibat dari adanya hubungan internasional serta akibat dari bertambahnya hal kompleks dalam kehidupan manusia dalam masyarakat internasional. Bukan rahasia umum bahwa mayoritas negara di ASEAN banyak bergantung secara ekonomi pada China.

 

Indonesia dalam kepemimpinan inward-looking Presiden Joko Widodo (Jokowi) juga memandang hal yang sama. Jokowi mengakui terdapat beberapa hasil nyata dalam kerja sama antara ASEAN dan China, terutama dalam bidang perekonomian.

Berdasarkan data dari Kementerian Luar Negeri RI, dalam 30 tahun terakhir perdagangan dengan China meningkat hingga 82 kali lipat. Jumlah perdagangan meningkat nilainya dari USD8.36 miliar menjadi USD685.28 miliar. Angka yang melambung tinggi ini juga terbentuk dari proses pembangunan kepercayaan dan kemitraan yang menguntungkan semua pihak.

 

China sudah menjadi rekan terbesar perdagangan di ASEAN sejak tahun 2009 lalu. China berhasil melampaui angka kerja sama perdagangan ASEAN-Jepang, dan terus mengembangkan kerja sama ekonomi, sehingga ASEAN juga menjadi rekan dagang kedua terbesar bagi China.

Bea cukai China memaparkan bahwa dalam delapan bulan pertama tahun 2020 kemarin, impor dan ekspor China ke ASEAN adalah USD553,92 miliar. Angka ini meningkat sekitar 33,3 persen, dan menyumbang setidaknya 14,5 persen dari total perdagangan luar negeri China selama periode yang sama. Eratnya hubungan ekonomi ini yang terus dibangun dan dijaga oleh kedua pihak.

 

Dalam ekspor China ke ASEAN, produk padat karya yakni tekstil dan pakaian mengalami peningkatan, sementara dalam impor yakni produk minyak mentah, karet dan kayu bulat dari ASEAN. Selain itu, jumlah proporsi produk mekanik dan listrik ekspor China ke ASEAN juga meningkat dari 28,9 persen pada 1993 menjadi 53,3 persen pada 2020. Peningkatan kerja sama ekonomi kedua pihak membentuk pandangan masyarakat ASEAN atas China.

Survey dari Foreign Policy Community of Indonesia (FPCI) memaparkan bahwa bagi orang Indonesia, hubungan saat ini antara ASEAN-China menguntungkan kedua pihak. Mayoritas masyarakat yakni sekitar 65 persen memandang positif hubungan antara ASEAN dan China.

 

Dalam masa pandemi, China juga memberikan bantuan vaksin yakni Sinovac ke wilayah ASEAN mencapai 120 juta dosis, yang hampir lima kali lebih banyak dibandingkan bantuan dari Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB). Bahkan untuk di Indonesia sendiri, lebih dari 90 persen dosis vaksin merupakan vaksin dari China.

Kerja sama dan bantuan China pada ASEAN terutama Indonesia pada masa pandemi Covid-19 turut membentuk pandangan positif. Dalam survey FPCI yang sama, sekitar 70 persen masyarakat percaya bahwa kerja sama dan hubungan ASEAN-China akan mendukung percepatan pemulihan ekonomi pasca pandemi Covid-19.

Mayoritas masyarakat Indonesia juga memandang bahwa bantuan vaksin yang diberikan China pada masyarakat ASEAN memiliki tujuan yang baik. Maksud ‘baik’ bantuan China dipertegas oleh Menlu China yang menyatakan bahwa China akan terus memperdalam hubungan dengan para pemimpin ASEAN.

 

Peran China di Myanmar dinilai kurang mendukung ASEAN

Meskipun secara ekonomi peran China dipandang secara positif, namun terkait dengan isu Myanmar, terbentuk perbedaan pandangan. Perbedaan pandangan ini mengacu pada peran politik China di ASEAN, dan mekanisme yang sudah dilakukan oleh ASEAN atas Myanmar. China cukup dekat dengan Myanmar, sehingga sekitar 38.55 persen responden Indonesia tidak yakin kalau China perlu memiliki peran yang lebih besar dalam mengatasi isu ini. Hanya sekitar 35.42 persen responden saja menilai China memerlukan peran yang lebih besar dalam isu Myanmar.

Dikaitkan dengan kebijakan dan pandangan China, pada saat Jokowi menginisiasi ASEAN Summit, China meminta agar ASEAN mengundang perwakilan pemimpin militer Myanmar yakni Jenderal Senior Min Aung Hlaing. Namun, pemimpin ASEAN menolak lobi politik China dan menilai hanya aktor non-politik saja yang bisa hadir. Akhirnya Myanmar menolak permintaan tersebut dan memilih tidak mengirimkan perwakilannya.

 

Keputusan ini menunjukkan posisi ASEAN yang tidak akan menerima pemimpin yang dianggap menyalahi nilai demokrasi yang dijunjung ASEAN. Kudeta militer yang dilakukan oleh junta Myanmar menyalahi prinsip pemilihan umum yang adil karena pemerintahan presiden Myanmar sudah dilakukan sesuai nilai demokrasi. Selain itu, penggunaan kekerasan, penyanderaan demonstran, serta penangkapan elit politik sipil oleh junta militer juga menyalahi perlindungan nilai hak asasi manusia.

China memilih untuk berada di ‘tengah-tengah’ dalam isu Myanmar. Di satu sisi, China menyatakan dukungannya pada ASEAN untuk mengatasi isu Myanmar, namun di sisi lain China juga terus mendukung kekuatan militer Myanmar. Kondisi ini dikarenakan China memiliki kepentingan yakni ekonomi dan politik atas Myanmar, terutama dalam memperlancar China-Myanmar Economic Corridor (CMEC).

 

CMEC merupakan projek infrastruktur yang juga mendukung projek lebih besar China yang lain yakni proyek Belt and Road Initiative (BRI). Guna memperlancar ambisi ekonomi serta memperkuat posisi dan pengaruh politiknya, China memerlukan kestabilan di Myanmar. China juga berupaya untuk terus menjaga hubungan dengan ASEAN.

Dukungan China atas Myanmar cukup beragam mulai dari investasi baru, arus dagang senjata, hingga vaksin pada junta militer. China mengirimkan kapal selam bertenaga diesel ke Myanmar. Selanjutnya secara ekonomi, junta militer Myanmar menghasilkan sekitar USD725 juta dari perusahaan-perusahaan China. Investasi dan arus senjata yang diberikan China memberikan kesempatan bagi junta untuk tetap mempertahankan kekuasaannya.

Di sisi lain, China juga menyadari kondisi kudeta militer tidak berpengaruh baik dalam mencapai kepentingan China dalam jangka panjang.  China secara formal mendukung penurunan eskalasi kekerasan atas sipil di Myanmar, di mana hal ini tidak cukup. Menyadari ketergantungan junta militer Myanmar atas China, seharusnya China dapat lebih menekan Myanmar secara politik. Meski secara ekonomi masyarakat Indonesia memandang peran China di ASEAN dengan cukup positif, namun secara politik, peran China terutama di isu Myanmar dipandang belum cukup efektif.