PM Jepang Kishida memerintahkan pembangunan pembangkit listrik tenaga nuklir baru
![_126427122_7bf254311798e009e4fc36c5b5ecf98cab1816c4 _126427122_7bf254311798e009e4fc36c5b5ecf98cab1816c4](https://dip.or.id/wp-content/uploads/2022/08/126427122_7bf254311798e009e4fc36c5b5ecf98cab1816c4-1024x585.jpeg)
Jepang memasuki fase baru dalam kebijakan energi nuklir, Perdana Menteri Fumio Kishida pada hari Rabu (23/8) memerintahkan akan memulai kembali pembangunan pembangkit nuklir yang lebih 10 tahun menganggur pasca bencana Fukushima serta demi pengembangan reaktor nuklir generasi berikutnya. Keputusan PM Kishida untuk mengindahkan beban politik yang dihadapi dalam sektor tenaga nuklir dimaksudkan untuk mengendalikan melonjaknya biaya energi bagi rumah tangga dan perusahaan dan untuk mendukung produsen teknologi nuklir Jepang.
“Pemerintah akan mempertimbangkan untuk memperpanjang umur reaktor nuklir yang ada – menyoroti bagaimana krisis Ukraina dan melonjaknya biaya energi telah memaksa perubahan opini publik dan pemikiran ulang kebijakan terhadap tenaga nuklir. Apa pun yang terjadi secara global, kita perlu mempersiapkan segala kemungkinan sebelumnya untuk meminimalkan dampaknya terhadap kehidupan masyarakat” ujar PM Kishida.
Tidak adanya pembangkit nuklir baru yang dibangun di Jepang sejak bencana 2011, ketika gempa bumi terbesar dalam sejarah negara itu menyebabkan kehancuran di pembangkit listrik Fukushima Daiichi. Dari 10 reaktor secara resmi terdaftar telah dihidupkan kembali, hanya lima yang benar-benar menyediakan daya. Salah satunya, Genkai No. 4 di Prefektur Saga, akan segera offline untuk menyelesaikan peninjauan keselamatan yang diperlukan untuk di musim dingin. Lima lainnya masih belum beroperasi karena mereka sedang menyelesaikan pekerjaan keselamatan yang perlu dihidupkan kembali, atau mereka sedang offline untuk pemeriksaan rutin.
Rencana untuk meneliti pembangunan reaktor nuklir baru, yang menurut para ahli bisa lebih aman daripada yang menggunakan teknologi yang ada, menandai perubahan kebijakan pemerintah sejak krisis Fukushima. Kebijakan energi Jepang sebagian besar telah lumpuh sejak bencana 2011 yang memaksa Jepang melakukan penutupan terhadap sebagian besar reaktor nuklirnya. Hal ini berdampak memaksa Jepang untuk beralih ke sumber energi konvensional yakni batu bara, gas alam dan bahan bakar minyak walaupun Jepang telah berjanji untuk mencapai emisi nol karbon bersih pada tahun 2050.
Kenaikan besar harga energi global yang sebagian besar didorong oleh perang Ukraina telah membuat negara-negara lain mempertimbangkan kembali kebijakan energi, tak terkecuali Jepang yang turut mengimpor sebagian besar energinya, dimana Jepang bergantung pada Rusia untuk sekitar 9 persen dari kebutuhan gas alam cairnya.
Tom O’Sullivan dari konsultan energi Mathyos, menyatakan bahwa sekarang adalah waktu yang tepat bagi Jepang untuk merevisi kebijakan reactor nuklir ini mengingat Jepang sudah membayar lebih untuk listrik daripada kebanyakan negara G7 lainnya, yang menjadikan masalah terhadap daya saing industri Jepang.
Sebelum Fukushima, Jepang memperoleh sekitar sepertiga listriknya dari reaktor nuklirnya. Sekarang, hanya enam yang beroperasi dengan upayang pengaktifan kembali terhambat oleh serangkaian insiden keselamatan dan ketidakpercayaan publik yang mendalam terhadap Tepco dan perusahaan listrik lainnya. Menghidupkan kembali pembangkit nuklir telah menjadi fokus lobi yang intensif oleh perusahaan-perusahaan Jepang tahun ini, menurut orang-orang yang terlibat langsung. Ancaman pemadaman listrik Tokyo dan perang Ukraina adalah bagian besar dari perluasan jumlah perusahaan yang terlibat, kata mereka, meskipun banyak yang benar-benar memulai seruan mereka untuk memulai kembali setelah peringatan 10 tahun krisis Fukushima.
Meskipun telah ada tanda-tanda bahwa adanya peningkatan opini positif oleh publik, terhadap upaya pengaktifan kembali reaktor nuklir mengingat kekhawatiran tentang kenaikan harga energi, walaupun suara oposisi tetap ada. Berdasarkan jajak pendapat nasional yang dilakukan oleh NNN dan Yomiuri Shimbun menunjukkan hasil survei bahwasanya selama reaktor memenuhi standar keselamatan yang ditetapkan oleh Otoritas Regulasi Nuklir, maka 54% responden mendukung pengaktifan Kembali reactor nuklir, sementara 37% menentang.