Industri pertahanan Jepang mendapatkan kabar gembira pada 5 Agustus 2025 karena Mitsubishi Heavy Industries (MHI) berhasil memenangkan kontrak pembelian 11 fregat multiguna (FFG) kelas Mogami untuk Angkatan Laut Australia (RAN) dengan nilai sebesar USD 6,5 miliar. Jepang berhasil memenangkan kontrak tersebut setelah pemerintah Australia mengadakan proses tender antara industri pertahanan dari empat negara yakni Thyssenkrup Marine Systems dari Jerman, Navantia dari Spanyol, Daewoo dan Hyundai dari Korea Selatan, dan MHI dari Negeri Sakura. Dalam proses tender tersebut MHI dan Badan Akuisisi Teknologi dan Logistik Jepang (ATLA) berkoordinasi untuk memastikan bahwa FFG kelas Mogami yang mereka tawarkan dapat memenuhi seluruh persyaratan yang telah ditetapkan oleh pemerintah Australia dalam program SEA 3000 Frigate mereka.
Keberhasilan industri pertahanan Jepang dalam mengekspor salah satu sistem persenjataan canggih mereka merupakan sebuah perkembangan signifikan karena sebelumnya Negeri Sakura tidak pernah mengekspor persenjataan ke negara manapun. Hal ini merupakan sesuatu yang sengaja karena pada tahun 1967 pemerintah Jepang mengesahkan peraturan Tiga Prinsip Eskpor Persenjataan yang melarang industri pertahanan Jepang untuk menjual persenjataan mereka ke negara manapun. Alhasil seluruh produk senjata buatan industri pertahanan Jepang seperti MHI secara ekslusif digunakan oleh Pasukan Pertahanan Jepang (JSDF). Keengganan Jepang untuk mengekspor persenjataan pada saat itu merupakan aksi yang wajar karena setelah perang dunia ke-2, Negeri Sakura ingin menunjukan komitmen mereka untuk mempertahankan perdamaian dunia dengan berpegang teguh terhadap prinsip pasifisime yang tertera dalam Pasal 9 Konstitusi Jepang.
Akan tetapi pada tahun 2014 Perdana Menteri (PM) Shinzo Abe dan selanjutnya PM Fumio Kishida melonggarkan peraturan tersebut yang membuka peluang bagi industri pertahanan Jepang untuk mengekspor senjata mereka. Pelonggaran aturan tersebut dilakukan akibat dari perubahan dinamika politik internasional seperti aneksasi Krimea oleh Rusia, klaim 9-dash line China di Laut China Selatan, dan uji coba senjata nuklir yang dilakukan Korea Utara. Selain itu keengganan Jepang untuk mengekspor persenjataan di era perang dingin menyebabkan industri pertahanan Negeri Sakura tertinggal dengan perkembangan teknologi pertahanan dan kesempatan untuk melakukan pengembangan senjata bersama dengan negara lain. Oleh karena itu Jepang perlu mengejar ketertinggalan tersebut dengan mengekspor persenjataan mereka kepada pembeli selain JSDF dan mengikuti program pengembangan senjata bersama. Akan tetapi upaya awal Jepang untuk mengekspor persenjataan kepada pembeli mancanegara mengalami banyak kegagalan akibat dari kurangnya pengalaman Negeri Sakura dalam memasarkan persenjataan mereka serta tidak adanya sinkronisasi antara industri pertahanan, kementerian, dan badan pemerintah terkait.
Hal tersebut bisa dilihat pada tahun 2016 saat Jepang menawarkan kapal selam penyerang (SSK) kelas Soryu mereka kepada pemerintah Australia dengan mengikuti proses tender program SEA 1000 Future Submarine Program dengan kontrak sebesar USD 50 miliar. SSK kelas Soryu buatan Jepang gagal memenangkan proses tender tersebut akibat dari berbagai faktor seperti industri pertahanan Jepang tidak sinkron dengan keinginan pemerintah Jepang, terlalu mengandalkan kedekatan antara kedua pemimpin negara untuk memastikan keberhasilan proses tender, dan keengganan pemerintah Jepang untuk melakukan produksi bersama dengan industri pertahanan Australia. Alhasil SSK kelas Barracuda buatan DCNS Prancis berhasil memenangkankontrak tersebut dan Jepang terpaksa melakukan introspeksi dengan melihat kekurangan selama proses tender dengan harapan di proses selanjutnya Negeri Sakura dapat meyakinkan negara tujuan bahwa persenjataan buatan mereka adalah pilihan tepat.
Introspeksi tersebut membuahkan hasil karena FFG kelas Mogami berhasil memenangkan tender yang dilakukan oleh pemerintah Australia untuk menggantikan armada fregat kelas Anzac yang sudah usang. Kemenangan ini berhasil didapatkan Jepang karena sektor industri pertahanan dan pemerintah bekerja sebagai satu tim terpadu untuk memastikan bahwa kapal yang mereka tawarkan memenuhi seluruh persyaratan yang telah ditetapkan oleh pemerintah Australia dari aspek kapabilitas yang diinginkan, transfer teknologi, dan pembangunan kapal melalui kerja sama dengan perusahaan Negeri Kangguru. Akan tetapi kemenangan ini juga membuka tantangan baru karena Jepang harus menyesuaikan spesifikasi FFG kelas Mogami dengan keinginan RAN.
Walaupun demikian, keberhasilan Jepang memenangkan kontrak pembelian FFG kelas Mogami merupakan sebuah terobosan karena hal tersebut menunjukan bahwa persenjataan buatan Negeri Sakura memiliki kapabilitas memadai dan dapat disesuaikan berdasarkan keinginan pihak yang ingin menggunakan. Hal ini juga dapat membuka pintu bagi Jepang peluang lebih besar memenangkan kontrak pembelian dari negara lain yang telah menunjukan ketertarikan untuk membeli persenjataan buatan industri pertahanan Negeri Sakura seperti India, Indonesia, dan Vietnam. Akan tetapi perlu ditekankan bahwa selain menggunakan upaya ekstensif dan komprehensif untuk meyakinkan negara yang tertarik, Negeri Sakura juga perlu menjadi lebih kreatif dalam memasarkan persenjataan mereka karena aksi tersebut diperlukan untuk meyakinkan calon pembeli bahwa persenjataan buatan mereka merupakan pilihan tepat. Upaya tersebut dapat mencakup transfer of technology (ToT) yang lebih ekstensif, modularitas sistem persenjataan, jasa pemeliharaan setelah pembelian, dan harga yang lebih kompetitif dibandingkan industri pertahanan negara lain.