Krisis Demografi China, Tantangan Keamanan Ekonomi dengan Implikasi Jangka Panjang
China dihadapkan tantangan terkait krisis demografi, seperti populasi lansia yang terus meningkat. Saat ini, lebih dari 20% warga China berusia 60 tahun ke atas, dan jumlahnya diperkirakan mencapai 400 juta pada 2040. Banyak keluarga yang mulai mempertimbangkan untuk menitipkan orang tua mereka di panti jompo, namun terhalang oleh biaya fasilitas perawatan lansia di China yang tergolong tinggi untuk fasilitas swasta, serta memiliki daftar tunggu yang panjang untuk fasilitas umum. Hal ini lalu membuat beberapa diantaranya lebih memilih untuk merawat orang tua mereka sendiri.
Namun demikian, kebijakan satu anak yang sempat diterapkan China dari tahun 1980 hingga 2015 kemudian dinilai membuat tanggung jawab tersebut semakin berat, karena anak-anak tunggal harus merawat lebih banyak orang tua dan kakek-nenek. Menurut peneliti senior Zhao Litao di Institut Asia Timur Universitas Nasional Singapura, hal ini memberikan tekanan signifikan pada tenaga kerja yang menurun di tengah penyusutan populasi.
Disisi lain, China dikabarkan berencana menaikkan batas usia pensiun untuk pertama kalinya sejak 1950-an guna mengatasi menyusutnya jumlah tenaga kerja. Usia pensiun untuk pria akan naik dari 60 menjadi 63 tahun, sementara bagi wanita pekerja kerah biru atau yang melakukan pekerjaan kasar akan naik dari 50 menjadi 55 tahun dan pekerja kerah putih atau yang melakukan pekerjaan kantoran akan naik dari 55 menjadi 58 tahun. Kebijakan ini akan diberlakukan bertahap mulai 2025.
Yi Fuxian, seorang ahli demografi China dan ilmuwan senior di University of Wisconsin-Madison, serta Eli Friedman, seorang pakar politik tenaga kerja China di Cornell University, Amerika Serikat menganggap perubahan ini terlambat dan mungkin tidak cukup untuk menyelesaikan masalah demografis dan ekonomi yang dihadapi China. China dihadapkan oleh tantangan populasi yang menua serta tingkat kelahiran yang rendah. Disisi lain, penundaan usia pensiun juga dinilai dapat memperburuk pengangguran kaum muda. Hal ini lalu menimbulkan dilema bagi pemerintah China, yang berhati-hati untuk tidak membuat perubahan drastis demi mencegah kerusuhan sosial.
Tidak sampai disitu saja, krisis demografi yang sedang dihadapi China juga diperparah dengan menurunnya angka pernikahan dan meningkatnya perceraian. Jumlah pernikahan di China terus merosot, dari sekitar 13 juta pada tahun 2013 menjadi di bawah 7 juta pada 2022, dan sedikit meningkat mendekati 8 juta pada 2023. Di sisi lain, angka perceraian terus melonjak, mencapai 4,7 juta pada 2019, dan naik 25% pada 2023 setelah diberlakukan kebijakan “masa tenang” 30 hari sebelum perceraian.
Krisis demografi dari sisi keamanan manusia
Dalam konteks keamanan manusia[1], krisis demografi China dapat dilihat sebagai ancaman terhadap stabilitas sosial domestik yang pada gilirannya dapat mempengaruhi kebijakan luar negeri[2].
Ketegangan internal yang diakibatkan oleh krisis demografi dapat memperlemah stabilitas domestik dan memaksa China untuk lebih fokus pada urusan internal[3]. Hal ini diperkirakan dapat membatasi China untuk memproyeksikan kekuatan di luar negeri.
Dampak keamanan ekonomi
Keamanan ekonomi, sebagai salah satu dari tujuh dimensi[4] dalam konteks keamanan manusia dinilai memiliki dampak paling besar dalam krisis demografi China, karena dapat meluas ke berbagai aspek lainnya dan hubungan internasional negara China.
Krisis demografi menyebabkan penurunan populasi usia kerja, yang mengurangi ketersediaan tenaga kerja produktif akan mempengaruhi sektor-sektor utama ekonomi China, seperti manufaktur dan teknologi, yang sangat bergantung pada tenaga kerja. Ketika jumlah pekerja menurun, biaya tenaga kerja meningkat, yang pada gilirannya dapat mengurangi daya saing China di pasar global.
China, yang dikenal dengan pertumbuhan ekonomi yang pesat, serta mengandalkan pertumbuhan ekonomi tersebut untuk mempertahankan posisi internasionalnya mungkin akan kesulitan. Penurunan produktivitas dapat memperlambat laju pertumbuhan yang berpotensi melemahkan posisi China sebagai kekuatan ekonomi global. Hal ini juga akan mempengaruhi kemampuan China dalam menjalankan proyek geopolitik besar seperti Belt and Road Initiative (BRI), yang membutuhkan sumber daya ekonomi yang besar.
Implikasi Jangka Panjang
Dampak pada keamanan ekonomi dapat memengaruhi dimensi lain dari keamanan manusia, seperti keamanan kesehatan keamanan sosial, dan keamanan pribadi (karena meningkatnya ketimpangan sosial). Penurunan ekonomi juga dapat mengarah pada ketidakstabilan politik dan sosial yang lebih luas di dalam negeri, yang pada akhirnya berpotensi mengubah arah kebijakan luar negeri China.
China mungkin perlu mengadopsi pendekatan yang menyeluruh, dengan menyeimbangkan antara reformasi kebijakan domestik dan peningkatan hubungan internasional. Mereformasi sistem kesejahteraan juga menjadi hal lain yang dapat dipertimbangakan untuk mempertahankan keamanan ekonomi di tengah tantangan krisis demografinya, dengan diversifikasi ekonomi dan integrasi teknologi yang tidak kalah penting dalam menjaga daya saing dan pertumbuhan jangka panjang.
Disisi lain, krisis demografi China tidak hanya akan memengaruhi ekonomi domestik, tetapi juga perekonomian global yang sangat tergantung pada China sebagai pabrik dunia. Penurunan output China akan mempengaruhi rantai pasokan global, menyebabkan gangguan ekonomi di negara-negara lain yang bergantung pada ekspor atau impor dari China. Dalam hubungan internasional, negara-negara yang memiliki ketergantungan perdagangan dengan China dapat terpengaruh, sehingga memperburuk ketidakstabilan ekonomi global.
[1] CHS (Commission on Human Security), Human Security Now. New York:
Commission on Human Security. 2003
[2] Ren Xiao, “Human Security in Practice: The Chinese Experience” (2019): 45–65.
[3] D Alperovitch and G M Graff, World on the Brink (PublicAffairs, 2024), https://books.google.co.id/books?id=yOXPEAAAQBAJ.
[4] Tim Robinson and Julie Gill, “Global Human Security” 052, no. April (2021).