Taliban mengutuk laporan Dewan Keamanan PBB sebagai “tidak berdasar dan bias yang menyebut pemerintah Afghanistan “sangat eksklusif” dan “represif”. Laporan tersebut, yang dirilis awal Juni lalu oleh Tim Pemantau Dukungan dan Sanksi DK PBB, mengatakan struktur pemerintahan Taliban tetap “sangat eksklusif, berpusat pada Pashtun dan represif” terhadap semua bentuk oposisi. Terlebih semenjak pusat kekuasaaan kembali ke Kandahar, seperti masa pemerintahan Taliban di Afghanistan pada 1990-an.
Laporan DK PBB itu juga mengatakan kelompok itu berjuang melawan konflik internal atas kebijakan utama, sentralisasi kekuasaan dan kontrol keuangan dan sumber daya alam di Afghanistan. Perebutan kekuasaan yang sedang berlangsung membuat situasi semakin tidak stabil, ke titik di mana pecahnya konflik bersenjata antara faksi-faksi yang bersaing merupakan risiko nyata, tambah laporan itu.
Dalam beberapa bulan terakhir setidaknya dua juru bicara Taliban yang berbasis di Kabul diminta untuk pindah ke kota selatan Kandahar, menimbulkan spekulasi tentang peralihan kekuasaan dari ibu kota ke kota selatan Kandahar, tempat pemimpin tertinggi Haibatullah Akhunzada bermarkas. Pada bulan April lalu, juru bicara utama Taliban, Zabiullah Mujahid diminta untuk bekerja dari kedua tempat sementara Innamullah Samangani, wakil juru bicara pemerintah sementara lainnya, dipindahkan ke Kandahar.
Selain perpindahan kekuasaan ke wilayah Kandahar, Mujahid juga menolak “tuduhan” perselisihan di Afghanistan antara warga dan kelompok Taliban. Mengatakan bahwa itu tidak berdasar dan menunjukkan “permusuhan yang jelas” terhadap warga Afghanistan.[1] Desas-desus perselisihan antara para pemimpin kelompok itu merupakan kelanjutan dari propaganda 20 tahun terakhir, katanya, mengacu pada 20 tahun perang dan pendudukan AS. “Publikasi laporan yang bias dan tidak berdasar seperti itu oleh Dewan Keamanan tidak membantu Afghanistan dan perdamaian dan keamanan internasional, sebaliknya, itu meningkatkan kekhawatiran di antara orang-orang [Afghanistan],” menurut Mujahid dilansir dari Al Jazeera.[2]
Sejak mengambil alih negara itu pada Agustus 2021, grup tersebut telah memperluas pembatasannya terhadap kebebasan media dan hak-hak perempuan, dengan sekolah menengah untuk anak perempuan tetap ditutup. Pejabat Taliban pada awalnya berjanji untuk membuka sekolah setelah peningkatan infrastruktur. Menjanjikan kehidupan yang lebih baik bagi warga Afghanistan terutama wanita.
Beberapa pemimpin Taliban mendukung pemberdayaan perempuan, dengan mengatakan bahwa Islam menjamin hak perempuan atas pendidikan dan pekerjaan. Namun, apa yang dilaporkan oleh media internasional dan juga laporan PBB tidak menunjukan hal tersebut. Hak-hak wanita dan perempuan kembali “ditutup”. Pejabat Taliban juga membantah ada keretakan di antara para pemimpinnya. Laporan tersebut menggambarkan pemimpin Taliban, Akhunzada, sebagai orang yang “tertutup dan sukar dipahami” dan mengatakan dia memiliki langkah-langkah rumit untuk memastikan keselamatannya saat mengadakan pertemuan.
Walaupun begitu, dalam beberapa hari terakhir, Taliban telah berusaha untuk mengecualikan semua organisasi asing dari sektor pendidikan, menurut juru bicara sekretaris jenderal PBB, Stephane Dujarric, mengatakan pada hari Kamis akan menjadi “langkah mundur yang mengerikan” bagi rakyat Afghanistan. Badan-badan bantuan telah menyediakan makanan, pendidikan, dan dukungan kesehatan kepada warga Afghanistan setelah pengambilalihan Taliban pada Agustus 2021 setelah berbagai krisis kemanusiaan terjadi setelah itu.
Perubahan semacam ini, tentu bukan hal yang mengejutkan, identitas merupakan salah satu aspek yang penting dalam menentukan arah kebijakan oleh para pengambil kebijakan, dan Pemerintahan Taliban menjadi salah satu contoh nyata dimana identitas, mempengaruhi kebijakan luar negeri sebuah negara. Konsep identitas sendiri merupakan salah satu konsep dari pendekatan konstruktivisme.
Konstruktivis berusaha untuk mendorong domain empiris dan penjelas dari teori hubungan internasional di luar batas analitis teori lain, dengan mempermasalahkan identitas dan kepentingan negara. Lebih lanjut, konstruktivisme juga memperluas rangkaian faktor ideasional yang memengaruhi hasil internasional dengan memasukkan transformasi sebagai ciri normal politik internasional.[3]
Konstruktivisme berusaha mencari tahu bagaimana masa lalu membentuk cara para aktor memahami situasi mereka saat ini dan pada dasarnya ia berfokus pada proses historis.[4] Proses konstruksi identitas nasional tidak dapat dilepaskan dari wilayah sosial politik yang ditempatinya.[5] Secara historis, Taliban bekerja dengan cara yang radikal, hal ini mungkin menjadi pijakan dan titik awal dari bagaimana Taliban mengambil kebijakan saat ini.
Dihadapkan pada dunia internasional yang “tidak sepaham” dengan Taliban, membuat dirinya kembali menutup diri, seperti apa yang telah dilakukan hampir lebih dari 20 tahun silam. Walaupun begitu, memang terlihat beberapa perubahan dari Taliban yang dapat dipengaruhi oleh perkembangan teknologi dan informasi. Tetapi, apa yang dilakukan Taliban saat ini, dan apa yang ditakutkan oleh aktor internasional mengenai kembalinya “identitas” Taliban dapat terjadi.
[1] “Taliban slams UN report calling Afghan government ‘exclusionary’”, Al Jazeera, 11 Juni 2023, https://www.aljazeera.com/news/2023/6/11/taliban-slam-un-report-calling-afghan-government-exclusionary
[2] Ibid.
[3] J.G. Ruggie, “Constructing the World Polity”, London: Routledge, 1998, hlm 27
[4] S.G. Leander, “Constructivism and International Relations”, London: Routledge, 2006, hlm 19
[5] Isa Erbas, “Constructivist Approach in Foreign Policy and in International Relations”, Journal of Positive School Psychology, Vol. 6, No. 3, 2022, hlm 5087