Prancis dan negara-negara Barat yang terlibat dalam operasi anti-teroris akan mulai menarik diri dari Mali menurut Presiden Prancis Emmanuel Macron pada 17 Februari 2022. Pasukan anti-teroris yang dipimpin oleh Prancis akhirnya menarik diri setelah melawan kelompok militant selama 9 tahun semenjak 2013 di bawah mantan Presiden François Hollande.
“Kami tidak dapat tetap terlibat secara militer bersama otoritas de facto yang strategi dan tujuan tersembunyinya dirahasiakan dari kami,” kata Macron kepada wartawan”. Keputusan Macron ini disusul dengan rusaknya hubungan diplomatik di tengah konflik yang meningkat dengan junta militer yang memerintah Mali saat ini. Rencana penarikan ini direncanakan akan berjalan selama empat hingga enam bulan. Kabar ini disampaikan setelah pertemuan para pemimpin Eropa dan Afrika di Istana lysée pada Rabu malam.
Prancis dan sekutunya juga akan menutup pangkalan militer mereka di Gossi, Ménaka dan Gao dan memindahkan tentara yang ditempatkan di sana ke Niger, menurut Macron. Dilansir dari CNN, negara yang terlibat Operasi Barkhane dan Gugus Tugas Takuba menganggap bahwa “kondisi politik, operasional, dan hukum tidak lagi terpenuhi untuk melanjutkan keterlibatan militer mereka saat ini secara efektif dalam perang melawan terorisme. di Mali”. Pemerintah Eropa dan Kanada menganggap bahwa akibat hambatan oleh otoritas transisi Mali menyulitkan misi mereka disana.
Lebih spesifik, negara-negara yang membantu Prancis mengatakan bahwa kegagalan otoritas transisi Mali memenuhi komitmen mereka untuk mengadakan pemilihan pada 27 Februari menjadi salah satu alasan penarikan pasukan. Keterkaitan dengan bagaimana Prancis membantu Mali dalam melaksanakan komitmennya, Macron membantah bahwa misi Prancis di Mali adalah sebuah kegagalan. Baik Prancis dan negara lainnya yang terlibat menyatakan tetap berkomitmen untuk memerangi pemberontakan di wilayah tersebut.
Untuk itu, penarikan pasukan tidak serta merta kembali ke Prancis dan negara terkait, tetapi Nigeria telah menyetujui untuk menampung beberapa pasukan yang mundur. “Prancis telah memainkan peran pemersatu dalam mobilisasi internasional ini demi Sahel,” katanya. “Kami akan terus memastikan peran pemersatu ini.”
Kolonel Souleymane Dembélé, juru bicara junta yang berkuasa mengabaikan pengumuman Prancis. Menurutnya, keberadaan Prancis sama sekali tidak membawa kebaikan ataupun kemajuan dalam memerangi terorisme. Dembélé mengatakan “terorisme melanda seluruh wilayah Mali”.
Sejak tahun 2013, hampir 5.000 tentara Prancis dikerahkan di wilayah Sahel untuk memerangi pemberontakan Islam sebagai bagian dari Operasi Barkhane, dengan sekitar 2.400 di antaranya berlokasi di tiga pangkalan di Mali utara. Tercatat 53 tentara Prancis tewas dalam operasi di wilayah Sahel itu.
Hubungan Prancis dan Mali telah memburuk semenjak tahun 2020. Hal ini memunculkan beberapa pertanyaan seperti kapan Prancis akan menarik pasukannya dari wilayah tersebut. Pada tahun tersebut, kelompok pemberontak melakukan kudeta terhadap pemerintah Mali dan kemudian meningkat ketika junta mengingkari kesepakatan untuk penyelenggaraan pemilihan dan ingin memegang kekuasaan hingga 2025 yang mengarah pada pengusiran duta besar Prancis.
Penarikan pasukan Prancis sendiri menuai sikap yang berbeda-beda dari masyarakat. Seorang pria mengatakan kepada BBC bahwa tindakan itu “membawa perdamaian “, sementara yang lain menggambarkan intervensi Prancis di Mali sebagai “kegagalan”. Namun, yang lain menyatakan ketakutan bahwa situasinya “memburuk”.