Prinsip Non-interference: Penghalang di Asia Tenggara
(Foto: A. Rahim/dok. DW News)
Kudeta yang terjadi di Myanmar saat ini telah menimbulkan berbagai kasus pelanggaran Hak Asasi Manusia. Buntut panjang dari kudeta yang dilakukan oleh Tatmadaw pada awal Februari terhadap Aung San Suu Kyi memunculkan berbagai aksi protes dari rakyat Myanmar. Aksi protes terhadap Tatmadaw itu yang dibalas dengan penembakan dan penggunaan kekerasan sehingga terjadi penangkapan, intimidasi sampai korban jiwa. Aksi protes yang masih terus berlangsung sampai pada saat ini diprediksi akan memakan korban semakin banyak dan ASEAN dianggap lalai menangani hal ini. Kenapa ASEAN sebagai organisasi di mana Myanmar bernaung dinilai seperti itu?
Prinsip Non-interference ASEAN
Sejak awal dibentuk, ASEAN tidak berdiri untuk diri mereka sendiri. Molthof mengemukakan (2012) bahwa Bangkok Declaration yang lahir pada tahun 1967 lebih dilatarbelakangi komitmen untuk mencegah interferensi eksternal ke kawasan Asia Tenggara yang dapat mempengaruhi stabilitas keamanan di kawasan itu. Pihak eksternal yang dimaksud disini adalah negara-negara maupun pihak lainnya yang berasal dari luar kawasan Asia Tenggara di mana pada saat itu banyak terjadi proxy war yang dilakukan oleh negara-negara super power. Berkaitan dengan prinsip non-interference kepada urusan domestik sesama negara anggota, menurut Stubbs (2008) secara eksplisit baru disebutkan dalam Kuala Lumpur Declaration tahun 1997 dan dianggap sebagai salah satu prinsip fundamental dari ASEAN.
Sebagai salah satu prinsip fundamental, tentunya prinsip non-interference antar sesama negara ASEAN akan sangat sulit untuk diubah. Namun dengan perkembangan ancaman saat ini, konsep non-interference yang kita kenal hari ini dapat dikatakan tidak lagi menjadi relevan untuk diterapkan. Hal ini dikarenakan integrasi global telah menyebabkan interdepensi di mana hubungan negara menjadi semakin erat dan berkaitan dalam artian permasalahan yang terjadi di negara lain dapat mempengaruhi keamanan nasional negara lain dengan negatif. Sehingga, perlu untuk menyelesaikan permasalahan yang ada di negara tersebut untuk menjamin keamanan nasional negara lainnya dan stabilitas kawasan secara umum.
Dinamika Prinsip Non-interference: Sebagai Penghalang Dalam Isu Myanmar?
Publik internasional menilai bahwa ASEAN seolah tidak berkutik untuk penanganan pelanggaran HAM yang saat ini terjadi disana. Adanya prinsip non-interference di ASEAN dinilai menjadi penyebab kenapa forum kawasan ini seolah diam saja menanggapi permasalahan yang terjadi di kawasannya. Dikarenakan prinsip ini, negara anggota tidak bisa berbicara banyak mengenai urusan internal atau domestik sesamanya. Prinsip ini memang pada kenyataannya mendatangkan berbagai tantangan bagi negara anggota ASEAN dalam menyelesaikan masalah di kawasan mereka sendiri, khususnya berkaitan dengan permasalahan domestik.
Menurut Narine (2008), prinsip non-interference menjadi salah satu prinsip paling kontroversi dalam perkembangan ASEAN saat ini. Sependapat dengan itu, Molthof (2012) juga mengemukakan bahwa interdependensi yang terus berkembang diantara negara anggota membuat prinsip non-interference mendapatkan berbagai tantangan. Hal ini karena isu-isu yang tadinya hanya milik domestik dapat berkembang menjadi isu transnasional dan akan mempengaruhi stabilitas regional bahkan global. Sehingga, negara berkepentingan untuk menjamin stabilitas negara di kawasannya atau negara lain yang berpotensi mengganggu stabilitas keamanan bersama.
Apa yang tidak mampu ditangani ASEAN di Myanmar hari ini bukan pertama kalinya terjadi. ASEAN sering kali mendapatkan kritik karena tidak mampu menyelesaikan permasalahan kawasan mereka sendiri. Tidak sedikit lahirnya ketidakmampuan untuk menyelesaikan masalahnya sendiri dikarenakan prinsip non-interference yang mereka anut. Tidaklah berlebihan rasanya untuk mengatakan bahwa prinsip tersebut melemahkan upaya ASEAN bahkan menjadi penghalang untuk melakukan hal yang seharusnya mereka bisa lakukan dalam penanganan HAM khususnya.
Rahmanto (2017) berpendapat bahwa non-interference seharusnya tidak kaku terutama mengenai permasalahan HAM. Penerapan non-interference secara nyata telah memperburuk perlindungan, penghormatan dan pemenuhan HAM pada negara-negara anggota ASEAN. Sementara pemenuhan HAM merupakan hal yang diakui secara universal wajib dilakukan. Menurut Denza (2008), sering kali memang masih terjadi konflik antara tetap menjalankan hubungan diplomatik dengan non-interference yang telah menjadi komitmen bersama dan mempromosikan HAM. Seharusnya non-interference hanya berlaku untuk urusan domestik politik negara seperti dukungan negara lain kepada partai politik tertentu ataupun mendukung kudeta di negara lainnya. Sementara interferensi untuk kepentingan kemanusiaan sudah seharusnya dikedepankan menurut Wood (2009). Negara anggota ASEAN kerap kali berlindung dibalik prinsip itu ketika dikritik mengenai pelanggaran HAM yang terjadi di negara mereka. Sehingga sampai kapanpun upaya pemenuhan HAM di Asia Tenggara tidak dapat tercukupi sebagaimana mestinya.
Kakunya non-interference di ASEAN hari ini dinilai tidak mampu menjawab tantangan yang datang khususnya berkaitan dengan HAM. Perlu adanya modifikasi atau pengembangan lebih lanjut mengenai penggunaan konsep ini. Jika prinsip ini tetap kaku, sampai kapanpun akan sulit bagi ASEAN untuk menyelesaikan permasalahan HAM di mana sangat dibutuhkan “ikut campur tangan” didalamnya, baik ASEAN sebagai forum multilateral atau negara anggota. Pelanggaran HAM yang terus berlangsung di Myanmar tentu akan menimbulkan semakin banyak korban berjatuhan dan sudah seharusnya dihentikan segara.
Sumber:
Denza, E. (2008). “Diplomatic Law: Commentary on the Vienna Convention on Diplomatic Relations 3rd Ed”. Oxford Commentaries on International Law.
Molthof, Mieke. (2012). ASEAN and the Principle of Non-Interference. E-International Relations. https://www.e-ir.info/2012/02/08/asean-and-the-principle-of-non-interference/
Narine, S. (2008). Forty Years of ASEAN: A Historical Review. The Pacific Review.
Rahmanto, T. Y. (2017). Prinsip Non-interference Bagi Asean Ditinjau Dari Perspektif Hak Asasi Manusia. Jurnal Ham Vol. 8 No. 2.
Stubbs, R. (2008). The Asean Alternative? Ideas, Institutions and the Challenged to ‘Global’ Governance. The Pacific Review.
Wood, Sir M. (2009) “Non-Intervention (Non-interference in Domestic Affairs”. Princeton University. https://pesd.princeton.edu/node/551