Pertemuan AS dan Korsel: Negosiasi Keanggotaan QUAD Plus?

Setelah bertemu dengan Perdana Menteri (PM) Jepang Yoshihide Suga, Presiden Amerika Serikat (AS) Joe Biden akan bertemu dengan Presiden Korea Selatan (Korsel) Moon Jae In di Washington pada tanggal 21 Mei besok. Pendekatan Biden pada negara-negara maju di Asia Timur ini menunjukkan fokus Biden dalam melihat pentingnya memperkuat kerja sama dengan aliansinya di wilayah Asia Timur, terutama dalam menghadapi rivalnya China di wilayah Indo Pasifik. Hubungan dekat AS-Korsel semakin memunculkan pertanyaan terkait keanggotaan Korsel dengan The Quadrilateral Security Dialogue (Quad) Plus yang akan membantu Korsel memperkuat hubungan dengan aliansinya terkait berbagai isu di wilayah regional dan global termasuk Nuklir Korea, pandemi Covid-19, dan lain-lain. Namun, akankah Korsel masuk ke dalam QUAD Plus?

 

QUAD baik untuk AS, buruk untuk China

QUAD saat ini beranggotakan empat negara yakni AS, India, Jepang, dan Australia yang awalnya dimaksudkan untuk memberikan bantuan kemanusiaan saat bencana di Samudera Hindia.[1] QUAD dalam perkembangannya semakin luas dengan membahas berbagai isu strategis di antara negara anggota, baik dalam aspek politik dan militer terutama berkaitan dengan peningkatan pengaruh ekonomi dan militer China di wilayah Indo Pasifik. QUAD dalam era Biden akan lebih kepada menyatukan negara-negara yang memiliki pandangan dan tujuan bersama dalam menjaga dan memastikan wilayah Indo Pasifik yang bebas, damai, dan terbuka. Pendekatan multilateralisme ini digunakan menyusul peningkatan kekuatan dan pengaruh ekonomi dan militer China, sehingga memunculkan kemungkinan diperluasnya kerja sama QUAD dengan tambahan kerja sama dengan negara lain seperti Korea Selatan, Vietnam, dan Selandia Baru menjadi QUAD Plus.[2] Namun, pembahasan mengenai QUAD Plus ini juga masih sangat dini dan menjadi perdebatan mengingat terdapat beberapa faktor ketergantungan ekonomi dan kondisi wilayah regional dengan China membuat adanya keengganan negara untuk mengkonfrontasi China secara terbuka.

Terkait keanggotaan baru di QUAD Plus ini, Korsel menyatakan belum ada pertemuan formal lanjutan baik dengan China maupun AS. Namun, China yang melihat QUAD sebagai “NATO Indo-Pasifik” melihat perkumpulan ini menjadi tantangan dan ancaman dalam pencapaian ambisi politik, militer, dan ekonomi kawasannya. Kekhawatiran China tergambar dari  cukup seringnya China memastikan apakah Korsel masih memiliki keinginan untuk bergabung dengan QUAD. Selain Korsel, negara Bangladesh juga sempat diperingatkan China terkait keinginan bergabung dengan QUAD dan menyarankan agar bersama melawan upaya hegemoni AS di Asia Selatan.[3] China memperingatkan Bangladesh akan “konsekuensi” keanggota di QUAD yang bias mengubah hubungan politik dan ekonomi kedua negara. Peringatan ini bukan tanpa alasan karena China tidak menginginkan pengaruh dan kepemimpinan AS dengan “NATO Indo-Pasifik” nya menjadi lebih meluas, sehingga semakin membatasi ruang gerak dan pengaruhnya di Asia Selatan. Usul China dilihat Bangladesh sebagai intervensi pada kebijakan luar negeri domestiknya, di mana AS membalas dengan menyatakan dukungan sepenuhnya terhadap hak negara memutuskan kebijakannya sendiri.[4] Penting bagi AS dan China untuk mengetahui batasan-batasan dalam politik termasuk tekanan dan usul politik untuk menghindari kesalahan persepsi yang merugikan negara dan digunakan sebagai bumerang politik oleh rival negara.

 

 

Strategi Ambiguitas Korsel antara China dan AS

Hubungan politik terus berubah dan mengalami dinamika, sehingga terkadang tidak ada musuh dan teman abadi karena bergantung kembali pada kepentingan, fokus, dan tujuan politik yang ingin dicapai pada masa tersebut. Termasuk dalam hal ini Korsel di antara kekuatan AS dan China, di mana Korsel meski sangat dekat dengan AS juga tetap menjaga “keseimbangan” hubungannya dengan China.[5] Strategi “main aman” Korsel menunjukkan kebijakan ambigu yang membuat keanggotaan Korsel di QUAD Plus pun akan cukup sulit tercapai, jika itu yang diinginkan AS. Strategi ini berkaitan dengan konsep hedging (membatasi) yakni strategi campuran yang digunakan negara saat melihat adanya risiko ancaman keamanan dari negara besar, namun dengan tetap mengupayakan aspek diplomasi dan kerja sama ekonomi.[6] Dalam menjaga risiko keamanan nasional dan regionalnya, terutama karena nuklir Korea Utara (Korut), Korsel tetap berhati-hati dalam bergabung dengan AS dalam QUAD karena meskipun kerja sama keamanan dan politik dengan AS dan aliansi lain meningkat, namun juga akan menambah pandangan ancaman dan kebijakan keras dari China dan Korut. Risiko terlalu tinggi ini tidak bisa diambil Korsel saat ini mengingat Korsel juga menginginkan adanya upaya diplomasi dan negosiasi terlebih dahulu dengan Korut untuk upaya denuklirisasi.

Dengan AS, kerja sama Korsel bergantung banyak pada kapabilitas keamanan, namun dari aspek ekonomi China menjadi salah satu rekan dagang Korea, sehingga secara ekonomi memang Korsel dan China saling membutuhkan. Terlebih mengingat bahwa keputusan yang diambil Korsel dalam keanggotaan QUAD ini dapat mempengaruhi kebijakan ekonomi China pada Korsel yang dibutuhkan terutama dalam masa pandemi Covid-19 untuk mencapai pemulihan ekonomi negara. Pada dasarnya Korsel akan tetap berupaya memadukan kekuatan politik, ekonomi, dan wilayah geografisnya di antara dua kekuatan ini, mengingat fokus Moon Jae In saat ini adalah upaya denuklirisasi dan peningkatan hubungan dengan Korut. Upaya negosiasi ini akan terus diupayakan Korsel dengan memperhatikan pengaruh dan peran AS-China dalam menekan Korut terkait nuklirnya.

Risiko keamanan nuklir dari Korut sangat nyata untuk Korsel, di mana China memiliki peran dan pengaruh besar untuk menurunkan eskalasi ancaman dan provokasi Korut di Semenanjung Korea. Maka dari itu, keanggotaan dengan QUAD tidak terlalu baik untuk hubungan Korsel-China, sehingga strategi hedging ini dipilih Korsel untuk tetap beraliansi dengan AS, namun berhubungan baik juga dengan China terutama dari sisi ekonomi dan politik yang akan berpengaruh bagi kestabilan dan keamanan wilayah regionalnya. Meskipun akan terdapat batasan kerja sama baik pada AS dan China, namun pilihan untuk tetap bekerja sama dengan AS masih tetap bisa dilakukan, meskipun tanpa menambah keanggotaan di QUAD demi keseimbangan politik dengan China.


[1] Harsha Kakar, (2021), Economic dimension key to Quad success, The Statesman, https://www.thestatesman.com/opinion/economic-dimension-key-quad-success-1502953752.html

[2] European Parliamentary Research Service, (2021), The Quad: An emerging multilateral security framework of democracies in the Indo-Pacific region, European Parliament, https://www.europarl.europa.eu/RegData/etudes/BRIE/2021/690513/EPRS_BRI(2021)690513_EN.pdf

[3] Nilotpal Bhattacharjee, (2021), China’s Warning to Bangladesh on the Quad, The Diplomat,  https://thediplomat.com/2021/05/chinas-warning-to-bangladesh-on-the-quad/https://thediplomat.com/2021/05/chinas-warning-to-bangladesh-on-the-quad/

[4] Ibid.,

[5] Rachel Zhang dan Jun Mai, (2021), China checks if Seoul still cool on joining US-led Quad alliance, South China Morning Post, https://www.scmp.com/news/china/diplomacy/article/3130775/china-checks-if-seoul-still-cool-joining-us-led-quad-alliance

[6] Park Jin, (2020), Korea Between the United States and China: How Does Hedging Work?, Joint U.S.-Korea Academic Studies, https://keia.org/wp-content/uploads/2020/05/korea_between_the_united_states_and_china.pdf