11 Agustus – Pemboman Palembang

Pihak AS dan dibantu oleh sekutunya Inggris telah berencana untuk menyerang wilayah pendudukan Jepang dalam misi Matterhorn kelima dan keenam pada pertengahan tahun 1944. Operasi ini adalah salah satu misi tempur terpanjang dari Perang Dunia II, dimana misi pengeboman menempuh jarak lebih dari 6.000 km untuk pulang pergi dalam waktu hampir 19 jam. Mengingat jarak yang sangat jauh dari pangkalan militer sekutu, pembom AS menerima bantuan pencarian dan penyelamatan dari tentara Inggris.

Misi Matterhorn melibatkan lebih banyak perencanaan dan kegiatan pendahuluan daripada yang diterbangkan oleh komando, dan dalam pelaksanaannya keberhasilan operasional melebihi hasil strategis yang diperoleh. Untuk berhasil dalam misi ini, komando AS telah meringankan beban yang berguna menjadi satu ton bom atau ranjau dan telah mengisi tangki bensin hingga kapasitasnya maksimalnya.[1] Untuk mengantisipasi hal ini, Inggris telah membentuk pasukan penyelamat udara-laut yang terdiri dari kapal selam, kapal penjelajah, kapal perusak, kapal ringan, dan berbagai jenis pesawat.[2]

Pada awal Agustus 1944, para pengebom terbang lurus ke Pulau Siberut tepat di bawah garis khatulistiwa, lalu mengarah ke timur melintasi Sumatera. Selusin pesawat gagal, karena berbagai alasan, untuk mencapai target, hanya tiga puluh sembilan mencapai tujuan mereka.[3] Komando Pengebom XX AS menjalankan tujuan utamanya untuk membom wilayah yang diduduki Jepang, sejumlah serangan terhadap kota-kota di Asia Tenggara yang berada di bawah pendudukan Jepang juga ikut dibombardir.

 

Mengapa Palembang?

Menurut informasi target yang tersedia di awal musim semi, kilang Pladjoe di Palembang tampaknya memiliki kepentingan strategis tertinggi. Dengan reputasi kapasitas produksi tahunan sebesar 20.460.000 barel minyak mentah, seharusnya kilang di Palembang memproduksi 22 persen bahan bakar minyak Jepang dan 78 persen bensin penerbangannya. Pemboman Pladjoe ini dirasa akan menimbulkan hambatan serius dalam operasi militer dan angkatan laut Jepang[4].76

Hingga pada malam 10 dan 11 Agustus 1944, komando Pengebom XX Angkatan Udara Amerika Serikat (USAAF) melancarkan serangan udara di wilayah Palembang, yang diduduki oleh Jepang saat Perang Dunia II, yang dikenal sebagai Operasi Bumerang oleh Sekutu. Penyerangan ini dilancarkan dalam upaya pengeboman kilang minyak di Palembang dan menanamkan ranjau di Sungai Musi untuk menghalangi lalu lintas sungai untuk keperluan logistik Jepang.

Palembang pada saat itu tidak memiliki sistem untuk mendeteksi pesawat musuh, menyebabkan pengamatan sekilas Jepang tidak terlalu tepat.[5] Hal ini membuat delapan pesawat dari Grup 462d dapat terbang bebas di atas Musi dengan menukik di bawah langit-langit setinggi 1.000 kaki dan meletakkan 16 ranjau dalam pola yang baik dengan “hasil luar biasa”.[6]

Operasi Bumerang ini dapat dikatakan cukup sukses, karena tidak ada pesawat AS yang ditembak jatuh oleh senjata anti-pesawat Jepang atau pesawat tempur yang ditempatkan untuk melindungi Palembang, tetapi satu pesawat B-29 terpaksa melakukan pendaratan darurat setelah kehabisan bahan bakar saat kembali. Fasilitas minyak di Palembang kemudian kembali di bom oleh pesawat yang diluncurkan kapal induk Inggris pada 1945 menghasilkan kerusakan yang jauh lebih besar dibandingkan dengan serangan AS sebelumnya.[7]

[1] Craven, Wesley; Cate, James, ed. (1953). The Pacific: Matterhorn to Nagasaki, The Army Air Forces in World War II. Volume V. Chicago: The University of Chicago Press.

[2] Ibid.

[3] TMR #5, pp.7-8 dalam Craven dan Cate (1953).

[4] JPS 426/1, 18 Apr. 1944; JCS797/1, 20 Apr. 1944; TMR #s, 10/11 Aug. 1944 (22 Sep. 44), pp. 1-2, dalam Craven dan Cate (1953).

[5] TMR #5, pp 8, 15 dalam dalam Craven dan Cate (1953).

[6] Ibid

[7] Hobbs, David (2011). The British Pacific Fleet: The Royal Navy’s Most Powerful Strike Force. Annapolis, Maryland: Naval Institute Press. ISBN 9781591140443.