Indonesia Perpanjang Kerja Sama Jalur Sutra Modern: Sentimen dan Interdependensi

Presiden Joko Widodo berencana mengunjungi China untuk bertemu dengan Presiden Xi Jinping pada akhir Juli mendatang. Rencana perjalanan ini dikabarkan oleh Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi Luhut Binsar Pandjaitan usai menggelar pertemuan dengan Menteri Luar Negeri China, Wang Yi, dan Menlu RI Retno Marsudi di Bali, pada akhir pekan lalu.

“Di hadapan seluruh delegasi RI dan RRT (Republik Rakyat Tiongkok), saya bersama Menlu Retno Marsudi menyampaikan agar sinergi Global Maritime Fulcrum (GMF) yang merupakan kebijakan Indonesia dan Tiongkok, bisa segera diperpanjang kesepakatan MoU GMF-BRI tersebut, sehingga dapat diteken oleh Presiden Jokowi saat kunjungan beliau ke Tiongkok yang rencananya dilaksanakan pada akhir Juli 2022,” ucap Luhut dalam unggahannya di Instagram.

Menlu China, Wang Yi sendiri telah berada di Bali sejak pertengahan pekan lalu untuk menghadiri pertemuan tingkat menlu negara G20 pada awal Juli yang dilanjutkan dengan Dialog Tingkat Tinggi dan Mekanisme Kerja sama antara Indonesia dan China. Agenda Wang Yi juga meliputi kunjungan kehormatan dan menemui Presiden Joko Widodo di Istana Merdeka pada 11 Juli 2022. Dilansir dari CNN Indonesia, Retno mengatakan dalam pertemuan dengan Jokowi, Wang Yi membahas empat poin utama yakni isu politik, ekonomi, budaya, dan maritim.[1]

“RRT juga mengapresiasi kepemimpinan Indonesia di G20. RRT paham situasi dunia sedang banyak tantangan oleh karena itu Indonesia dinilai berhasil mdengan kepemimpinan yang baik dan bijak sehingga pertemuan G20 dapat berjalan dengan baik,” ucap Retno usai mendampingi pertemuan Joko Widodo dan Wang Yi.[2]

GMF-Belt Road Initiatves merupakan program yang dibuat oleh Xi Jinping pada tahun 2013 dengan cita-cita untuk “menyatukan” China dengan berbagai negara di berbagai belahan dunia. Untuk menciptakannya, China membantu negara-negara yang dilewati jalur sutra untuk membangun infrastruktur di darat, laut, dan udara dengan dana yang sangat besar untuk meningkatkan ekonomi antar negara-negara terlibat, dan Indonesia merupakan salah satunya.

Dalam mewujudkan cita-cita China, Beijing juga berharap bahwa program ini dapat membantu negara-negara lain dengan menekankan semangat multilateralisme, mengupayakan kerja sama melalui konsultasi dan membuat semua peserta tetap termotivasi untuk bekerja sama.[3] China bahkan dikabarkan menggelontorkan dana sebesar US$150 miliar per tahun yang dapat digunakan negara-negara anggota untuk membangun infrastruktur mereka.

Antara sentimen negatif dan interdependensi

Walaupun secara teori kerja sama ini sama-sama menguntungkan, tidak dapat dipungkiri sentimen yang muncul dari masyarakat—tidak hanya Indonesia—terhadap proyek Belt Road Initiatives milik Xi Jinping. Sentimen negatif terhadap masuknya program infrastuktur yang cukup intens China di Indonesia sendiri merupakan permasalahan yang belum juga usai.

Stereotip bahwa etnis China merupakan “orang luar” sebagai produk ideologi dari proses sosial historis di Indonesia masih mengakar di kalangan masyarakat hingga ke elit politik yang dapat menggiring opini masyarakat lebih jauh lagi.[4] Di tambah dengan program BRI yang tidak hanya memberikan pinjaman biaya, tetapi bantuan tenaga kerja dengan apa yang dikatakan Xi Jinping dilakukan untuk “transfer ilmu” menambah ketakutan masyarakat Indonesia.

Ketakutan akan Indonesia yang diambil alih oleh China, lalu menyempitnya lahan pekerjaan membuat masyarakat gusar, namun mengapa Indonesia tetap melanjutkan kerja sama dengan China? Secara singkat, terjadi interdependensi antara Indonesia dan China. China membutuhkan Indonesia untuk melangsungkan megaproyeknya, dan Indonesia membutuhkan dana China untuk pembangunan infrastruktur di Indonesia. Beberapa proyek yang telah berjalan antara lain adalah di antaranya adalah proyek Kereta Cepat Jakarta-Bandung, proyek PLTA Sungai Klayan, dan Pembangunan kawasan industri Tanah Kuning.[5]

Seperti asumsi liberalisme bahwa, pertukaran ekonomi adalah pengganti sarana memperoleh sumber daya yang dibutuhkan untuk mempromosikan keamanan politik dan pertumbuhan ekonomi.[6] Pertukaran ekonomi ini, menciptakan kerja sama yang menghasilkan interdependensi yang mengacu pada situasi yang dicirikan oleh efek timbal balik antar negara atau di antara aktor di negara yang berbeda.[7]

Pada awal Juli, China meresmikan kucuran dana sebesar Rp 44,5 triliun untuk Indonesia yang akan digunakan untuk mendanai pembangunan ekonomi.[8] Hal ini memperlihatkan bahwa China berharap banyak dari investasi besar yang dapat menjadi keuntungan, dan Indonesia menerima dana yang sangat besar karena tidak dapat dipungkiri, memang butuh dana yang besar dalam pembangunan infrastuktur. Interdependensi ini membuat insentif Indonesia untuk memperpanjang kerja sama—daripada menghentikan kerja sama akibat sentimen negatif yang dirasakan masyarakat—lebih besar dibandingkan untuk keluar. Hal ini terjadi ketika arus perdagangan dan tingkat interdependensi meningkat.

[1] “Jokowi Bakal Temu Xi Jinping, Perpanjang Kerja Sama Jalur Sutra Modern”, CNN Indonesia, 11 Juli 2022, https://www.cnnindonesia.com/internasional/20220711131354-106-819959/jokowi-bakal-temu-xi-jinping-perpanjang-kerja-sama-jalur-sutra-modern

[2] Ibid.

[3] “Working Together to Deliver a Brighter Future For Belt and Road Cooperation”, The sScond Belt and Road Forum for International Cooperation, 26 April 2019, http://www.beltandroadforum.org/english/n100/2019/0426/c22-1266.html

[4] Mirah Pratiwi, “Perkembangan Sentimen anti-Tionghoa di Indonesia”, Kaganga Komunika,  Vol. 3, No. 1, Mei 2021, https://jurnal.uts.ac.id/index.php/KAGANGA/article/view/1062/677

[5] Rehia Sebayang, “Apa Itu OBOR, Jalur Sutra Modern China yang Jadi Polemik RI?”, CNBC, 13 Mei 2020,  https://www.cnbcindonesia.com/news/20190513181838-4-72178/apa-itu-obor-jalur-sutra-modern-china-yang-jadi-polemik-ri

[6] Edward D. Mansfield dan Brian M. Pollins, “Interdependence and Conflict: An Introduction”, Michigan Publishing, University of Michigan Press, https://www.press.umich.edu/pdf/0472098276-intro.pdf

[7] Robert O. Keohane dan Joseph S. Nye, “Pwer and Interdependence: World Politics in Transition”, Boston, Little Brown, 1977

[8] Masya Famely Ruhulessin, “Resmi! China Investasi Rp 44,8 Triliun ke Dana Kekayaan Indonesia”, Kompas, 6 Juli 2022, https://www.kompas.com/properti/read/2022/07/06/073000921/resmi-china-investasi-rp-448-triliun-ke-dana-kekayaan-indonesia