Sensitif, Pelantikan Calon Pimpinan Gereja Ortodoks Serbia di Montenegro Diprotes
Ratusan orang turun ke jalan memprotes pelantikan pemimpin baru Gereja Ortodoks Serbia atau Serbian Orthodox Church (SOC). Bishop Joanikije II dilantik di wilayah kota Cetinje yang hampir 90 persen masyarakatnya pro-Montenegro.[1] Perdana Menteri Montenegro Zdravko Krivokapic memandang protes dengan kekerasan pada kepolisian sebagai aksi terorisme. Krivokapic juga menyalahkan Presiden Montenegro, Milo Djukanovic, dari Democratic Party of Socialists (DPS) atas upaya pengorganisasian demonstrasi tersebut.[2] Lalu, apa yang menyebabkan protes ini terjadi?
Tensi Serbia-Montenegro: Perpecahan Sosial Politik
Serbia dan Montenegro merupakan dua dari enam wilayah republik bekas federasi Yugoslavia yang terpecah karena peperangan dan perjuangan kemerdekaan wilayah. Hubungan Serbia dan Montenegro cukup dekat di masa lalu, mengingat pada tahun 1992, Montenegro memutuskan untuk tetap bersatu dengan Serbia.[3] Selanjutnya pada tahun 2002 kedua negara sepakat membentuk struktur negara Serbia-Montenegro menggantikan Federasi Republik Yugoslavia.[4] Kekuasaan pemerintahan dipegang oleh Svetozar Marovic sebagai presiden sejak tahun 2003, dibantu parlemen unikameral yang terdiri dari 91 representasi dari Serbia dan 35 representasi dari Montenegro. Perbedaan jauh representasi ini menimbulkan masalah politik domestik.
Montenegro menilai adanya ketimpangan dan keterbatasan sosial atas Serbia.[5] Ketimpangan ini menimbulkan permasalahan yang berdampak panjang yakni dari pertumbuhan ekonomi yang mendorong tensi sosial dan politik kedua wilayah. Pada perkembangannya, disepakati Perjanjian Belgrade yang membahas hubungan Serbia-Montenegro sebagai satu kesatuan, dimana perwakilan Uni Eropa menekankan agar Montenegro bisa mencapai kesepakatan bersama dengan Serbia, tanpa menginginkan kemerdekaan.[6] Hal ini dikarenakan wilayah tersebut sudah cukup rentan dalam hal keinginan kemerdekaan yang bisa semakin meningkatkan instabilitas politik dan sosial di regional. Pada masa itu, wilayah Kosovo yang dekat dengan Serbia juga menginginkan kemerdekaan, sehingga kerentanan regional menjadi salah satu isu yang dikhawatirkan.
Montenegro setuju dengan upaya negosiasi Uni Eropa, namun dengan syarat adanya kesempatan bagi Montenegro pada 3 tahun setelahnya untuk memulai prosedur kemerdekaan melalui referendum kemerdekaan. Keputusan ini menunjukkan Montenegro bersedia menunda keinginan kemerdekaannya, namun memang tetap menginginkan perpisahan kekuasaan dengan Serbia demi mencapai negara independen. Berbagai negara di Eropa khawatir dengan kondisi sosial dan ekonomi yang rentan, terutama karena permasalahan ketimpangan sosial dan kasus korupsi elit politiknya.[7] Meskipun begitu, referendum tahun 2006 tetap dilaksanakan dimana sekitar 55.5% masyarakat menginginkan kemerdekaan Montenegro atas Serbia.[8] Persentase voting yang tidak terlalu jauh ini semakin memperpecah kondisi sosial dan politik masyarakat dan elit politik yang terbagi antara pro-kemerdekaan dan pro-Serbia.
Domestik Politik dan Konflik Kepentingan
Dalam melihat fenomena ini, konsep nasionalisme dinyatakan sebagai doktrin politik yang memberikan rasionalitas pada sekelompok orang dalam mendapatkan hak penuh kedaulatan pemerintahannya. Crystal pada tahun 1990 menambahkan nasionalisme sebagai kebebasan atau independensi dari dominasi negara bangsa yang lain.[9] Kondisi serupa terjadi di Montenegro, di mana meskipun sudah berpisah dengan Serbia, namun kepemimpinan gereja masih berada di bawah kepemimpinan gereja SOC yang merupakan institusi “peninggalan” Serbia.
Nasionalisme masyarakat pro-Montenegro di kota Cetinje menginginkan pengakuan terhadap Gereja Ortodoks yang “bebas dari Serbia.”[10] Sebagai masyarakat berkedaulatan Montenegro, masyarakat pro-Montenegro menginginkan negaranya memiliki kekuasaan penuh atas wilayahnya tanpa pengaruh dari pihak lain. Salah satu upaya mendukung dan melindungi kedaulatan tersebut, masyarakat melakukan protes ketidaksetujuan pelantikan pemimpin SOC.
Selain itu, perjanjian Fundamental Contract yang mengatur hubungan negara-gereja juga belum ditandatangani oleh SOC-Montenegro. Perjanjian ini digunakan untuk membatasi pengaruh SOC, terutama oleh presiden Montenegro. Dibandingkan dengan permasalahan agama, perpecahan ini lebih kepada isu politik, terutama kemerdekaan dan independennya Montenegro atas pengaruh Serbia. Status dan kekuatan besar SOC di dalam wilayah kedaulatan Montenegro masih diperdebatkan. Pengaruh SOC tidak hanya pada isu keagamaan, namun juga sosial politik, baik bagi masyarakat dan elit politiknya. Salah satunya oleh Djukanovic yang menginginkan pembatasan pengaruh SOC di Montenegro. Hal ini dikarenakan pada pemilu Agustus tahun 2020 lalu, DPS kehilangan pengaruhnya sejak memimpin tiga dekade lalu dari koalisi oposisi SOC.
Masyarakat dan elit politik yang pro dan anti-Serbia sudah terbagi-bagi. Oposisi menilai pihak gereja terlalu dekat dengan Serbia. Presiden Milo Djukanovic dari Partai Sosial Demokrat juga tidak memiliki hubungan yang baik dengan SOC karena SOC dinilai terlalu menyebarkan ide nasionalisme di Montenegro. Terutama pada tahun 2019 lalu, di mana SOC melakukan aksi protes terkait Freedom of Religion Law yang dinilai tidak adil bagi pihak gereja karena pemerintah memiliki hak mengatur aset kepemilikan gereja.
PM Krivokapic dituding oleh pemimpin S0C Porfirije dan Bishop Joanikije sebagai elit politik yang tidak memiliki keinginan untuk menandatangani perjanjian Fundamental Contract.[11] Namun, Kepala PM Dritan Abazovic dari the United Reform Action (URA) membela dengan menyatakan keputusan tersebut disarankan oleh dirinya dengan dasar perlunya analisis mendalam mengenai perjanjian Fundamental Contract. PM juga menuduh ulang Andrija Mandic yang terus mendorongnya menandatangani perjanjian karena menginginkan perpecahan pemerintahan.
Permasalahan di Montenegro yang berlapis antara sosial, politik, ekonomi dan lain-lain memerlukan pembangunan kepercayaan dan kesatuan bersama. Perbedaan kepentingan dan pandangan para elit politik membuat isu nasionalisme ini dipolitisasi dengan tujuan mencapai atau membatasi kekuasaan pihak tertentu. Kondisi ini yang juga bisa mempengaruhi pandangan dan perilaku masyarakat Montenegro atas Serbia, maupun sebaliknya. Maka dari itu, diperlukan perubahan mendasar dari sisi politik dan ekonomi dengan tetap menghargai perlindungan hak asasi tiap masyarakat sosial dan kedaulatan masing-masing negara.
[1] Predrag Milic, (2021), Police Clash With Opponents of Serbian Church in Montenegro, diakses melalui https://www.bloomberg.com/news/articles/2021-09-05/police-clash-with-opponents-of-serbian-church-in-montenegro?utm_source=google&utm_medium=bd&cmpId=google
[2] Wio News, (n.d.), Serbian Orthodox Church cleric enthronement: Anti-Serbian protests cause chaos in Montenegro, diakses melalui https://www.wionews.com/photos/serbian-orthodox-church-cleric-enthronement-anti-serbian-protests-cause-chaos-in-montenegro-411202#tear-gas-vs-rocks-411192
[3] Srdjan Darmanovic, (n.d.), Serbia and Montenegro and their New Union, European Institute of the Mediterranean, diakses melalui https://www.iemed.org/publication/serbia-and-montenegro-and-their-new-union/
[4] Ibid.,
[5] Robert Schuman Foundation, (2006), After twenty four years of union with Serbia Montenegro is independent again, diakses melalui https://www.robert-schuman.eu/en/eem/0522-after-twenty-four-years-of-union-with-serbia-montenegro-is-independent-again
[6] International Crisis Group, (2006), Montenegro’s Referendum, diakses melalui https://www.refworld.org/pdfid/44c780924.pdf
[7] Marijana Trivunovic, et al., (2007), Corruption in Montenegro 2007: Overview over Main Problems and Status of Reforms, diakses melalui https://www.cmi.no/publications/2733-corruption-in-montenegro-2007
[8] Ibid.,
[9] College of Vocational Studies, (n.d.), Chapter -1 Nationalism : Meaning And Concept, diakses melalui https://www.cvs.edu.in/upload/Nationalism.pdf
[10] Predrag Milic, Op.cit.
[11] Institute of Central Europe, (n.d.), Montenegro: another dispute over the Serbian Orthodox Church, diakses melalui