6 Oktober – Austria-Hungaria mencaplok Bosnia-Herzegovina

Pada tanggal 6 Oktober 1908, Kekaisaran Kemaharajaan Austro-Hungaria secara resmi mengumumkan penyatuan Bosnia dan Herzegovina, dua provinsi di Balkan yang sebelumnya berada di bawah yurisdiksi Kesultanan Utsmaniyah. Meskipun, dalam teori, provinsi-provinsi ini masih berada di bawah penguasaan Utsmaniyah pada tahun 1908, Austro-Hungaria telah mengelolanya sejak Kongres Berlin pada tahun 1878.

Pada kongres tersebut, para kekuatan besar Eropa memberikan wewenang kepada Austro-Hungaria untuk menduduki kedua provinsi ini, sementara kepemilikan sah tetap berada di tangan Turki. Keputusan ini pada dasarnya merupakan tindakan sementara yang bertujuan untuk mempertahankan keseimbangan kekuasaan yang delik di Eropa.[1] Baik Austria maupun Hungaria telah menginginkan Bosnia dan Herzegovina sebagai milik mereka sendiri, dan langkah ini dimaksudkan untuk mencegah perselisihan.[2]

Namun, situasi semakin rumit karena mayoritas penduduk di kedua provinsi ini adalah orang Slavia dan memiliki aspirasi nasionalis mereka sendiri.[3] Sementara itu, Serbia tetangga, juga sebagian besar penduduknya adalah Slavia, bertujuan untuk menganneksasi provinsi-provinsi ini untuk memajukan tujuan pan-Slavia mereka.

Pada tahun 1908, ketika Komite Persatuan dan Kemajuan, yang dikenal sebagai Young Turks, mengambil alih pemerintahan Utsmaniyah, Baron Aloys von Aerenthal, menteri luar negeri Austro-Hungaria, melihat kesempatan bagi kekaisarannya untuk menegaskan dominasinya di Balkan.[4] Pelemahan pemerintahan Sultan Utsmaniyah, ditambah dengan kekalahan Rusia, termasuk kekalahan dalam Perang Rusia-Jepang dan kerusuhan internal pada tahun 1905, membuat Austro-Hungaria lebih tegas.[5]

Pengumuman mengenai aneksasi Bosnia dan Herzegovina oleh Austro-Hungaria pada bulan Oktober 1908 mengganggu keseimbangan kekuasaan yang rapuh di Balkan, memicu kemarahan di Serbia dan di kalangan nasionalis pan-Slavia di seluruh Eropa. Meskipun Rusia melemah dan pada akhirnya harus menyerah, mereka masih melihat tindakan Austro-Hungaria sebagai agresi yang berlebihan dan mengancam.  Di sisi lain, Rusia merespons dengan mendorong sentimen pro-Rusia dan anti-Austro-Hungaria di Serbia dan daerah Balkan lainnya,[6] memperkuat kekhawatiran Austria tentang ekspansionisme Slavia di wilayah tersebut.

Aneksasi Bosnia dan Herzegovina menjadi studi kasus sejarah yang memberikan wawasan terkait hubungan internasional kontemporer terutama terkait diplomasi, aliansi, dan pemahaman terhadap konsekuensi tindakan di panggung global. Dapat dikatakan aneksasi ini sebagian didorong oleh keinginan untuk menjaga keseimbangan kekuatan di Eropa. Keseimbangan kekuasaan atau balance of power juga kemudian menjadi konsep kenegaraan yang paling universal dan paling esensial dan merupakan unsur implisit dalam sistem internasional mana pun.[7]

Hal ini mencerminkan pentingnya dinamika kekuasaan antar negara dalam hubungan internasional. Tindakan satu negara dapat mengganggu keseimbangan ini dan menimbulkan ketegangan. Balkan telah lama menjadi wilayah dengan dinamika geopolitik yang kompleks, dan aneksasi tersebut menekankan pentingnya memahami dinamika regional dan faktor sejarah dalam hubungan internasional.

Aneksasi tersebut menyoroti kekuatan nasionalisme di kalangan masyarakat. Nasionalisme diartikan sebagai cita-cita atau ideologi yang menyatakan bahwa batas-batas etnis dan politik harus bertepatan dan bahwa negara yang homogen secara etnis adalah bentuk organisasi politik terbaik.[8] Evolusi peperangan juga berdampak pada pembentukan negara – kelompok etnis yang dipolitisasi, dan munculnya sistem politik internasional kontemporer.[9] Aspirasi penduduk Slavia di Bosnia dan Herzegovina dan ambisi pan-Slavia di Serbia menunjukkan bahwa keinginan penduduk lokal dapat mempengaruhi hubungan internasional secara signifikan.

[1] “Austria-Hungary annexes Bosnia-Herzegovina”, History, 5 Oktober 2020, https://www.history.com/this-day-in-history/austria-hungary-annexes-bosnia-herzegovina

[2] “How The World Went To War In 1914”, Imperial War Museum, https://www.iwm.org.uk/history/how-the-world-went-to-war-in-1914

[3] Op. Cit., History

[4] Ibid.

[5] Benjamin E. Mainardi, “The Russo-Japanese War: Origins and Implications”, James Madison Undergraduate Research Journal, Vol. 7, No. 1, https://commons.lib.jmu.edu/cgi/viewcontent.cgi?article=1052&context=jmurj

[6] Vsevolod Samokhvalov, “Russia in the Balkans: Great Power Politics and Local Response”, Insight Turkey, Vol.21, No.2, 2019, https://www.jstor.org/stable/26776081

[7]  Hans J. Morgenthau, “Politics Among Nations: The Struggle for Power and Peace”, McGraw-Hill, New York, 1993

[8] A. Motyl (1990) dalam Nortautas Statkus, “The Role of Nationalism in the 21st Century System of International Relations”, Lithuanian Annual Strategic Review, Vol. 17, 2019, ISSN 2335-870X

[9] Ibid., Statkus