Diplomasi “Senyap” D.I. Pandjaitan Sebagai Atmil untuk Memerdekakan Irian Barat
Pasca kemerdekaan Republik Indonesia, wilayah Irian Barat belum dilepaskan oleh pihak Belanda, hal ini tertera pada perjanjian Konferensi Meja Bundar, dimana wilayah itu akan dilepaskan satu tahun setelah penandatanganan kesepakatan. Namun, lebih dari satu tahun, pengakuan Belanda atas kedaulatan Indonesia di wilayah Irian Barat tidak kunjung muncul.
Berbagai Upaya dilakukan oleh pihak Indonesia, dari dibahasnya isu terkait Irian Barat di forum-forum Internasional seperti PBB, membatalkan perjanjian KMB, dan berusaha membentuk Provinsi Irian Barat. Namun, di balik layar dan banyak catatan sejarah, terdapat upaya lain yang dilakukan oleh pahlawan Indonesia, salah satunya adalah D.I. Pandjaitan yang bergerak dalam “senyap” namun dengan tujuan untuk memerdekakan Irian Barat lewat perannya sebagai Atase Militer di Jerman.
Pada saat D.I. Pandjaitan bertugas sebagai atase militer Indonesia untuk Jerman dari tahun 1956 hingga 1962, konflik di Irian Barat memanas, ia bertugas untuk merancang brosur dan pamflet yang isinya mengemukakan keinginan penduduk asli Irian Barat untuk bergabung dengan Republik Indonesia. Untuk menyukseskan upayanya, D.I. Pandjaitan bekerja sama dengan Felix Metternich, seorang berkebangsaan Jerman yang telah bekerja sama dengan Atase militer RI sebelumnya.[1]
Upaya ini merupakan sebuah misi intelijen dikenal sebagai Operasi C yang merupakan instruksi dari Kepala Staf Angkatan Darat Jenderal A. H. Nasution, yaitu kegiatan “diplomasi senyap” yang dilancarkan perwira TNI di luar negeri. Dalam memoar Memenuhi Panggilan Tugas Jilid 5: Kenangan Masa Orde Lama, A.H. Nasution mengatakan bahwa “Para atase militer di Eropa Barat, Kartakusumah di Paris, S. Parman di London, dan Pandjaitan di Bonn merupakan pendukung usaha ini.”[2]
Selain melakukan kampanye, D.I. Pandjaitan juga menugaskan Metternich untuk memotret kapal perang Belanda yang pada tahun 1960 berlayar ke ke perairan Irian Barat untuk memperkuat pertahanan Belanda, data intelijen itu kemudian dikirimkan ke Staf Umum Angkatan Darat di Jakarta oleh D.I. Pandjaitan, hal ini berhasil membuat TNI untuk mempersiapkan diri dengan memperkuat matra AL yang diperkuat oleh KRI Irian yang dibeli dari Uni Soviet yang ditambah dengan didatangkannya selusin kapal selam, belasan kapal roket cepat, pesawat, helikopter, dan peralatan amfibi.[3]
Di Belanda, D.I. Pandjaitan juga berupaya untuk melobi pihak Belanda sebagai usaha dari diplomasi senyap dengan menggunakan pendekatan personal, selain itu, iya juga kerap mengatur pertemuan rahasia antara wakil-wakil dari Indonesia dan tokoh-tokoh politik dan ekonomi Belanda. Usahanya telah membentuk semangat Trikora tahun 1961 yang kuat.
Hingga pada 1962, D.I. Pandjaitan mengakhiri tugasnya sebagai atase militer di Jerman dan kembali ke Indonesia dan kemudian menjadi Asisten IV/Logistik Menteri Panglima Angkatan Darat. Selama menjalankan tugasnya, D.I. Pandjaitan tidak suka menonjolkan diri, ia tetap bersemboyan “sepi ing pamrih rame ing gawe”, hal ini yang membuat dirinya tidak banyak dipublikasi dan dikenal di luar lingkup TNI.[4]
[1] Drs. Mardanas Safwan, “Major Jenderal Anumerta D.I. Panjaitan”, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Direktorat Sejarah dan Nilai Tradisional Proyek Inventarisasi dan Dokumentasi Sejarah Nasional 1981/1982
[2] Nasution, “Memenuhi Panggilan Tugas: Jilid 5: Kenangan Masa Orde Lama / A. H. Nasution”, Gunung Agung: Jakarta, 1985
[3] Martin Sitompul, “Ketika Kolonel D.I. Pandjaitan Mengangkat Orang Jerman Jadi Intel”, Historia, 4 September 2019, diakses dari https://historia.id/militer/articles/ketika-kolonel-d-i-pandjaitan-mengangkat-orang-jerman-jadi-intel-P4n5m/page/3
[4] Op. Cit., Safwan