Pembunuhan Jenderal Soleimani oleh Amerika Serikat dibalas Nuklir oleh Iran
![Soleimani Soleimani](https://dip.or.id/wp-content/uploads/2021/01/Soleimani-1024x585.jpeg)
Terbunuhnya Jenderal Qassem Soleimani setahun lalu karena serangan pesawat nirawak Amerika Serikat (AS), pada masa pemerintahan Trump, di Bandara Baghdad semakin memperburuk hubungan AS-Irak. Lalu, bagaimana dampak pembunuhan Jenderal Soleimani bagi hubungan AS dan kekuatan keamanan serta nuklir Iran? Pada masa pemerintahan AS oleh Trump, keputusan membunuh Soleimani diklaim Trump dikarenakan Soleimani sudah secara langsung maupun tidak langsung bertanggung jawab terhadap tewasnya ratusan tentara AS serta perencanaan untuk membunuh lebih banyak lagi warga AS. Keputusan penyerangan ini dikatakan Trump bertujuan mencegah serangan Iran di masa depan dan demi melindungi kepentingan serta keselamatan warga negara AS, termasuk diplomat dan personil militer yang ditargetkan Soleimani. Trump juga mengklaim keputusan tersebut dilakukan untuk menghentikan perang, bukan memulai perang.
Siapa Jenderal Qassem Soleimani?
Soleimani merupakan tokoh penting kedua di Iran dan pemimpin Pasukan Pengawal Revolusi Islam dan Pasukan Quds, pasukan revolusi Iran, yang dipandang sebagai tokoh heroik nasional.[1] Di bawah kepemimpinan Soleimani, Iran mendukung Hizbullah di Lebanon dan kelompok militan pro-Iran lainnya sehingga bisa memperluas kehadiran militernya di Irak dan Suriah dalam melawan kelompok pemberontak selama terjadi perang sipil. Perannya menjadi sangat vital terutama untuk kebijakan Iran di Timur Tengah melalui penyediaan pendanaan, bimbingan, persenjataan, intelijen, ditambah pengadaan logistik pada aliansi pemerintah dan kelompok yang sudah dicap teroris oleh Barat seperti kelompok Hizbullah, Hamas, dan Jihad Islam.
Meluasnya pengaruh Iran ke wilayah Suriah membuat Soleimani dipercaya sebagai pemimpin yang berkarismatik dan memiliki semangat pejuang di wilayah Iran, sehingga terkadang Ia dipercaya memimpin kelompok yang diturunkan dalam upaya menyerang AS, Arab Saudi, Israel, dan lain-lain. Charles Lister, peneliti Middle East Institute menyatakan bahwa kematian tokoh penting Iran ini menjadi salah satu pembunuhan yang paling signifikan bagi sejarah AS melebihi kematian Osama bin Laden atau Abu Bakar al-Baghdadi dalam aspek strategis dan implikasinya.[2] Mengingat pentingnya pengaruh dan kepercayaan masyarakat pada Soleimani, kematian Soleimani mengundang kemarahan elit politik dan masyarakat Iran.
Nuklir Iran dan Hubungan AS – Iran
Hubungan politik AS-Iran sebenarnya sudah mengalami eskalasi sejak beberapa dekade lalu, terutama terkait pengembangan energi nuklir Iran sejak tahun 1970-an yang terus berkembang namun hal itu juga yang membuat Iran harus menandatangani Joint Comprehensive Plan of Action (JCPOA) di tahun 2015 bersama dengan negara besar lain termasuk AS untuk membatasi aktivitas pengembangan program nuklir Iran yang ilegal dan dilarang. Perjanjian ini ditandatangani agar Iran di satu sisi bisa mengurangi dampak dari sanksi maupun embargo ekonomi berharga miliaran dolar pada Iran dikarenakan keadaan domestik Iran yang semakin kritis. Namun di sisi lain, Iran sebagai gantinya harus memberhentikan hampir seluruh program nuklirnya dan perlu membuka fasilitasnya agar bisa dilakukan inspeksi oleh International Atomic Energy Agency (IAEA), yakni badan internasional yang mengatur penggunaan nuklir untuk tujuan damai.
Dalam melihat fenomena politik keamanan ini, pendekatan realisme menggambarkan bahwa tujuan suatu negara adalah survival (bertahan) yakni mencapai keamanan negara baik secara militer, ekonomi, dan politik. Dalam realisme, keadaan pencapaian keamanan negara akan berada pada kondisi kompetisi maupun kerjasama sehingga perlu ditentukan bagian mana yang lebih besar pengaruhnya pada kemampuan militer yakni untuk menangkal atau bertahan jika menangkal tidak cukup, serta keadaan anarki maupun ketidakamanan yang memunculkan dilema keamanan.[3] Maka dari itu, jika dipandang dari Iran, mengingat Iran tetap berupaya mengembangkan nuklirnya, maka sanksi maupun tekanan politik lain tidak akan terlalu banyak berpengaruh pada keinginan mengembangkan nuklir untuk tujuan keamanan negaranya. Selanjutnya, dalam konteks strategis di wilayah Timur Tengah, Iran juga berada pada posisi ketidakamanan mengingat hubungan kedekatan negara-negara Timur Tengah seperti Israel dan negara Arab dengan AS dan penempatan tentara-tentara AS di wilayah tersebut yang membuat Iran perlu meningkatkan kekuatan militer sekaligus politiknya melalui kepemilikan nuklir.
Terkait dengan JCPOA, Pada perkembangannya ternyata AS secara sepihak melalui Presiden Trump mundur dari perjanjian JCPOA tahun 2018 dan ditambah dengan serangan pada Soleimani yang membuat Iran kehilangan salah satu pimpinan militernya yang memiliki posisi dan pengaruh penting bagi militer Iran. Tindakan AS ini berdampak pada semakin sulitnya pemulihan hubungan kedua negara melalui diplomasi atau negosiasi melihat ketidakkonsistenan dan tindakan “sembrono” AS atas Iran. Serangan pada Solemani pada tahun lalu dibalas Iran dengan serangan roket di pangkalan udara Irak tempat pasukan militer AS ditempatkan.
Selanjutnya, Rafael Mariano, Direktur International Atomic Energy Agency (IAEA), menyatakan bahwa Iran saat ini berencana mengembangkan uranium hingga 20% di fasilitas bawah tanah Fordo secepatnya. Rencana pengembangan uranium hingga 4.5% ini bertentangan dengan kesepakatan tahun 2015 (JCPOA) mengenai batas pengembangan uranium Iran yakni 3.67%. Peneliti menyatakan Iran saat ini memiliki kapabilitas untuk setidaknya mengembangkan dua senjata nuklir dengan daya dan kualitas rendah jika memilih untuk melakukannya.[4] Selain itu, Iran juga saat ini terus mengembangkan centrifuge yakni alat pemisah gas yang didesain untuk memperkayakan Uranium yakni I1-2M, IR-4, IR-6, IR-9 yang terus ditingkatkan kualitasnya.[5] Meskipun untuk saat ini pengembangan nuklir tersebut masih jauh dari kekuatan yang bisa dianggap sebagai kekuatan nuklir digunakan untuk senjata, namun IAEA menyatakan terdapat kemungkinan Iran melakukan tes kekuatan atau senjata nuklir menggunakan material yang sulit dideteksi.
Mengingat wilayah Timur Tengah menjadi salah satu wilayah rentan baik dari konflik sipil maupun tindakan terorisme oleh aktor negara maupun non negara, maka sebenarnya pengembangan nuklir di tempat yang tidak stabil tersebut semakin membahayakan kestabilan dan keamanan regional dan global terutama jika sampai disalahgunakan oleh kelompok pemberontak atau terorisme. Namun di satu sisi, pengembangan nuklir bagi Iran merupakan upaya pencapaian kepentingan keamanannya sekaligus kekuatan politik Iran bersama dengan negara AS, Barat dan Arab. Secara politik kawasan Iran juga memiliki ambisi untuk menjadi negara yang menghegemoni di Timur Tengah. Lebih jauh, Iran mendeklarasikan program nuklirnya tidak lagi memiliki batas operasional dan akan dikembangkan sesuai kebutuhan teknis Iran.
Kekuatan kepemilikan nuklir yang semakin besar ini akan membuat Iran menjadi negara yang lebih kuat posisi tawar menawarnya dalam politik dan perekonomian terutama di jalur suplai minyak Timur Tengah. Bersamaan dengan itu, melalui dukungan kekuatan militer dari kelompok yang dicap teroris oleh AS dan Barat, kekuatan militer Iran mendapatkan kekuatan tambahan dari kelompok tersebut. Dengan kondisi ketidakstabilan di wilayah Timur Tengah, posisi Iran bisa menjadi semakin besar pengaruhnya. Peningkatan kekuatan dan pengaruh Iran ini menjadi ancaman dan tantangan bagi kepentingan AS di wilayah Timur Tengah terutama untuk politik dan keamanan. Maka dari itu, demi mengurangi eskalasi konflik di Timur Tengah dan antara AS – Iran, maka AS memerlukan strategi dan pendekatan terutama melalui perjanjian baru dengan Iran. Selanjutnya, dampak dari ketidakpercayaan dan tindakan AS pada Iran di masa Trump akan meninggalkan banyak pekerjaan rumah bagi Joe Biden, Presiden AS saat ini yang menyatakan akan melakukan negosiasi ulang terkait JCPOA dengan Iran.
[1] BBC, 2020, “Qasem Soleimani: US kills top Iranian general in Baghdad air strike”, https://www.bbc.com/news/world-middle-east-50979463
[2] NatashaTurak, 2020, CNBC, “‘The puppet master is dead’: Iranian Gen. Qasem Soleimani’s power, and why his death is such a big deal”, https://www.cnbc.com/2020/01/03/who-was-iranian-general-qasem-soleimani-and-why-his-killing-matters.html
[3] Charles L. Glaser, 1994, “Realists as Optimists: Cooperation as Self-Help”, International Security, Vol. 19, No.3, pp. 50-90, 60.
[4] Jon Gambre, 2021, AJC, “Iran plans 20% uranium enrichment ‘as soon as possible'”, https://www.google.com/amp/s/www.ajc.com
[5] Parisa Hafezi, 2019, Reuters, “Iran launches more advanced machines to speed up nuclear enrichment: official”, https://www.reuters.com/