Prediksi Babak Baru Perang Rusia-Ukraina
Perkembangan perang Rusia-ukraina semenjak invasi yang dilakukan oleh Rusia pada 24 Februari 2022 menunjukkan Ukraina telah berhasil memperlambat pergerakan pasukan Rusia, tetapi belum mampu menghentikan perang secara penuh, dan juga perlawanan Ukraina tidak cukup kuat untuk menggeser tujuan perang Presiden Rusia Vladimir V. Putin. Dalam jangka panjang akan sulit bagi Ukraina untuk terus menggagalkan kemajuan Rusia.
Invasi Rusia ke Ukraina ini telah menimbulkan kecaman besar-besaran di seluruh dunia. Bangsa-bangsa, kelompok-kelompok internasional, organisasi-organisasi dan individu-individu sama-sama mengecamnya sebagai agresi ‘tanpa alasan’ terhadap Ukraina; yang secara luas terlihat membela doktrin Kesetaraan Berdaulat Negara-negara seperti yang diabadikan dalam Hukum Internasional. Kecaman tersebut juga telah menghasilkan dukungan yang signifikan dalam berbagai bentuk. Misalnya, sejauh ini kita telah melihat: (a) sanksi terhadap Rusia dan oligarkinya, (b) dukungan oleh negara-negara G7, Uni Eropa, FIFA, dan bahkan McDonald’s, untuk menetapkan beberapa organisasi, dan (c) penyediaan serangkaian dukungan moneter, logistik dan senjata untuk Ukraina.
Mengapa Rusia gigih untuk menginvasi Ukraina?
Invasi ini disebut-sebut karena Ukraina adalah satu-satunya buffer zone atau zona penyangga, yang membatasi Rusia dengan NATO. Ketika Ukraina bergabung dengan NATO, maka tak ada lagi batas tersebut, Rusia berbatasan langsung dengan NATO sehingga dianggap membahayakan keamanan Rusia. Menjadi bagian Uni Eropa dianggap bisa meningkatkan derajat Ukraina, mengingat saat ini barat memang menjadi mazhab perkembangan peradaban dunia. Orientasi politiknya bergeser dari Timur (Rusia) ke Barat (Uni Eropa), kalau militernya condong ke NATO (NATO, 2015). Pertimbangan dari Pemerintah Ukraina diharapkan dengan bergabung pada NATO dalam 5 sampai 25 tahun ke depan akan memberikan pengaruh positif pada sisi pertahanan, ekonomi dan sosial politik, dan pertimbangan terkait yang menjadikan blok barat (NATO) masih akan menjadi pemain penting dalam percaturan internasional
Dalam pencapaian memajukan kepentingan nasionalnya tergantung pada efektivitas suatu pemerintahan dalam menggunakan instrumen kekuatan nasional untuk mencapai tujuan strategis nasional, yang mana Instrumen kekuatan nasional oleh suatu negara kita kenal dengan Diplomasi, Informasi, Militer, dan Ekonomi (DIME). (Kodalle, T., Ormrod, D., Sample, C., & Scott, K. , 2020) Bila kita lihat teori ini dalam memahami penggunaan instrumen kekuataan negara pada kasus invasi Rusia ke Ukraina sebagai berikut:
- D – Diplomatik
Diplomasi adalah instrumen utama untuk terlibat dengan negara-negara lain dan kelompok asing untuk memajukan nilai-nilai, kepentingan, dan tujuan, dimana diplomasi adalah sarana utama untuk mengatur koalisi dan aliansi, yang dapat mencakup negara dan entitas non-negara, sebagai mitra, sekutu, pengganti, dan/atau proxy. Pada kasus Rusia- Ukraina ini, kedua belah pihak menggunakan instrumen diplomasi untuk mencapai tujuan dalam perangnya. Mengingat jumlah korban perang Rusia-Ukraina semakin meningkat sebagaimana dilaporkan UNHCR bahwa lebih dari 3.8 juta orang Ukraina yang mana setengah dari mereka adalah anak-anak meninggalkan negara itu pada periode 24 Februari-27 Maret, menjadikan krisis pengungsi tercepat yang menimpa Eropa sejak Perang Dunia II (The New York Times, 2022). Selain itu estimasi korban sipil menurut PBB sebanyak 1.119 orang namun jumlah ini diperkirakan akan terus meningkat.
Bagi Ukraina, Diplomasi digunakan untuk mencari dukungan dan bantuan dalam menghadapi agresi Rusia seperti kebijakan yang dilakukan oleh Presiden Ukraina Volodymyr Zelensky mengeluarkan strategi yang diwujudkan dalam Martial Law untuk menghadapi pasukan Rusia serta mengundang sukarelawan dari seluruh dunia untuk datang dan membantu membela Ukraina. Zelensky jelas ingin menginternasionalkan konflik tersebut. Saat Ukraina berjuang untuk bertahan hidup melawan musuh yang unggul secara militer, ia memiliki banyak alasan untuk melakukannya. Tetapi karena NATO tidak siap untuk bergabung dalam perang pada tahap ini, Zelensky melihat peluang dengan keterlibatan warga negara asing sebagai salah satu cara untuk mengikat komunitas internasional lebih jauh ke dalam perjuangan Ukraina.
- I – Informasi
Informasi tetap menjadi instrumen penting kekuatan nasional dan sumber daya strategis yang penting bagi keamanan nasional dimana informasi digunakan untuk menghasilkan efek strategis. Dalam peran Rusia-Ukraina, informasi digunakan oleh media internasional membentuk citra Rusia terkait tindakannya menginvasi Ukraina. Berbagai bukti dan tindakan dari tentara Rusia menjadi topik hangat dan headline di berbagai website media lokal dan juga internasional. Hal ini karena berbagai media di Rusia terutama yang dikendalikan pemerintah membuat narasi berbeda dengan media di luar negara pimpinan Putin tersebut. Dilansir dari berbagai penelusuran seperti The Atlantic dan BBC, media-media yang dikontrol oleh Rusia memutarbalikan berita. Media Rusia juga tidak menggunakan kata “perang” dalam narasinya, melainkan “demilitarisasi”. Pihak Rusia merupakan pihak baik yang berusaha mengusir Amerika Serikat, NATO, dan negara lainnya yang jahat dari Ukraina yang sudah terpengaruh Nazi.
Sehingga persepsi masyarakat terhadap AS dan sekutunya juga ternyata telah sejalan dengan pemerintah Rusia, lewat survei Russian Field, lebih dari separuh responden (59,7%) menganggap AS sebagai penggagas konflik di Ukraina, sebesar 30,3% menuduh NATO, dan 28,9% mengatakan konflik terjadi akibat Ukraina sendiri. (“Special military operation” in Ukraine: the attitude of the Russians, Russian Field, , n.d.)
- M – Militer
Variabel militer yang mencakup aspek integral dari kemampuan militer, gelar militer ini antara kedua negara memiliki perbedaan yang sangat signifikan seperti ditampilkan pada gambar dibawah ini:
Gambar 1. Perbandingan Kekuataan Militer Ukraina vs Rusia
Selain itu berdasarkan stastitika gelar kekuataan Angkatan laut kedua negara ini yang dirilis oleh IISS Military Balance 2022, dimana perbandingan kekuataan militer Angkatan Laut Rusia terlihat jelas lebih unggul dibandingkan Ukraina. Dari segi Jumlah pasukan Rusia mempunyai 150.000 prajurit Angkatan laut sedangkan Ukraina hanya berjumlah 10% dari total Angkatan laut Rusia yakni 15.000 prajurit. Dari segi alutsista laut yakni kapal perang, Rusia 74 kapal perang sedangkan Ukraina hanya memiliki 2 kapal perang. Apalagi dari segi jumlah kapal selam dimana rusia memiliki 51 sedangkan ukraina tidak mempunyai sama sekali. (Shelavie, 2022).
Dilihat dari segi strategi pergelaran kekuataan Rusia lebih unggul dimana Rusia sudah mengepung kota pelabuhan Mariupol Ukraina dan kemungkinan akan mencoba pendaratan amfibi di dekat Odessa, salah satu pelabuhan utama Ukraina di Laut Hitam. Rusia memiliki dua kelompok pertempuran amfibi yang mendekati pantai selatan Ukraina serta kapal perang dan kapal pendukung lainnya.
Selain itu, terdapat 75 kapal Angkatan laut Rusia di Laut Azov dan Laut Hitam, yang mana sekitar 30 lebih terletak di Laut Hitam, termasuk kapal perang jenis Slava, yang merupakan kapal penjelajah rudal besar. Begitu pula armada Laut Kaspia Rusia sudah bergerak turun dari Kaspia untuk memblokade Laut Azov. Disisi lainnya Rusia membawa dari Armada Utara dan Armada Murmansk dan Baltik di Kaliningrad yang terdiri atas enam kapal serbu amfibi kelas Ropucha. (Detsch, 2022)
Disisi lain Rusia memasuki fase terbaru dalam strategi perangnya sebagaimana disampaikan oleh Menteri Luar Negeri Rusia, yang mana hasil strategi ini. melaksanakan penyerangan udara yang menyerang 13 titik Ukraiana di Donbas dan pemboman udara menyerang 60 aset Ukraiana.
- E – Ekonomi
Interaksi rutin instrumen kekuatan nasional merupakan hal mendasar bagi kegiatan AS di lingkungan keamanan strategis. Peran instrumen militer meningkat relatif terhadap instrumen lain karena kebutuhan untuk memaksa musuh potensial melalui kekuatan meningkat.
Dampak penggunaan Instrumen Ekonomi ini sangat dirasakan oleh Rusia sebagai imbas perang yang dilancarkan pemerintah Presiden Vladimir Putin ke Ukraina. Setidaknya 200.000 orang kini menjadi pengangguran baru di Moskow. Hal ini diungkap Wali Kota Sergei Sobyanin sebagaimana dikutip NPR dari AFP. Mereka rata-rata adalah karyawan perusahaan asing. Sebagaimana diketahui serangan Rusia ke Ukraina membuat sejumlah negara menjatuhkan sanksi yang berdampak ke eksodus besar-besaran perusahaan global dari negara itu dimana terdapat 750 perusahaan telah membatasi operasi di Rusia (Thea Fathanah Arbar, 2022).
Namun penggunaan instrumen ekonomi ini juga dilakukan Rusia untuk meng-counter kebijakan sanksi dari negara-negara barat, yang mana Rusia merupakan eksportir minyak mentah dari Rusia pada tahun 2020 diperkirakan mencapai $72,6 miliar atau 11% untuk konsumsi global. Oleh karena itu, negara-negara Eropa bergantung pada hampir 40 persen konsumsi gas mereka dan 25 persen gas dari Rusia (The New York Times, 2022).
Saat ini Rusia memberhentikan pendistribusian gas ke Polandia dan Belarusia, setelah kedua negara menolak untuk membayar dengan menggunakan mata uang Rusia yakni Rubel. Sebagaimana dikutip dalam pernyataan pada 26 April, Gazprom memberi tahu PGNiG tentang niatnya untuk sepenuhnya menangguhkan pengiriman berdasarkan kontrak Yamal pada awal hari kontrak pada 27 April.” (Sugam Pokharel, 2022)
Memperhatikan saling ketergantungan ini, pemerintah Barat membebaskan transaksi energi Rusia dari sanksi. Bahkan AS untuk saat ini tidak akan mendukung embargo pasokan energi, karena dapat menekan kebutuhan konsumen dan industri AS. Saat ini AS mengimpor sebagian besar pasokan gasnya dari Rusia, yang menyumbang 21 persen dari kebutuhan AS. Kebutuhan minyak dan gas alam dari Rusia membuat pemerintah Barat enggan memberikan sanksi kepada pemerintah Rusia. (Ken Roberts, 2022).
Dapat dikatakan bahwa, untuk saat ini, Barat membutuhkan minyak dan gas Rusia lebih dari Rusia membutuhkan uang mereka. Jerman, serta Italia, Austria, dan Prancis juga merupakan konsumen besar gas alam dan minyak Rusia. Pada saat yang sama, Rusia juga mengandalkan 30 persen dari pendapatan mereka pada ekspor energi. Menyusul keputusan Rusia untuk menginvasi Ukraina, harga minyak mentah Brent melonjak 2,4% menjadi USD100,25 per barel. Itu merupakan harga tertinggi sejak 2014. Hal ini dapat menjadi bargaining power yang cukup menguntungkan posisi Rusia dalam menghadapi resistensi perlawanan Ukraina dan tekanan dunia internasional atas invasi yang dilakukan.
Prediksi atas Invasi Rusia ke Ukraina
Memasuki bulan kedua Invasi Rusia ke Ukraina dapat kita lihat bahwa ini memasuki tahapan baru dimana meskipun perlawanan yang ditawarkan oleh pejuang Ukraina mampu mecegah untuk penguasaan wilayah oleh militer Rusia di beberapa lokasi, situasinya kemungkinan akan menjadi lebih buruk, mengingat saat ini Rusia mengumumkan akan melaksanakan tahapan baru dari pelaksanaan invasi Rusia mengingat bahwa berlarutnya invasi yang memasuki bulan kedua akan membuat Presiden Rusia Vladimir Putin ingin menyelesaikannya secara segera.
Gelar kekuataan 190.000 tentara Rusia dan banyak persenjataan canggih menjadi bargaining power Rusia. Dan memasuki 60 hari peperangan Rusia-Ukraina ini dapat kita prediksi bahwa pertempuran terburuk masih akan terjadi dan ancaman penggunaan serangan nuklir masih menjadi opsi skenario Putin dapat memilih untuk meledakkan senjata nuklir taktis kecil mengingat ada 15 reaktor nuklir di Ukraina, menurut Badan Energi Atom Internasional, yang telah menyatakan keprihatinan tentang keamanan fasilitas nuklir tersebut di tengah pertempuran berlangsung. Apalagi Pasukan Rusia dilaporkan telah menguasai beberapa situs nuklir, termasuk Chernobyl.
Prediksi terburuk dan menakutkan terkait Invasi Rusia ke Ukraina telah menempatkan dunia internasional pada risiko terbesar perang NATO-Rusia dalam beberapa dekade. Namun risiko ini absolut tetap relatif rendah selama tidak ada keterlibatan langsung NATO dalam konflik. Secara teori, pemberian bantuan militer AS dan NATO ke Ukraina dapat membuka pintu eskalasi baru dimana Rusia dapat menyerang depot militer di Polandia yang berisi senjata menuju Ukraina, misalnya. Namun dalam praktiknya, Rusia tampaknya tidak menginginkan perang yang lebih luas dengan NATO yang berisiko eskalasi nuklir, dan karenanya telah menghindari serangan lintas batas bahkan ketika itu dapat menghancurkan pengiriman pasokan menuju Ukraina.
Disisi lain upaya negosiasi yang dilakukan antara kedua belah pihak masih mengalami jalan buntu, sehingga dalam beberapa waktu ke depan kita akan melihat bagaimana kemampuan Ukraina untuk bertahan terhadap gempuran serangan Rusia yang akan memasuki fase kedua, serta perkembangan upaya pendekatan jalur negosisasi antar kedua negara agar peperangan ini dihentikan.
Sehingga dapat kita perkirakan bahwa Ukraina akan menghadapi bentuk serangan yang lebih buruk akan datang pada hari kedepan. Presiden Putin memiliki kekuatan untuk merebut Kyiv dan bahwa militer Rusia tidak memiliki sejarah untuk meminimalkan korban sipil, taktik “luar biasa brutal” yang digunakan untuk menaklukkan penduduk sipil Chechnya adalah salah satu contoh kebijakan Rusia di mana korban diperkirakan mencapai puluhan ribu. Sehingga meskipun invasi awal tampak kacau, bobot pasukan Rusia dan daya tembak superior kemungkinan akan terbukti menentukan. Kampanye militer Rusia awal didasarkan pada delusi dan asumsi yang mengerikan, jadi itu adalah salah perhitungan besar baik secara politik maupun militer.
Adapun peran yang dapat Indonesia lakukan saat ini ialah mendorong upaya pencapaian negosiasi dengan memanfaatkan posisi Indonesia di kancah global saat ini seperti melalui forum G-20 yang akan dilaksanakan di Indonesia
Lebih dari 950 Pejuang Ukraina di Mauripol ‘Menyerah’ kepada Rusia - DIP Institute
May 23, 2022 @ 8:43 pm
[…] Rusia mengambil alih wilayah ini, maka tidak ada keraguan bahwa Moskow dan pasukan proksinya di Ukraina berada dalam kendali penuh atas kota pelabuhan selatan yang cukup strategis […]