Ada apa dengan upaya pencegahan korupsi di Indonesia?
Perkembangan korupsi di Indonesia terus memprihatinkan. Di tahun 2021 saja beberapa pejabat negara mulai dari tingkat kementerian seperti Menteri Kelautan dan Perikanan Edhy Prabowo dan Menteri Sosial Juliari Peter Batubara hingga kepala daerah seperti Gubernur Sulawesi Selatan Nurdin Abdullah terjaring dalam operasi tangkap tangan KPK. Keprihatinan akan korupsi ini kemudian menimbulkan pertanyaan di benak kita semua, mengapa kasus korupsi terus berulang kali terjadi di Indonesia? Upaya apa yang dapat dilakukan untuk menurunkan jumlah kasus korupsi di Indonesia?
Korupsi di Indonesia
Perilaku korupsi yang terjadi di Indonesia memiliki efek yang sangat merugikan bagi bangsa dan negara. Pertama, korupsi merusak perekonomian negara. Perilaku koruptif sering ditemukan dalam pengadaan barang dan jasa pemerintah, yang mengakibatkan rendahnya kualitas barang/jasa pemerintah, mengganggu perekonomian dan rendahnya pelayanan publik. Selain itu, korupsi merusak mental dan budaya bangsa. Perilaku koruptif oleh sebagian masyarakat Indonesia dianggap hal yang biasa. Misalnya ‘budaya’ uang terimakasih atau uang rokok atas pelayanan yang diberikan. Hal ini akan menyuburkan perilaku koruptif dan sikap permisif masyarakat atas korupsi. Jika ini terjadi, mental korupsi akan terus hidup dan diwarisi dari generasi ke generasi berikutnya. Tak hanya itu, korupsi juga mengakibatkan merosotnya kredibilitas institusi pemerintah. Kredibilitas yang telah rusak akan mengurangi kepercayaan, dukungan dari rakyat dan institusi lain di dalam dan luar negeri. Hilangnya kepercayaan dari investor akan mengakibatkan hilangnya potensi ekonomis dari nilai investasi (opportunity loss) dalam membangun perekonomian dan layanan publik.
Tercatat sejak tahun 2004-2020 KPK telah menindak 1262 kasus korupsi, untuk tahun 2020 saja, KPK telah melakukan penindakan sebanyak 110 kasus.[1] Pada tahun 2014 hingga awal desember 2019 tercatat 76 kasus OTT oleh KPK dengan korupsi paling banyak dilakukan oleh bupati 49 kasus, walikota 16 kasus dan paling sedikit wakil bupati sebanyak 2 kasus.[2] Penindakan KPK mencatat bahwa adanya peningkatan dari segi jumlah kasus dan kerugian negara meningkat. Bahkan kerugian yang dialami negara tertinggi pada 2019 yakni 6,2 triliun selama 5 tahun terakhir.[3]
Transparency International Indonesia (TII) mencatat Indeks Persepsi Korupsi (IPK) Indonesia tahun 2020 yakni 37 poin. Indeks tersebut menjadikan Indonesia di peringkat ke-102. Peringkat tersebut menurun dari tahun sebelumnya, yakni di peringkat 86 dengan indeks 40.[4] Dalam laporan TII salah satu indikator yakni, penegakan hukum mengalami kenaikan, namun pada perbaikan layanan birokrasi dengan hubungannya terhadap korupsi stagnan. Selain itu indikator terkait politik dan demokrasi pemilu mengalami penurunan skor. Hal ini berarti sektor politik masih rentan terhadap kejahatan korupsi.[5]
Keberadaan sistem politik Indonesia yang masih berbiaya tinggi, menjadikan maraknya pejabat negara yang terjerumus pada praktik korupsi juga disebabkan tingginya kekuasaan yang dimiliki ditambah dengan adanya kesempatan dan rendahnya integritas. Kekuasaan untuk mengambil keputusan sendiri atau diskresi yang dimiliki pejabat tanpa pengawasan yang memadai mendorong terjadinya praktik korupsi.
Bagaimana Korupsi di atasi?
Caiden menyatakan sebagaimana terdapat banyak variasi tindakan korupsi, maka banyak sekali faktor yang berkontribusi kepada korupsi. Sehingga banyak penjelasan yang ditawarkan yang mungkin susah untuk mengklasifikasikannya secara sistematis.[6] Pernyataan ini ditimpali oleh Heywood yang menyebutkan bahwasanya kompleksitas fenomena korupsi menyebabkan suatu hal yang mustahil untuk menyediakan sebuah alasan yang komprehensif dari politik korupsi.[7]
Namun ada beberapa teori yang bisa menjabarkan perilaku korupsi, salah satunya oleh Fraud Triangle Theory oleh Donald Cressey.[8] Menurutnya, kecenderungan seseorang melakukan korupsi disebabkan tiga faktor yaitu pressure (dorongan), opportunity (peluang) dan rationalization (pembenaran). Dari tiga alasan tersebut kita bisa melihat satu teori dalam mazhab contemporary classicism, yaitu rational choice theory (teori pilihan rasional). Teori pilihan rasional ini didasarkan pada ide bahwa setiap orang bertindak berdasarkan pertimbangan logis. Alasan dari seorang individu membuat suatu keputusan rasional yang mengantarkan pada hasil yang dapat ditentukan sebelumnya. Rose Ackerman menyebutkan bahwa pejabat publik korupsi oleh satu alasan simpel yakni mereka memandang bahwa manfaat potensial dari korupsi melebihi biaya potensial.[9] Sebagaimana Klitgaard menambahkan bahwa jika manfaat korupsi dikurangi kemungkinan ditangkap di kali hukumannya lebih besar daripada manfaat tidak tertangkap, maka secara rasional seseorang akan memilih untuk menjadi korup.[10]
Sehingga untuk mengonter perilaku korupsi ini bisa kita lihat dengan penekanan tindakan antitesis dari teori pilihan rasional yakni mengarah pada wacana tentang pengendalian korupsi yang memaksimalkan biaya korupsi dan meminimalkan manfaat.[11] Karena manfaat korupsi jauh lebih sulit untuk dipengaruhi, sebagian besar fokusnya adalah pada biaya korupsi. Biaya-biaya ini dapat dibuat lebih tinggi dengan meningkatkan kemungkinan tertangkap dan memberlakukan hukuman yang lebih curam. Hal ini dapat dengan mudah mengarah pada wacana yang meminta sistem kontrol yang komprehensif berdasarkan pengawasan, pengumpulan informasi besar-besaran, audit, dan penegakan agresif berbagai sanksi pidana dan administratif.
Ada tiga tahap strategi yang bisa dilaksanakan dalam mewujudkan upaya bebas korupsi. Pertama, strategi jangka pendek dengan memberikan arahan dalam upaya pencegahan. Kedua, strategi menengah berupa perbaikan sistem untuk menutup celah dan potensi korupsi. Ketiga, strategi jangka panjang dengan mengubah budaya, yakni dengan dengan membentuk budaya anti korupsi di masyarakat termasuk menjaga integritas penyelenggara negara dengan menumbuhkan kesadaran agar tidak melakukan korupsi serta prinsip tata kelola yang baik (good governance).
Korupsi merupakan kejahatan yang harus diberantas bersama-sama. Upaya pemerintah dalam memberantas korupsi perlu didukung juga oleh masyarakat luas dan para penegak hukum. Tanpa sinergi yang baik serta tekad yang kuat, pemerintahan yang bersih dari korupsi tidak akan terwujud, yang pada akhirnya akan menghambat pembangunan, memiskinkan rakyat dan kualitas layanan publik yang buruk.
[1]KPK. (2021, 1 Januari). “Statistik TPK Berdasarkan Profesi/ Jabatan.” https://www.kpk.go.id/id/statistik/penindakan/tpk-berdasarkan-profesi-jabatan
[2]Lokal data. “Korupsi Kepala Daerah, 2014-2019.” https://lokadata.beritagar.id/chart/preview/korupsi-kepala-daerah-2014-2019-1575863350
[3] Lokal data. “Penindakan kasus korupsi oleh KPK, 2015-2019.” https://lokadata.beritagar.id/chart/preview/penindakan-kasus-korupsi-oleh-kpk-2015-2019-1582258585
[4] Lokal data. “Indeks Persepsi Korupsi Indonesia, 2004-2020.” https://lokadata.beritagar.id/chart/preview/indeks-persepsi-korupsi-indonesia-2004-2020-1611921280
[5]CNN Indonesia. (2021, 28 Januari). “Ranking Indeks Korupsi Indonesia Merosot Urutan 102 dari 180.” https://www.cnnindonesia.com/nasional/20210128134510-12-599524/ranking-indeks-korupsi-indonesia-merosot-urutan-102-dari-180
[6] Caiden, G. (2001). Corruption and Governance. In Where Corruption Lives, Caiden, G.; Dwivedi O.; Jabbra J.Eds., Kumarian Press: Bloomfield. p.21.
[7] Heywood, P. (1997). Political Corruption: Problems and Perspectives. Political Studies, XLV, 639-658.
[8] Cressey, D. R. (1953). Other People’s Money. Montclair, NJ: Patterson Smith, pp.1-300
[9] Rose-Ackerman, S. (1978). Corruption: A Study in Political Economy. New York: Academic Press.
[10] Klitgaard, R. (1988). Controlling Corruption. Berkeley: University of California Press. p.70
[11] Anechiarico, F., & Jacobs J. (1996). The Pursuit of Absolute Integrity. How Corruption Control Makes Government Ineffective, The University of Chicago Press: Chicago.