Mengenal TPUA: Kelompok “Tak Paham Hukum” yang Gugat Presiden Jokowi Mundur

Sebagai negara demokrasi dan hukum, Indonesia berdasarkan pasal 28 E ayat 3 UUD 1945 mendukung dan menjamin adanya kebebasan berkumpul, berserikat, dan mengeluarkan pikiran secara lisan dan tulisan. Hak ini juga yang membuat salah satu perkumpulan bernama Tim Pembela Ulama dan Aktivis (TPUA) yang diketuai advokat Eggi Sudjana menggugat Presiden RI Joko Widodo untuk mundur dari jabatannya. Disatu sisi, kritik terhadap pemerintah memang dibenarkan, namun bagaimana jika sudah mengarah kepada “makar” terutama dari mantan tersangka kasus makar?

TPUA dan Kasus Makar pada Presiden RI

Organisasi TPUA atas nama penggugat Muhidin Jalih sejak 30 April lalu mendaftarkan gugatan dengan  nomor 266/Pdt.G/2021/PN Jkt.Pst pada tergugat Presiden Jokowi. Gugatan ini dilayangkan karena prihatin dengan kondisi sosial dan hukum Indonesia, serta menilai kepemimpinan Jokowi membuat gaduh sosial dan kondisi kacau balaunya penegakan hukum serta kesejahteraan ekonomi nasional. Namun, sidang perdana TPUA gugat Jokowi yang rencana dilaksanakan tanggal 10 Mei 2021 ini diundur karena sidang belum lengkap.  Perlu diketahui, organisasi ini diketuai oleh Eggi Sudjana yang merupakan tersangka kasus dugaan tindak pidana makar karena seruan “people power” di rumah Prabowo Subianto tahun 2019 lalu.[1] Makar sendiri berarti serangan yang dalam pasal 87 dan 106 KUHP dijelaskan sebagai perbuatan sudah ada apabila kehendak pelaku sudah mulai muncul untuk menaklukan Negara pada asing atau menggulingkan pemerintahan yang sedang berkuasa.[2] Makar ini dapat memegaruhi baik kondisi politik, sosial, dan berujung pada ketidakstabilan negara.

Lebih lanjut, terdapat dua unsur dalam makar menurut Prof Muladi, yakni subjektif yang dilihat mulai dari niat kejahatan dan kesanggupan dalam melaksanakan niat tersebut, lalu unsur objektif yakni adanya risiko bahaya bagi tertib dan kepentingan hukum.[3] Kedua unsur ini mendukung satu sama lain untuk menentukan tindak makar dari individu maupun kelompok. Di sisi lain, seruan people power atau kekuatan rakyat sendiri merupakan gerakan masyarakat yang diinisiasi oleh masyarakat itu sendiri, berupa tuntutan perubahan atau reformasi hingga turunnya jabatan pemerintah dikarenakan tindakan sewenang-wenang, non demokratis, dan lain-lain.

Atas seruan “people power” tersebut, Eggi sempat ditahan beberapa waktu hingga akhirnya keluar dari tahanan pada Juni 2019.[4] Kejadian ini terjadi pada masa pemilu 2019 lalu yang cukup kompleks karena tidak hanya menelan korban jiwa, namun kondisi politik yang disertai isu identitas masa itu, membuat ketertiban sosial dan aktivitas ekonomi masyarakat di beberapa wilayah terganggu, mengingat ratusan bahkan ribuan orang turun ke jalan. Terlebih, people power ini tidak menggambarkan “rakyat” karena banyak kelompok kepentingan dan bahkan elit politik yang turut meramaikan kejadian ini. Maka dari itu, gugatan dari Eggi Cs baru-baru ini memang tetap perlu diperiksa lebih lanjut, meskipun Kantor Staf Presiden (KSP) menilai gugatan tersebut keliru dan para penggugat dinilai tidak paham hukum karena bukti yang dibeberkan pun tidak jelas.

Pro Kontra Tuduhan Makar

Kemunculan Eggi cukup mewarnai perpolitikan dan sosial Indonesia. Tuduhan makar di pasal 107 KUHP yang sempat menjerat dirinya dan beberapa orang lain banyak diragukan oleh pakar hukum pidana bernama Agustinus Pohan dan pendukung hak asasi yang menilai tidak adanya bukti kuat upaya penggulingan pemerintahan dan pernyataan “people power” yang menjadi “makar.” [5] Komunitas HAM juga mendorong kepolisian membedakan antara makar dan kritik pemerintah agar tidak merugikan kebebasan berpendapat masyarakat. Dalam penafsiran hukum memang tidak sarat unsur subjektif, namun kepolisian sendiri menyatakan sudah memiliki bukti kuat percobaan makar Eggi yang memenuhi unsur-unsur makar. Selain itu juga, tindakan Eggi ini didukung dan dibela oleh beberapa elit politik lain termasuk Fadli Zon yang menilai “people power” adalah konstitusional,[6] sehingga memunculkan penafsiran berbeda dari “kekuatan rakyat” yang sebenarnya. Tindakan makar Eggi tidak mencerminkan nilai Pancasila dan demokrasi karena people power ini didukung berbagai elit politik.

 

Latar belakang Eggi dan seruan “people power” nya berisiko memobilisasi massa menggunakan isu sosial tertentu sehingga mengancam kestabilan sosial. Namun, bukan berarti kedepannya masyarakat akan merasa dibatasi haknya dalam mengkritik kebijakan pemerintah. Hal ini dikarenakan sebagai negara demokrasi, kedaulatan berada di tangan rakyat dan para wakil rakyat juga perlu melihat kebutuhan dan kondisi yang ada di masyarakat agar terdapat check and balance jalannya pemerintahan. Perbedaannya, kritik atau aspirasi tetap mengikuti hukum dan ketentuan berlaku yang ada dalam peraturan dan pengaturan di Indonesia, tanpa adanya niatan terencana atau terorganisir bersifat jahat. Termasuk didalamnya tidak boleh adanya penyebaran ujaran kebencian, penistaan, dan penghasutan yang sifatnya memecah dalam masyarakat.

Lalu, bagaimana jika masyarakat ingin menggugat pemerintah?

Jika masyarakat berupaya menggugat pemerintah atau aparatur pemerintah, bisa mengajukan gugatan ke Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN). Terdapat berbagai tahapan yang dimulai dari pengajuan, di mana nanti PTUN akan menilai apakah gugatan tersebut lengkap secara berkas administrasi dan lanjut ke berbagai tahapan berikutnya hingga sengketa bisa diproses ke pengadilan.[7] Tahapan pengajuan memerlukan berkas administrasi yang lengkap dan diajukan permohonannya. Baik pemerintah dan masyarakat tetap memiliki tugas dan fungsi masing-masing yang dibatasi dan diatur melalui hukum dan konstitusi di Indonesia untuk mendukung jalannya negara ini.

Berbagai gejolak dan dinamika mulai dari aspek sosial, hukum, dan politik domestik juga pasti memiliki pertentangan masing-masing. Disatu sisi pemerintah perlu melihat ketidakpuasan pada kinerja pemerintah sebagai upaya evaluasi dan peningkatan kinerja pemerintah. Hal ini penting agar tercapai kesejahteraan ekonomi, pelaksanaan dan penegakkan hukum sesuai konstitusi, dan menjamin kestabilan sosial masyarakat. Namun di sisi lain, masyarakat tetap perlu bekerja sama mendukung implementasi kebijakan dan kritik pemerintah jika bertindak tidak sesuai dengan konstitusi. Harmonisasi pemerintah dan masyarakat ini yang diperlukan sebagai pendukung pencapaian tujuan dan keamanan nasional.


[1] Muhammad Isa Bustomi, (2020), Polda Metro Buka Kasus Lama, Eggi Sudjana Dipangggil sebagai Tersangka Kasus Makar Hari Ini, Kompas, diakses melalui https://megapolitan.kompas.com/read/2020/12/03/09245201/polda-metro-buka-kasus-lama-eggi-sudjana-dipangggil-sebagai-tersangka

[2] Sofia Mandagi, (2007), Pembuktian Tindak Pidana Makar di Dalam Era Negara Memberi Perlindungan Hak Asasi Manusia (Studi Kasus Putusan PN Ambon Mengenai Tindak Pidana Makar Atas Nama Terdakwa Ruben Saiya), Skripsi FHUI, http://lib.ui.ac.id/file?file=digital/2016-9/20199849-S22429-Sofia%20B.%20Mandagi.pdf

[3] Ibid.,

[4] Wisnu Cipto, (2019), Prabowo Wajib Bayar Kepercayaan, Eggi: Setahun Tak Ada ‘Action’ Berarti ‘Omdo’, Merah Putih, https://merahputih.com/post/read/prabowo-wajib-bayar-kepercayaan-eggi-setahun-tak-ada-action-berarti-omdo

[5] BBC Indonesia, (2019), Makar: Pasal yang dituduhkan ke sejumlah pendukung Prabowo, seperti apa penerapannya?, BBC News, https://www.bbc.com/indonesia/indonesia-48281412

[6] Jaringan Pemberitaan Nusantara Negeriku, (2019), Bela Eggi Sudjana, Fadli Zon: People Power Itu Konstitusional, https://www.jpnn.com/news/bela-eggi-sudjana-fadli-zon-people-power-itu-konstitusional

[7] PTUN Jakarta, (n.d), Prosedur Pengajuan dan Biaya Perkara, PTUN Jakarta,  https://ptun-jakarta.go.id/?page_id=1560