Dinamika Prinsip Non-Intervensi ASEAN dalam Krisis Myanmar
Konflik Myanmar kembali menjadi salah satu topik bahasan pada pertemuan para Menteri Luar Negeri ASEAN di Vientiane, Laos, pada 25 Juli 2024[1]. Konflik yang bermula dari kudeta militer sejak 2021 yang menggulingkan pemerintahan sipil terpilih dan memicu gelombang protes serta perlawanan bersenjata dari berbagai kelompok etnis dan pro-demokrasi dengan tindakan keras militer ini telah menyebabkan krisis kemanusiaan yang semakin parah, mengakibatkan banyaknya pengungsi internal dan eksternal serta krisis kemanusiaan bagi warga sipil.
Dalam pertemuan tersebut, para menteri luar negeri ASEAN menekankan pentingnya pendekatan bersama untuk menangani krisis Myanmar. Mereka mengevaluasi kemajuan implementasi 5 Point Consensus (5PC) yang sebelumnya disepakati, yang mencakup penghentian kekerasan, dialog konstruktif, penunjukan Utusan Khusus ASEAN, bantuan kemanusiaan, dan kunjungan Utusan Khusus ke Myanmar untuk bertemu dengan semua pihak terkait[2]. Selain itu, diskusi mencakup cara meningkatkan tekanan internasional terhadap junta militer Myanmar, termasuk kemungkinan sanksi, untuk mendorong penghormatan terhadap hak asasi manusia dan proses demokratisasi. Pembahasan juga menyoroti peningkatan bantuan kemanusiaan bagi rakyat Myanmar, dengan komitmen ASEAN untuk mengkoordinasikan upaya bantuan yang lebih efektif. Evaluasi peran Utusan Khusus ASEAN dalam memfasilitasi dialog antara junta militer dan oposisi menjadi fokus penting, dengan tujuan mencapai kemajuan di lapangan.
Sayangnya, 5PC yang sebelumnya disepakati tersebut belum juga membuahkan hasil. Indonesia melalui Menteri Luar Negeri Retno Marsudi menyampaikan kekecewaannya terkait tidak adanya progres dari 5PC tersebut oleh Myanmar[3]. Retno juga kembali menyampaikan mengenai situasi di Myanmar yang semakin buruk yang ditandai dengan meningkatnya konflik internal yang menyebabkan meningkatnya pengungsi internal. Selain itu, menurut Retno kini berbagai aktivitas kejahatan lintas batas meningkat, seperti online scam dan perdagangan obat-obatan terlarang di mana korbannya mayoritas adalah warga negara Asia Tenggara. “Kondisi yang semakin mengkhawatirkan ini mengharuskan semua negara anggota ASEAN, termasuk semua pihak di Myanmar, untuk mengembalikan stabilitas di Myanmar,” ujar Retno. Melalui pertemuan tersebut, Menlu Retno menyarankan beberapa hal, yakni memastikan 5PC tetap menjadi referensi utama upaya ASEAN, karena tanpa adanya kemajuan implementasi 5PC, maka partisipasi Myanmar untuk pertemuan Menlu dan KTT ASEAN perlu tetap dipertahankan (tidak ada perwakilan politis). Menlu RI juga menyampaikan perlunya memperbesar bantuan kemanusiaan, dan menyampaikan bahwa Indonesia tahun ini telah memberikan bantuan kemanusiaan untuk Myanmar sebesar US$500.000 atau Rp8,1 miliar melalui Palang Merah Internasional (ICRC). Lebih lanjut, Ia juga menegaskan perlunya sinergi ASEAN dengan utusan khusus PBB untuk Myanmar dalam mobilisasi dan pengelolaan bantuan untuk Myanmar, dan mendukung akan diselenggarakannya Pertemuan para utusan khusus Myanmar.
Liberalisme dan Kerjasama ASEAN dalam Menghadapi Krisis di Myanmar
Menurut teori liberalisme dalam hubungan internasional, liberalisme menekankan pentingnya kerjasama, institusi internasional, dan norma-norma bersama dalam mencapai stabilitas dan kemakmuran global. Dalam konteks konflik Myanmar yang dibahas dalam pertemuan para Menteri Luar Negeri ASEAN, teori liberalisme dapat memberikan kerangka analisis yang berguna untuk mengevaluasi upaya kerjasama dan kolaborasi internasional dalam penanganan krisis, karena liberalisme percaya bahwa negara-negara, meskipun bersaing, memiliki kepentingan bersama yang dapat dicapai melalui kerjasama.
Liberalisme menekankan bahwa ketergantungan ekonomi antarnegara menciptakan insentif untuk kerjasama dan mengurangi kemungkinan konflik. ASEAN sebagai organisasi regional kemudian dianggap penting dalam memfasilitasi kerjasama dan menyediakan platform untuk dialog dan penyelesaian sengketa. Bagi liberalisme, norma-norma seperti hak asasi manusia dan demokrasi adalah hal yang penting dalam membentuk perilaku negara dan menciptakan lingkungan yang kondusif untuk kerjasama. Negara-negara diharapkan melihat kepentingan kolektif yang lebih besar yang dapat dicapai melalui tindakan bersama, dibandingkan kepentingan nasional masing-masing.
Sebagai institusi regional, ASEAN memang berperan penting dalam memfasilitasi dialog dan kerjasama antar negara anggotanya. Pertemuan para Menteri Luar Negeri ASEAN di Vientiane adalah contoh bagaimana ASEAN berfungsi sebagai platform untuk membahas dan mencari solusi kolektif kawasan, dimana salah satunya membahas krisis di Myanmar. Melalui pendekatan ASEAN yang menekankan konsensus dan dialog secara tidak langsung telah menunjukkan komitmennya terhadap prinsip-prinsip liberal. Evaluasi terhadap implementasi 5 Point Consensus (5PC) telah mencerminkan upaya kolektif untuk menghentikan kekerasan dan memulai dialog konstruktif antara pihak-pihak yang bertikai di Myanmar. Upaya meningkatkan tekanan internasional terhadap junta militer Myanmar melalui kemungkinan sanksi memperlihatkan bagaimana norma-norma internasional tentang hak asasi manusia digunakan untuk mendorong perubahan, sejalan dengan pandangan liberal bahwa komunitas internasional dapat bekerja sama untuk menegakkan nilai-nilai bersama.
Liberalisme juga melihat bantuan kemanusiaan sebagai salah satu alat untuk memperkuat hubungan antar negara dan mendorong stabilitas. Peningkatan bantuan kemanusiaan dari ASEAN dan negara-negara anggotanya, seperti yang dilakukan Indonesia, telah menunjukkan solidaritas dan komitmennya dalam membantu rakyat Myanmar. ASEAN yang berkomitmen untuk mengkoordinasikan bantuan kemanusiaan secara lebih efektif mencerminkan kepercayaan pada institusi regional dan internasional untuk mengelola bantuan dan memastikan bahwa bantuan sampai kepada yang membutuhkan, mengurangi krisis kemanusiaan yang terjadi di Myanmar. Tekanan untuk menghormati hak asasi manusia dan proses demokratisasi di Myanmar adalah contoh bagaimana nilai-nilai liberal diterapkan dalam konteks regional. ASEAN berusaha untuk menyeimbangkan prinsip non-intervensi dengan kebutuhan untuk mendorong norma-norma internasional yang melindungi hak asasi manusia.
Berdasarkan teori Liberalisme, ASEAN sebagai institusi regional telah menunjukkan perannya dalam memfasilitasi dialog dan kerjasama di antara negara-negara anggota untuk menangani krisis Myanmar. Namun, tantangan dalam implementasi 5PC menunjukkan bahwa masih banyak yang perlu dilakukan untuk mencapai hasil yang diinginkan[4]. Sinergi antara ASEAN serta upaya meningkatkan tekanan internasional menunjukkan pendekatan liberal yang mendukung kerjasama multilateral. Komitmen untuk meningkatkan bantuan kemanusiaan dan koordinasi yang lebih baik mencerminkan nilai-nilai liberal tentang solidaritas dan kepedulian terhadap kemanusiaan.
Sayangnya, pihak Myanmar sendiri masih ‘mengesampingkan’ krisis kemanusiaan yang terjadi olehnya dan menolak intervensi internasional dalam urusan dalam negeri mereka dengan mengklaim bahwa situasi tersebut adalah masalah internal yang tidak seharusnya menjadi perhatian negara lain. Hal ini sekaligus menjadi tantangan ASEAN melalui prinsip non-intervensi yang dimilikinya, dengan tujuan awal mencegah konflik, menjadi tantangan dalam menangani isu-isu yang bersifat krusial, seperti pelanggaran hak asasi manusia atau konflik internal yang berdampak pada stabilitas kawasan, seperti apa yang terjadi saat ini di Myanmar. Satu-satunya yang dapat menghentikan krisis ini adalah Myanmar itu sendiri.
[1] IRENE SARWINDANINGRUM, “Keengganan Junta Myanmar Jadi Sorotan Utama Para Menlu ASEAN,” Kompas.Id, July 25, 2024, https://www.kompas.id/baca/internasional/2024/07/25/keengganan-junta-myanmar-jadi-sorotan-utama-para-menlu-asean.
[2] Kementerian Luar Negeri, “Menlu RI : ASEAN Bukan Proksi Siapapun,” Kemlu.Go.Id, last modified 2024, accessed July 29, 2024, https://kemlu.go.id/portal/lc/read/6090/berita/menlu-ri-asean-bukan-proksi-siapapun.
[3] Kementerian Luar Negeri, “Press Briefing Menlu RI Hari Ke-2 AMM/PMC Ke-57 Vientiane, 25 Juli 2024,” Kemlu.Go.Id, last modified 2024, accessed July 29, 2024, https://kemlu.go.id/portal/id/read/6092/siaran_pers/press-briefing-menlu-ri-hari-ke-2-ammpmc-ke-57-vientiane-25-juli-2024.
[4] Bugivia Maharani Setiadji Putri and Nurul Fazrie Fitriani, “Krisis Kemanusiaan Myanmar: Alasan Mengapa Mekanisme Penyelesaian Sengketa ASEAN Tidak Efektif,” Pshukum.or.Id.