Video Pertemuan Pesawat Tempur AS-Tiongkok Di Udara
Intersepsi jet pengintai Angkatan Udara Amerika Serikat oleh sebuah pesawat China di atas Laut China Selatan bulan lalu dilihat sebagai peringatan potensial tentang betapa mudah dan cepatnya risiko konfrontasi militer yang mematikan antara kedua negara dengan kekuatan besar itu.
Insiden tersebut terjadi pada 21 Desember di bagian utara Laut China Selatan yang menurut AS adalah wilayah udara internasional. Militer AS sendiri mengatakan personelnya melakukan manuver berbahaya akibat sebuah jet tempur J-11 milik angkatan laut China terbang dalam jarak 20 kaki atau sekitar 6 meter.
Melakukan apa yang oleh militer AS dianggap sebagai “manuver tidak aman,” untuk menghindari tabrakan dengan sebuah jet tempur J-11 angkatan laut China terbang dalam jarak 20 kaki atau 6 meter dari hidung pesawat tempur AS RC-135 Rivet Joint, sebuah pesawat pengintai tak bersenjata dengan sekitar 30 orang di dalamnya, menurut pernyataan dari Komando Indo-Pasifik AS yang dikeluarkan pada 28 Desember.
Pihak AS merilis video insiden tersebut dengan menunjukan pesawat tempur China terbang ke arah kiri dan sedikit di atas jet AS dan kemudian mendekati hidung pesawat AS sebelum akhirnya menjauh. Di sisi lain, Komando Teater Selatan People’s Liberation Army milik China, dalam sebuah laporan di China Military Online, memiliki interpretasi yang berbeda tentang pertemuan itu, dengan mengatakan bahwa jet AS-lah yang “tiba-tiba mengubah sikap terbangnya dan memaksa pesawat China ke kiri.” Pihak China juga menuduh bahwa Washington yang telah membahayakan keselamatan penerbangan pesawat militer China.
Pakar penerbangan dan militer yang dihubungi oleh CNN yang menonton video manuver itu mengatakan tampaknya jet China benar-benar salah dan tidak punya alasan untuk mendekati pesawat Amerika. Dikatakan, bahwa tujuan dari intersepsi itu kemungkinan adalah untuk mengidentifikasi pesawat secara visual, walaupun sebenarnya pesawat tempur milik PLA sendiri bisa melakukannya dari jarak yang lebih jauh.
Robert Hopkins, seorang pensiunan perwira Angkatan Udara AS yang menerbangkan jet pengintai serupa, juga menolak interpretasi peristiwa China. “Tanggapan (Cina) sejauh ini terpisah dari kenyataan yang fiksi. Sebuah pesawat seukuran pesawat tak bersenjata tidak secara agresif berubah menjadi pesawat tempur bersenjata yang gesit,” kata Hopkins. Tetapi Hopkins juga mengatakan militer AS mengambil risiko membesar-besarkan insiden itu dengan mengatakan jet AS harus melakukan “manuver mengelak”, sebuah istilah yang dia gambarkan sebagai “terlalu dramatis“.
Namun dalam jumpa pers reguler pada hari Jumat, juru bicara Kementerian Luar Negeri China mengatakan insiden itu hanyalah yang terbaru dari serangkaian provokasi AS yang mengancam stabilitas di kawasan itu. Komando Teater Selatan China mengatakan jet pengintai AS terbang “di sekitar garis pantai selatan China dan Kepulauan Xisha” tempat Beijing telah membangun instalasi militer.
“Langkah provokatif dan berbahaya AS adalah akar penyebab masalah keamanan maritim. China mendesak AS untuk menghentikan provokasi berbahaya seperti itu, dan berhenti membelokkan kesalahan pada China,” kata Wang dari Kementerian Luar Negeri. Baik pihak AS maupun China terlihat sama-sama merasa terancam. Hal ini dapat terjadi karena kedua belah pihak tidak ingin menjadi “orang jahat” akibat kejadian tersebut. Hal ini akan berdampak pada persepsi dunia tentang siapa yang agresif dan tidak. Buruknya persepsi aktor internasional ini dapat berpengaruh pada serangkaian kebijakan luar negeri negara masing-masing seperti bagaimana AS yang berusaha menggambarkan dirinya tengah mengusahakan netralitas di wilayah Laut China Selatan dan dapat dianggap sebagai “kekuatan yang dapat diandalkan” oleh negara-negara yang bersengketa dengannya terkait sengketa LCS.
Di sisi lain, China yang tengah mengembangkan pertahanannya, terutama baru-baru ini berencana melakukan uji coba kapal induk terbesarnya, Fujian, berusaha mencapai kepentingan nasionalnya—mengklaim LCS sebagai wilayah kedaulatannya. Tetapi, berkaca pada Rusia, yang hampir satu tahun lalu memutuskan untuk menyerang Ukraina, membuat China harus berhati-hati dalam melaksanakan aktifitas militernya. Anggapan China sebagai negara dengan pertumbuhan postur pertahanan yang efektif sudah cukup membuat China kesulitan karena AS—yang kemudian membawa sekutunya—menjatuhi serangkaian sanksi.
Jika kemudian China bertindak seperti yang Rusia lakukan, atau dalam kata lain lebih “agresif” secara militer, hal ini dapat dengan cepat menimbulkan konflik baru yang baik China maupun AS tidak menginginkannya saat ini ketika NATO tengah sibuk membantu Ukraina.