Kesetaraan Gender dan Kebijakan Keluarga Berencana di China

Seperti kebanyakan negara maju, mayoritas masyarakat China merupakan generasi lanjut usia dan memiliki angka kelahiran yang rendah. Dengan adanya peningkatan kemampuan ekonomi, politik, dan teknologinya, namun hal ini tidak sebanding dengan peningkatan partisipasi dan perlindungan hak wanita dalam lingkup sosial dan politik di China. Keterlibatan dan perlindungan hak sosial politik wanita di China masih tergolong rendah. Lalu, mengapa hal ini terjadi?

 

Wanita dan Pergerakan Sosial Politik di China

Kesetaraan gender merujuk kepada kesempatan dan kondisi yang sama antara wanita dan pria dalam merealisasikan hak asasi dan berkontribusi pada perkembangan aspek sosial, budaya, ekonomi, dan politik nasional dan global.[1] Isu kesetaraan menjadi dasar dalam mendukung pencapaian dunia yang lebih damai, sejahtera, dan berkelanjutan, namun masih mengalami berbagai kendala termasuk diskriminasi dan norma sosial yang menekan wanita, di mana salah satunya terjadi di China yang perlu dilihat melalui beberapa aspek. Pertama secara politik, China memiliki wanita-wanita hebat yang memiliki pemikiran revolusioner, di mana berdasarkan sejarahnya keterlibatan wanita sangatlah rendah pada masa awal pembentukan partai Komunis China atau Chinese Communist Party (CCP) tahun 1921 lalu.[2] Posisi vital kebanyakan dipegang oleh lelaki, di mana pada masa awal tersebut terdapat salah satu seorang pemimpin wanita revolusioner pertama bernama Xiang Jingyu yang menjadi anggota yang mempromosikan peran dan partisipasi wanita,[3] di mana Xiang Jingyu melihat CCP sebagai alat liberalisasi wanita-wanita China, sehingga Jingyu mendedikasikan semasa hidupnya membangun CCP di antara wanita untuk memodernisasi China.

Upaya revolusioner Jingyu semakin meluas dengan kerja sama bersama wanita lainnya untuk mendekati para mahasiswa, sehingga aksi ini meningkat dengan berbagai aksi mengkritik kebijakan pemerintah China yang membuat kondisi disertai kekerasan meningkat. Sensitifnya isu yang diangkat menghasilkan kondisi kritikal yang mendorong Jingyu harus bergerak di bawah tanah untuk terus memperluas pandangannya, namun akhirnya Jingyu ditangkap dan dieksekusi. Tidak sedikit yang menganggap Jingyu sebagai martir, dibandingkan revolusioner[4], namun pemikiran liberalisasinya cukup berdampak pada Mao Zedong yang selanjutnya memproklaim “wanita yang memegang setengah langit.” Namun, figur-figur wanita yang kuat dan tegas terkadang dilihat sebagai tindakan irasional dan haus akan kekuasaan di China.[5]

Meskipun sudah mempromosikan peningkatan peran wanita, namun sejak Mao memimpin tahun 1949 lalu, namun hingga saat ini hanya enam wanita yang pernah menjabat di Komite CCP sejak 1949 tersebut. Saat inipun hanya dua wanita yang diberi posisi penting di Komite CCP, salah satunya Sun Chunlah yang ditunjuk sebagai koordinator penanganan virus Covid-19.[6] Hal ini dikarenakan hak-hak dasar wanita terutama pendidikan dan politik sangat dibatasi, sehingga perkembangan keterlibatan wanita dalam representasi politik di China juga sangatlah rendah. Selain itu, dari sekitar 120 juta anggota partai, hanya sekitar 28 juta orang yang merupakan wanita di mana fenomena ini tidak hanya terjadi di lingkup wilayah politik nasional, namun juga politik lokal. Pada acara kongres Nasional Partai Komunitas China pada tahun 2017 lalu juga menunjukkan partisipasi wanita hanya sekitar 83 orang dari jumlah total 938 delegasi elit politik China.[7] Fenomena ini menjadi gambaran masih kecilnya partisipasi wanita dalam politik China.

Kedua, secara sosial yakni masih terdapat pemahaman dan kondisi sosial yang menganggap bahwa laki-laki lebih memiliki kapabilitas dibandingkan wanita. Kondisi sosial ini tentu membuat semakin sulitnya posisi wanita di dalam berkarir yang kebanyakan jika dikaitkan dengan memiliki anak, maka anak akan dianggap sebagai “penghambat” karir wanita di jaman ini. Kondisi ini pun turut mendukung penurunan angka kelahiran China, di mana jika dilihat berdasarkan perubahan kebijakan berkeluarga di China, dengan peningkatan jumlah anak ternyata langkah ini tidak banyak berpengaruh dalam peningkatan angka kelahiran nasional. Sebaliknya, semakin menekan wanita terutama dari kalangan wanita pekerja yang mendapat diskriminasi sosial di China.

Dengan kondisi populasi yang semakin menua, kebijakan yang seakan menekan wanita China adalah kebijakan yang baru-baru ini dikeluarkan oleh China yang memperbolehkan peningkatan jumlah anak di keluarga menjadi 3 orang. Berdasarkan gambar tersebut, beberapa dekade sebelumnya China menerapkan kebijakan satu anak atau one child policy dan two child policy, di mana kebijakan satu anak diberlakukan sejak tahun 1980 hingga 2015 yang dimaksudkan untuk memastikan pertumbuhan anak yang tidak memperparah berbagai permasalahan pengembangan ekonomi dan sumber daya alam yang terjadi pada masa tersebut.[8] Awalnya, kebijakan ini hanya berencana diterapkan sementara dan bertujuan menghambat penambahan kelahiran 400 juta anak lainnya. Namun, aturan ini baru secara resmi dihentikan pada tahun 2015 lalu dan pada tahun 2016 langsung dilanjutkan dengan kebijakan dua anak, lalu terakhir China memberlakukan kebijakan 3 anak.[9] Dampaknya cukup nyata dalam penurunan angka kelahiran di China yang secara garis besar terus mengalami penurunan.

 

 

Permasalahan ekonomi dan sosial semakin menekan wanita di China

Selain permasalahan besarnya biaya yang harus dikeluarkan untuk memenuhi kebutuhan anak, namun permasalahan norma gender bahwa wanita sebagai pengasuh utama anak juga masih sangat kental. Hal ini menjadi salah satu penghalang China dalam upaya meningkatkan pertumbuhan populasi yang berpengaruh juga pada perekonomian jangka panjang China. Bagi kebanyakan wanita China, keinginan tidak memiliki anak akan mengurangi risiko penghambat peningkatan karirnya. Berdasarkan survei, terdapat 1000 laporan terkait wanita China yang melaporkan perusahaannya karena memaksa wanita agar pensiun di usia ke 50.[10] Dengan semakin terbatasnya usia kerja, maka wanita akan cenderung berfokus untuk meningkatkan produktivitasnya sebelum menyentuh usia batas pensiun tersebut. Sehingga, kebijakan anak baru ini juga dilihat sebagai upaya untuk “mengembalikan” wanita ke rumah untuk mengurus anak.[11]

Keputusan dan kondisi ini menunjukkan perlunya perlindungan kuat atas hak para pekerja wanita terutama yang berencana menginginkan anak atau sudah memiliki anak. Melihat kondisi sosial China yang juga kurang mendukung, maka kesatuan pemikiran dari masyarakat, pekerja, perusahaan, dan pemerintah China untuk melindungi hak sosial, politik, dan ekonomi wanita di China perlu dipertimbangkan matang-matang agar terdapat cukup ruang bagi para wanita agar bisa mengejar karir sekaligus berumah tangga. Selain itu, bantuan-bantuan perekonomian bagi kelahiran anak di China, sosialisasi keluarga berencana, kelas parenting juga bisa dipertimbangkan untuk mendukung angka kelahiran di China. Upaya pembentukan aturan hukum dan sosial ini

 


[1] UNESCO, (n.d.), UNESCO’s Gender Mainstreaming Implementation Framework, UNESCO, http://www.unesco.org/new/fileadmin/MULTIMEDIA/HQ/BSP/GENDER/PDF/1.%20Baseline%20Definitions%20of%20key%20gender-related%20concepts.pdf



[2] Jiayun Feng, (2021), Why there are so few women in Chinese politics, Sup China, https://supchina.com/2021/07/01/why-there-are-so-few-women-in-chinese-politics/



[3] Mitter, Rana (2004). A Bitter Revolution. New York: Oxford University Press. p. 147.



[4] Time, 1992: Xiang Jingyu 100 Women of The Year, TIME, https://time.com/5792627/xiang-jingyu-100-women-of-the-year/



[5] Jane Perlez, (2018), Was This Powerful Chinese Empress a Feminist Trailblazer?, New York Times, https://www.nytimes.com/2018/07/10/world/asia/china-empress-dowager-cixi.html



[6] Jane Cai, (2021), Coronavirus: The women leading China’s response to the outbreak, Inkstone, https://www.inkstonenews.com/society/coronavirus-women-leading-chinas-response-outbreak/article/3064767



[7] Jiayun Feng, Op.cit.



[8] Alice Zhang, (2020), Understanding China's Former One-Child Policy, Investopedia,



https://www.investopedia.com/articles/investing/120114/understanding-chinas-one-child-policy.asp#:~:text=Implemented%20in%201979%2C%20the%20goal,by%20a%20rapidly%20expanding%20population.



[9] Teddy Berty, (2021), Resesi Seks di China, Banyak Wanita Mulai Enggan Punya Bayi, Liputan 6, https://www.liputan6.com/global/read/4565885/resesi-seks-di-china-banyak-wanita-mulai-enggan-punya-bayi



[10] Sun Yu, (2021), The Chinese women desperate to keep working but forced to retire, Financial Times, https://www.ft.com/content/ef82852f-aac3-4843-800c-a61356722157



[11] Jessie Yeung dan Nectar Gan, (2021), Chinese women were already discriminated in the workplace. A three-child policy might make things worse, CNN Business, https://edition.cnn.com/2021/06/05/business/china-three-child-policy-discrimination-intl-hnk-dst/index.html