Pada abad ke-21 ini, kebangkitan China telah merubah arah geopilitk dunia baik secara regional maupun global. Perkembangan unjuk kekuatan maritim China dengan peningkatan kemampuan kapabilitas maritim dengan didukung UU Coast Guardnya terbaru menjadikan banyak negara-negara khususnya yang memiliki permasalahan sengketa wilayah sebagai suatu ancaman salah satunya ialah Jepang. Minggu 4 April 2021, kapal Induk China Liaoning bersamaan oleh kelompok kapal pengiringnya melintasi Selat Miyako Jepang. Bagaimana hal ini mempengaruhi hubungan dengan Jepang di kawasan?
Liaoning dalam hubungan China dan Jepang
China dan Jepang memiliki sejarah yang panjang dalam persengketaan wilayah. Hingga saat ini masih menjadi batu sandungan pada hubungan bilateral antara kedua negara. Tahun 2021 ini, eskalasi hubungan China-Jepang mengalami eskalasi yang sangat dinamis. Hal ini terjadi karena beberapa faktor diantaranya pengesahan UU Coast Guard China yang baru, dan latihan milier bersama antara Jepang dan US. Eskalasi yang ada memasuki babak baru lagi, di saat Kapal induk pertama China Liaoning melewati Selat Miyako, yang terletak di barat daya Okinawa pada minggu 4 April 2021.
Ini adalah pertama kalinya sejak April 2020 Liaoning diketahui melewati jalur air ini, dan itu terjadi hanya beberapa hari setelah latihan antara angkatan laut AS dan Australia di Pasifik Timur. Kapal induk ini terlihat melintas bersama dengan rombongan lima kapal lainnya yang merupakan kelompok kapal penyerang. Berdasarkan laporan yang dibuat oleh Japan Self Defense Forces (JSDF), rombongan ini termasuk 2 kapal perusak kelas Luyang Tipe 052D, 1 kapal perusak rudal tipe 055 kelas Renhai, 1 Fregat Tipe 054A Jiangkai kelas II dan 1 kapal pendukung tempur cepat tipe 901 Fuyu class. Kehadiran kapal induk Liaoning di respons oleh Jepang dengan mengerahkan kapal perusak JS Suzutsuki, pesawat patroli maritim P-1 dan pesawat patroli perang anti-kapal selam P-3C untuk mengumpulkan informasi dan memantau pergerakan kapal induk ini. [1] Selain itu, JSDF mendeteksi pesawat udara Shanan Xi Y-9 terbang di atas Selat Miyako yang kemudian akhirnya bergegas untuk mencegatnya.[2]
Adapun pesawat udara Y-9 milik China ini, memiliki berbagai fungsi, diantaranya untuk patroli maritim yang terlibat dalam kejadian seperti ini. Dengan begitu pesawat ini dapat memantau respons terhadap kehadiran kapal lain dan mengumpulkan informasi intelijen yang berharga tentang kesiapan suatu negara dan sumber serta metode yang digunakan untuk melacak armada tersebut.[3]
Pergerakan kapal induk Liaoning yang provokatif juga bukan hal baru di kawasan ini, Liaoning sebelumnya melintasi Selat Miyako dengan rombongan kapal pengiringnya pada April 2020. Pada saat itu, Liaoning China ialah satu-satunya kapal induk yang beroperasi di wilayah tersebut setelah USS Theodore Roosevelt dan USS Ronald Reagan dipaksa berada di sisi dermaga karena COVID-19.[4]
Pergerakan Liaoning ini, meskipun legal di bawah hukum internasional, menunjukkan bahwasanya pembangunan kekuataan maritim Beijing yang semakin tegas dan koordinasi kerjasama operasi yang semakin meningkat dengan mengoperasikan kelompok penyerang kapal induk terintegrasi di laut terbuka.
Dengan kapal induk Liaoning dan klon buatannya sendiri, Shandong, sekarang beroperasi dengan grup kapal induk penyerang mereka secara teratur, serta kapal induk ketiga China — Tipe 003 — sedang dibangun di Shanghai, dan kapal induk yang lebih maju sedang dalam pengembangan, komitmen Beijing untuk kemampuan proyeksi daya kapal induk sangat jelas sebagai bagian dari operasi ambisi kekuataan maritim China yang dikenal dengan operasi blue water.
Liaoning Perwujudan Gun Boat Diplomacy China
Keberadaan selat Miyako sebagai jalur laut penting dan strategis bagi Angkatan Laut China untuk masuk ke dalam wilayah laut Pasifik. Sebagaimana disampaikan oleh Ben Lowsen, seorang pakar keamanan China Angkatan Udara Amerika Serikat, bahwa China melihat bagian-bagian ini sebagai hal yang penting bagi kemampuan mereka untuk mengerahkan pasukan di luar rantai pulau pertama.[5] Sehingga apa yang dilakukan oleh kapal induk Liaoning merupakan perwujudan kepentingan nasional melalui Gun Boat Diplomacy.
Gun Boat Diplomacy menurut James Cable ialah penggunaan atau ancaman kekuatan angkatan laut terbatas selain sebagai tindakan perang, untuk mengamankan keuntungan atau untuk mencegah kerugian, baik dalam kelanjutan perselisihan internasional atau terhadap warga negara asing di dalam wilayah atau yurisdiksi negara mereka sendiri.[6] James membagi lagi kedalam empat jenis yakni: definitif (yaitu, dengan tujuan tertentu dalam pikiran); bertujuan (bertujuan untuk mengubah kebijakan orang lain); katalitik (untuk meningkatkan pilihan bagi pembuat kebijakan); dan ekspresif (dirancang untuk menyampaikan pesan politik melalui ekspresi kekuatan angkatan laut). [7]
Berdasarkan penjabaran diatas, penggunaan kapal induk Liaoning ini bisa dilihat sebagai Gun Boat Diplomacy yang bertipe ekspresif, yakni sebagai unjuk kapabilitas kekuataan maritim yang diatur oleh China, dengan bergeraknya Liaoning menuju keluar dari rantai pulau pertama bersama kelompok kapal penghacur menunjukkan kemampuan angkatan laut China dan kapasitas untuk memproyeksikan kekuatan maritim yang terus meningkat untuk memberikan pesan politik yang menggambarkan kepentingan nasionalnya Oleh karenanya Angkatan Laut China kemudian tidak perlu mengontrol saluran air secara fisik untuk menggunakannya dalam konflik, namun mereka hanya perlu menolak penggunaannya untuk orang lain, itulah sebabnya keberadaan kapal induk Liaoning yang melintas pada jalur laut ini sebagai wujud memepengaruhi penggunaan jalur laut ini.
Tujuan Ambisi Maritim China
China saat ini sedang meningkatkan posisi serta statusnya sebagai kekuatan besar dan bersedia untuk mempertahankan kepentingan nasionalnya tanpa menyerah. Keberadaan selat Miyako yang merupakan akses jalur perairan terbuka bagi China juga memiliki nilai kontra yakni keberadaannya yang ini berada dekat dengan pangkalan udara Amerika Serikat (AS) yang aktif di Kawasan Asia Timur. Menjadikan ini masalah militer lebih besar bagi perencanaan strategi perang tentara China, oleh karena perairan ini dapat digunakan oleh AS dan sekutunya untuk menahan pasukan militer China di laut dekat.
Sehingga keberadaan projeksi kekuataan maritim China seperti yang dilakukan melalui kapal induk Liaoning dapat menimbulkan ketegangan antara China dan Jepang. Bagaimanapun, resolusi ambisi maritim yang dilakukan China dapat mempengaruhi lingkungan strategis keamanan global. Meskipun peluang untuk terjadinya konflik tradisional kecil, eskalasi ketegangan di Asia Timur dapat memiringkan keseimbangan kekuatan di kawasan yang sudah terguncang dan ikut mempengaruhi sistem internasional, terutama jika mengingat jejak China yang semakin bertambah dan mencapai pada berbagai wilayah dunia.
Sumber Referensi:
[1]Ken Moriyosu. “Chinese aircraft carrier and 5 ships pass Okinawa on way to Pacific”. Nikkei Asia. 5 April 2021. https://asia.nikkei.com/Politics/International-relations/Indo-Pacific/Chinese-aircraft-carrier-and-5-ships-pass-Okinawa-on-way-to-Pacific
[2] Joint Staff Press Release Ministry of Defence of Japan. “ About the flight of Chinese aircraft in the East China Sean and the Pacific Ocean”. 4 April 2021. https://www.mod.go.jp/js/Press/press2021/press_pdf/p20210404_03.pdf
[3] Adam Kehoe. “China’s Liaoning Carrier Strike Group Passes Through Miyako Strait”. The War Zone. 4 April 2021. https://www.thedrive.com/the-war-zone/40051/chinas-liaoning-carrier-strike-group-passes-through-japans-miyako-strait
[4] Liu Zhen. “Taiwan scrambels warship as PLA Navy aircraft carrier strike group heads for the Pacific”. South China Mourning Post. 12 April 2020. https://www.scmp.com/news/china/military/article/3079546/taiwan-scrambles-warships-pla-navy-aircraft-carrier-strike
[5] Franz-Stefan Gady. “Why China’s Military Wants to Control These 2 Waterways in East Asia”. The Diplomat. 15 September 2019. https://thediplomat.com/2019/09/why-chinas-military-wants-to-control-these-2-waterways-in-east-asia/
[6] James Cable, Gunboat Diplomacy 1919–1991 (London: Macmillan/IISS, 1994). p 14.
[7] Ibid, 62.